KESALEHAN YANG SUBSTANSIAL

Gak perlu bersusah payah menyertakan metodologi Habermas untuk menafsirkan sosok Yai Ka’. Perhatikan foto bareng beliau bersama santrinya di atas. Bagaimana kita memaknainya ? Kedekatan, kebersamaan dan kehadiran bak figur sang ayah.

Ya, Yai Ka’ tak berjarak dengan santrinya. Tak suka pernak pernik dan aksesoris formalisme dalam membuhul dan berinteraksi dengan siapapun. Apalagi, dengan santri santrinya. Itulah sebabnya, Yai Ka’ memiliki banyak anak. Ya, santri santri itu. Memang beliau tak mempunyai anak biologis, tetapi dikelilingi oleh begitu banyak “anak anak kultural dan keilmuan”.

Wajar jika Yai Ka’ terlihat tak pernah dihimpit rasa kesendirian, melainkan selalu berbalut keramaian. “Anak ayam kehilangan induk semangnya”, ini analog dengan keadaan yang dialami santri pesantren Tebuireng. Bahkan, tidak cuma yang saat ini masih nyantri di pesantrenTebuireng, saya dan teman teman yang bergabung di Ikapete-pun turut merasakan hal yang sama. Terlebih ini, Yai Ka’ itu sangat kental dengan kesalehan substansial : faham dan cara mengekspresikan keberagamaannya syahdu, hening dan mendasar.

Yai Ka’ tak tak menyukai beragama itu bergemuruh, riuh rendah dalam dekapan silang pendapat fiqh. Coba perhatikan di mana dan bagaimana Yai Ka’ bertarawih dan shalat Jumat. Beliau tampak tak enjoy dengan bisingnya perdebatan di ranah furu’iyah. Dus, bukan pilihan tak disengaja jika Ya Ka’ lebih ke bandul pendulum ilmu aqidah dan etika. Ini lantaran beliau begitu memahami–seperti tulisan al-Qardhawi dalam “Al-Shahwah al-Islamiyah : Bain al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa al-Ikhtilaf al-Madzmum”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada perbedaan dalam khazanah keilmuan yang disangga kebenaran syariat, namun ada yang konflik pemikiran itu sangat dicela oleh agama. Makanya, kesalehan Yai Ka’ itu substansial, yang tercermin dalam praksis keberagamaannya yang sejuk, hening dan indah. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)