Sumber gambar: https://lakonhidup.com

Oleh: Samsul Mubahsri*

Tak terasa kepala ini menengadah begitu saja di atas tumpuan kaki yang terhenti, lubang netraku enggan berpaling menatap mega yang menghembuskan anginnnya. Kuhirup segarnya tempias bekas hujan yang menyejukkan, dengan menilik sekumpulan hitam  awan tebal, bergerombol, bergulung-gulung menutupi ufuk barat. Waktu itu, kemilau senja juga tak kalah menggoda. Di saat mentari sedang mencapai puncak lelahnya, kulihat sekumpulan burung bangau juga ikut melintasi cakrawala, membuatku terbuai oleh indahnya panorama.

Pandanganku beranjak menurun, tergoda oleh suara gemerisik serumpun pohon bambu yang bergoyang-goyang di belakang rumah.  Pohonnya saling gemeretak, menggesek dan beradu. Simphoni dingin alunannya  memang tidak terlalu mengganggu gendang telinga, kecuali suara lain yang terdengar sumbang di awang-awang,  mengundang resahnya jiwa.

Dari samping belakang rumah kuno bergaya Belanda itu, aku berjalan malas dengan kaki tak beralas, menggosokkan punggung sambil menggeret ujung jari yang meliuk-liuk di dinding yang telah rapuh. Kugigit bibir yang tergulung ke dalam, seraya mengedarkan pandangan sekitar. Lamat-lamat, suaranya terdengar karib, ternyata saudara dekatku memendam amarah yang tak terhingga.

“Nek…, aku mohon izin di hadapanmu sebagai pengganti orangtuaku!”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suara Basri begitu menyentak tanpa mengabaikan hormat. Ia seperti menggeram tersakiti, meskipun sekujur tubuhnya tak ada yang terluka.

“Ada apa, Nak? Kulihat kali ini wajahmu berbeda, tak seperti biasanya. Apa yang membuat cahaya itu berpaling dari wajahmu?” tanya Nenek pelan. Di balik bangunan tua itu, kudengar suaranya begitu parau, hingga memancing rasa penasaranku untuk berusaha menggantungkan kedua mata di bawah tingginya jendela.

“HAAAH! Aku kesal jika mengingat lelaki BANG-SAT I-TU! Begitu teganya ia mengkhianati pertemananku, setelah kuanggap dia sebagai saudaraku!”

“Selesaikanlah ceritamu, Nak,” nenek hanya tersenyum lembut  memandanginya.

“Ternyata, ia menipuku terang-terangan! Beraninya hanya berlindung dari kepolosanku. AKU MU-AK KALAU MENGINGATNYA!” matanya yang lebar semakin mendidih, terbakar amarah. Basri kemudian menundukkan kepalanya ke bawah dengan lemah. Tak butuh waktu lama, ia pun kembali mengangkat kepalanya sambil memandang Nenek.

“Jika saja, hari ini engkau izinkan. Akan kuhabisi nyawanya! Pandai sekali ia berkelit dari kata hutang yang banyak, kemudian menganggap itu hanyalah sebuah sumbangan ketika aku menagih dihadapannya,” Basri mendenguskan napas. Seolah berhadapan langsung dengan musuh bebuyutannya, kemudian  melanjutkan kembali.

“Andai saja waktu itu tidak ada banyak sekumpulan manusia. Pasti sudah kuhantam hitam wajahnya!”

Semakin kesal Basri,

Semakin merekah indah senyuman Nenek.

Aku saja yang mengintip dari bawah jendela ikut terpesona melihat teduh wajahnya yang tua.

“Itukah, Nak. Yang membuatmu begitu durja mengingatnya?”

“Betul, Nek. Aku tak tahan jika tak menceritakannya kepadamu. Aku begitu takut, dan terus berlindung dari bisikan setan yang terus membayang dalam kepalaku.”

Kemudian mereka berdua saling memandang hingga beberapa saat. Aku pun sampai terjatuh terbawah karena tangan dan kakiku kelu, tak kuat lagi menahan beratnya tubuh yang menumpu di bantaran pondasi batu.

