
Dulu, menuntut ilmu (mengaji) berarti duduk bersila di depan guru, mendengarkan dengan saksama, membawa catatan dan pena sebagai cadangan saat otak tiba-tiba dipenuhi hal-hal baru. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, jam kerja yang semakin padat, dan huru hara kehidupan yang semakin kuat, kita perlu bertanya: “Apakah kita akan tetap ngaji dengan sistem seperti di zaman sahabat atau menggunakan teknologi sebagai jembatan agar yang jauh menjadi dekat?”
Sebagai generasi yang telah terjun di zaman modern – terutama bagi para Generasi Z atau Generasi Alpha – mereka harus bisa memanfaatkan teknologi sebaik mungkin, karena akan banyak sekali hal yang ditinggalkan dengan menyia-nyiakan waktu dengan menggulir TikTok, menonton Reels, Shorts, atau bermain game dan sebagainya. Sedangkan di sisi lain masih banyak sekali website, video, artikel, aplikasi, dan beberapa konten bermanfaat yang perlu dieksplorasi, mulai dari berita-berita, konten yang mendukung perkembangan bakat setiap individu, bahkan kajian-kajian Islam yang telah tersebar dalam media sosial.
Lalu terbersit dalam hati: apakah mengaji melalui konten-konten yang telah diunggah oleh para ulama tidak mengurangi kesakralan dalam menuntut ilmu? Apakah konten yang saya pelajari berasal dari ajaran yang benar bukan dari orang yang baru belajar? Apakah perlu untuk mengaji secara offline juga? Banyak sekali pertanyaan yang terbersit sebelum memulai kajian secara online.
Baiklah, perlu kiranya untuk membahas setiap pertanyaan yang mengganjal agar mengaji lebih tenang dan khusyuk.
Pertama, apakah mengaji online dapat mengurangi kesakralan dalam menuntut ilmu? Kata “kesakralan” dalam konteks menuntut ilmu mungkin sudah tidak asing bagi sebagian orang. Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa menuntut ilmu juga harus tetap menjaga kesakralannya dan sebagainya. Sebagai seorang santri yang tidak FOMO (akronim dari fear of missing out), kita dianjurkan untuk menggali setiap makna dari setiap istilah yang terdengar asing. Sakral dalam kamus KBBI memiliki makna suci atau hal-hal yang tidak boleh dinodai. Maka kesakralan dalam menuntut ilmu bisa kita artikan sebagai tindakan yang menjaga kesucian ilmu yang dipelajari.
Maka menuntut ilmu secara online tidak serta-merta mengurangi kesakralannya. Bahkan, pembelajaran tatap muka pun bisa kehilangan nilai sakral jika tidak dilakukan dengan adab yang benar. Sehingga yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu adalah selalu menjaga tindakan saat menuntut ilmu. Meskipun tidak bertemu guru secara langsung, namun adab kepada guru tidak boleh dilupakan, agar kita tetap bisa mengaji dengan mudah tanpa menghilangkan sedikitpun nilai dalam menuntut ilmu kepada seorang guru.
Kedua, apakah konten yang saya pelajari merupakan ajaran yang benar bukan dari orang yang baru belajar? Hal ini merupakan kesalahan yang umum terjadi, yaitu salah dalam memilih guru. Dengan guru yang salah, bimbingan yang diberikan juga pasti mengandung kesesatan. Dalam hal ini MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) telah memberikan beberapa kriteria orang sesat yang anti untuk diikuti. (dikutip dari PPID Jember website). Contohnya, seorang guru mengatakan bahwa judi online itu hukumnya boleh, dengan alasan masih memiliki kebaikan di baliknya. Maka guru sedemikian pula harus dihindari, karena ia menghalalkan sesuatu yang jelas hukumnya haram.
Atau guru yang terlalu religius sampai lupa bahwa hubungan sosial juga harus dijaga. Pada bulan Maret kemarin, tepatnya di tanggal 12 Maret 2025, viral seseorang yang menutup paksa warung di bulan Ramadhan, bahkan sampai merusak beberapa bagian warung milik warga. Meskipun tampak baik secara agama, tindakan tersebut harus mempertimbangkan aspek sosial dan toleransi. Sebagai rakyat Indonesia seharusnya sadar, bahwa negara ini terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama yang berbeda. Karena tidak semua orang berpuasa, maka kita tidak berhak melarang orang lain makan di siang hari. Bahkan wanita muslimah saja masih belum tentu berpuasa karena ada potensi menstruasi. Sehingga guru sedemikian rupa, yang terlalu condong terhadap religius lupa dengan aspek sosial juga harus dihindari.
Jika seseorang mengira bahwa mencari guru itu mudah, maka ia perlu belajar lebih giat lagi. Dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim terdapat bab khusus yang membahas mengenai cara mencari guru yang baik dan benar. Oleh karena itu, penting untuk lebih teliti dalam memilih guru, karena guru yang baik sangat berpotensi melahirkan murid yang baik pula.
Ketiga, apakah perlu untuk mengaji secara offline juga? Tentu, karena banyak sekali benefit yang hanya bisa diperoleh dengan mengaji offline. Di antaranya; interaksi sosial sesama pelajar, mengurangi gangguan distraksi, konsentrasi dan disiplin yang baik. Maka perlu sekali atau dua kali kita mengunjungi majelis pengajian tertentu, meski ilmu bisa diraih secara online.
Sebagai penutup, kita harus menyadari bahwa dakwah dan proses menuntut ilmu tidak terbatas pada ruang dan waktu. Teknologi bukanlah penghalang untuk mendalami ajaran agama, justru bisa menjadi jembatan agar ilmu lebih luas tersebar. Namun, penggunaan teknologi ini harus dibarengi dengan kebijaksanaan dalam memilih sumber, menjaga adab, serta tetap menyempatkan hadir di majelis ilmu agar kesakralan tetap terjaga. Karena sejatinya, kemuliaan ilmu tidak terletak pada medianya, tetapi pada niat, adab, dan kesungguhan pencarinya.
Baca Juga: Jangan Hanya Ngaji Online, Offline Juga Perlu
Penulis: M. Syukron Ni’am, Mahasiswa Ma’had Aly Annur Al-Murtadlo 2