Kukibaskan pelan bekas cat kapur yang menempel di kaos depan dan celana pendekku. Aku sungkan, tak berani mendekati mereka dari arah pintu depan atau belakang. Meskipun sejujurnya,  mudah saja bagiku jika mau melakukannya. Tetapi aku lebih memilih, memanjat kembali dinding bangunan tua yang telah retak itu dengan pelan. Lagipula, aku masih terlalu kecil untuk memahami obrolan mereka berdua.

Nenek kemudian mengulas lembut kata-katanya, dan mengelus lembut rambut Basri yang kaku.

“Satu hal saja yang perlu kau ingat baik-baik. Wahai Basri, Cucuku…”

“Sesungguhnya, yang membuatmu banyak kecewa itu adalah; karena engkau terlalu banyak berharap kepada makhluk,”

Mendengar suara Nenek. Basri langsung terpekur, ia tak sanggup lagi melanjutkan suara gemeletarnya. Tiba-tiba, suara Azan menggema di ujung pengeras suara membuatku lari, tak ingin mengikuti lagi kisah keluh kesah Basri di hadapan Nenek. Aku langsung teringat. Ketika mendengar panggilan Azan bisanya Nenek langsung mengambil air suci dan bergegas menuju tempat suci.

Maghrib pun berlalu.

Sesampai di rumah, kusampaikan semua ceritaku kepada Ayah.

“Yah, mengapa Nenek punya kemampuan meredam gejolak amarah yang begitu kuat seperti itu?” tanyaku dengan bahasa belia setelah selesai bercerita dihadapannya.

“Nenekmu itu sudah sampai tingkatan Ma’rifat. Le…” ucapnya lirih, sambil memalingkan wajahnya ke arah luar rumah. Aku pun terdiam. Penuh kebingungan menerka jawaban Ayah.

“Ma’rifat?”

“Ya… Ma’rifat,”

“Apa itu Yah?” kemudian  terlintas dalam benakku.

“Lalu, apa bedanya nama Nenek Ma’rifah dengan Ma’rifat?”

Aku semakin heran dengan kata-kata itu. Raut wajahnya yang rupawan langsung berubah dingin. Ia hanya membelokkan pandangannya yang tajam. Seingatku, tinggi tubuh ini belum sampai melebihi pundaknya.

“Ah, sudahlah… tak perlu dibahas lagi. Mungkin masih belum saatnya jika kujelaskan sekarang.”

“Ayooo Yah. Ayo… ceritakanlah padaku,”

Aku berharap dengan sangat. Melihat rengekanku yang mendesah ia pun tak kuasa  membuka sebuah petuah.

“Satu hal yang perlu kau ingat, anakku. Dengarkanlah, apa saja yang belum kau ketahui ketika mendengar petuah. Baik itu dariku atau nenekmu.”

Setiap kali mendengarkan kata-kata petuah, pikiranku langsung tertuju pada sosok nenek dan Ayah yang kini telah tiada. Namun anehnya, setiap kali menyusuri sudut rumah sederhana itu, aku selalu bisa menghirup kembali aroma tubuh dan kehadiran mereka berdua.

Aku mengangguk takzim dengan pelan. Meskipun sebenarnya aku tak paham. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah kata-katanya yang terdengar berat. Itulah awal mula yang membuat lanjutnya keingintahuanku.

“Ma’rifat itu sendiri hanyalah sebuah tingkatan,”

“Tingkatan?” tanyaku lagi.

“Ya. Sebuah tingkatan yang tak perlu kau ucapkan,” mendengar suara lelakinya yang tandas. Ia seolah ingin melukiskan kesan di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Atau mungkin, kata-kata itu terlalu dalam bagi anak seusiaku? Aku tak sanggup mencernanya. Aku merasakan ada sesuatu yang berat di dalam ubun-ubun. Dan. Aku tak mendapatkan apa-apa dari keadaan ini, kecuali menggelengkan kepala, serta mulut yang menguap.

Belum selesai Ayah bercerita, kami merasa terganggu oleh suara pintu yang terketuk. Ternyata yang datang, Basri.

“Paman, bisakah aku berbicara sebentar denganmu?” pinta Basri dengan tubuh keringnya yang berdiri kaku. Ayah langsung menganggukkan kepalanya, telapak tangannya menjulur ke depan, di ruang tamu. Aku hanya duduk diam, memandanginya tanpa bergerak.

“Apakah tujuanmu ke sini hanya untuk menceritakan keluhanmu kepada nenek tadi? Ataukah ada hal lain yang perlu kudengar darimu?”

Basri menumpukan lancip janggutnya di tangan kanan hingga sikutnya tersangga oleh telapak kiri.  Kami bertiga duduk dalam jenis bangku yang sama, namun dalam bentuk yang berbeda.

“Paman, sejujurnya aku ingin mendengar darimu semua kisah tentang Nenek.”

“Ne-nek-mu… masalah apa?”

“Tentang kisahnya, aku ingin sekali mendengarkannya darimu sebagai adik kedua Ayahku. Karena selama hidupnya ia jarang sekali menceritakan kehidupan Nenek.”

Kepala ayah terlihat mengayun-ayun pelan, “Apa yang selama ini kau lihat. Itulah prilaku Nenekmu dari dulu yang sebenarnya. Tak pernah ada yang disembunyikannya. Tak ada yang berubah darinya, hanya kita saja yang terus berubah.” melihat kami berdua tersirap dengan singkat ceritanya. Ayah tak kuasa menceritakan masa kecilnya.

“Baiklah, aku akan menceritakan sedikit saja kepada kalian berdua.”

Aku dan Basri sama-sama duduk bertambah maju, bersiap mendengarkannya dengan seksama. Kuningnya sorot lampu pijar ikut-ikutan bercengkerama, membiaskan cahaya temaram di ruang tamu. Kami bertiga begitu khusyuk, bagaikan terseret arus  kenangan. Merasakan nostalgia lama.

“Kisah ini, juga pernah dituturkan Wak Damin kepadaku. Waktu itu usiaku masih seusiamu, Anakku.” Basri langsung memasang muka aneh menatap disampingku, tapi aku hanya diam tak memperdulikannya.

“Mbah Damin, yang sudah lama meninggal itu?” cetus Basri dengan menunjuk ke seberang rumah gubug yang hampir roboh karena taka da penghuninya.

“Ya, betul. Waktu itu masih zaman penjajahan Belanda dan sekutunya. Kakekmu juga ikut berperang. Sampai saat ini, aku masih mengingat betul kata-kata terakhirnya.” Ia berhenti sejenak bercerita, kulihat ujung matanya terlihat meleleh.

“Apa pun yang terjadi nanti, negara ini pasti akan merdeka. Karena kita sudah dilahirkan untuk merdeka. Jangan pernah kau berharap aku bisa kembali lagi setelah berperang, karena aku tak pernah bisa memastikan kesanggupan perjanjian. Sebab, aku hanyalah manusia biasa.”

“Itulah sedikit kata terakhir yang kuingat  ketika Kakekmu berpamitan di hadapan Nenek. Ia seakan-akan tak mau melepaskan jabat tangan terakhirnya. Dan Nenekmu berkata, ‘Aku kelak pasti akan bisa mencari dan bertemu kembali denganmu, lakukan saja Demi Allah semata.’ Hingga saat ini tak ada satu orang pun yang mengerti di mana keberadaan Kakekmu. Semua orang pasti mengira bahwa ia telah tewas, ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.”

“Ja-diii, Kakek, seorang Pejuang?!” tanya Basri menyela Ayah bercerita.

bersambung,…


Thriller Novel: Pembenci Yang Suci.

Alumni KPMA (Komunitas Penulis Masjid Al-Akbar) Surabaya

Bisa disapa melalui Twitter:@sam_mubahsri

atau email di; [email protected]