sumber foto: www.google.com

Judul: Muslim Tanpa Masjid, Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai Al-Qur’an pada Masa Kini

Penulis: Prof. Dr. Kuntowijoyo

Penerbit: IRCiSoD

Cetakan: Pertama, 2018

Tebal: viii+452 hlm

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

ISBN: 978-602-7696-53-2

Peresensi: Muhammad Masnun*


Kajian perkembangan Islam menjadi topik yang terasa selalu ‘baru’, kapanpun dan di manapun itu. Islam yang ada di jazirah Arab dulu dan kini telah mengalami perubahan. Begitu pula Islam yang ada di Indonesia telah mengalami pembaruan setiap saat. Slogan yang sering dipakai adalah Islam Rahmatan Lil Alamin. ‎ Islam yang selalu shahih di semua zaman dan di semua tempat. Pasti kondisi tersebut tidak akan lepas dari perubahan sosio kultur masyarakat yang di tempati.

Terpaparkan secara jelas dalam buku ini kondisi sosial maupun politik Islam Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga awal abad 21. Munculnya Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Masyumi, hingga Ikatan Cindekiawan Muslim Indonesia terkupas secara mendalam. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Prof. Kuntowijoyo yang tersampaikan dalam acara-acara Muhammadiyah maupun yang diterbitkan di media massa seperti Republik dan Majalah Ummat. Mulai dari tahun 1994 hingga tahun 2000 dan beberapa tulisan yang tanpa disebutkan tahunnya. Terbagi menjadi tiga bab utama, yakni esai-esai agama, esai-esai budaya, dan esai-esai politik. Gaya penulisannya deskriptif dan runtut. Mengawali dengan istilah-istilah dan dilanjutkan penjelasannya satu persatu.

Judul buku ini diambil dari salah satu esai agama, yaitu “Muslim Tanpa Masjid”. Islam Indonesia yang awalnya kegiatan utamanya fokus di masjid, kini mulai bergeser ke tempat lain. Metode belajar yang dulu sorogan atau bandongan, tatap muka langsung dengan guru di masjid mulai berkurang. Muslim-muslim dewasa ini belajar dengan sumber media yang anonim seperti CD, VCD, radio, televisi, dan internet. Buku, majalah, dan brosur keagamaan juga dapat dari sumber yang anonim seperti penerbit, kursus-kursus, seminar, dan ceramah. (hlm. 133)

Dengan jujur, Prof. Kuntowijoyo memaparkan kekurangan dan kelebihan Muhammadiyah serta Nadhlatul Ulama yang keduanya merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Seringkali masyarakat NU identik dengan masyarakat pedesaan atau tradisional (dilihat dari mayoritasnya). Mereka termasuk kelompok Islam yang lebih unggul dari segi kuantitasnya namun kurang dalam segi kualitas. Sedangkan Muhammadiyah adalah didominasi oleh masyarakat kota dengan iklim industrial. Diungkapkan pula oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada ini  bahwa entah kapan Muhammadiyah memilih salat tarawih delapan rakaat, tetapi yang jelas KH. Ahmad Dahlan pada 1915 menggunakan dua puluh rakaat. (hlm. 232)

Homogenitas masyarakat desa bisa dimaksimalkan untuk kegiatan ibadah kultural yang seragam. Kegiatan seperti tahlilan bisa diformalkan menjadi kegiatan rutin bersama. Sedangkan masyarakat industrial kota memiliki heterogenitas tinggi, sehingga kegiatannya akan didasari oleh kesalehan individu. Sulit atau bahkan tidak bisa untuk membuat ibadah kultural secara bersama dengan formal atau rutin. Tapi dari pada itu, kesalehan individunya yang lebih ditekankan (kualitas personal).

Terdapat tiga strategi pengembangan Islam yang ditawarkan, yakni struktural, kultural, dan mobilitas sosial. Struktural melalui media politik dengan metode pemberdayaan dan aliansi. Pengembangan ini bersifat masif atau aksi bersama. Namun strategi struktural seringkali hanya bersifat pendek. Sedangkan strategi kultural menekankan pada perilaku sosial (moral force) dan inspirasional (agama sebagai sumber inspirasi). Semua perilaku datang dari dalam diri. Ikon utama gerakan ini adalah NU dan Muhammadiyah.

Yang ketiga, pengembangan Islam secara mobilitas sosial, yakni berusaha secara kolektif dan individual untuk dapat naik dalam tangga sosial. Proses yang ada berjangka panjang. Metodenya adalah pendidikan sumber daya manusia, yang secara sadar untuk mobilitas sosial. Jadi tidak sekadar menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Prof. Kuntowijoyo wafat pada 22 Februari 2005, namun gagasannya sudah sampai pada 2020. Beliau menggambarkan bahwa Indonesia nanti akan memasuki masa liberalisasi, akan semakin kompleks, dan tidak dapat dijawab dengan apa yang ada pada tahun itu (1995). Yang diperlukan adalah penggabungan antara budaya agraris yang diwakili oleh NU dan budaya industrial yang diwakili oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah perlu menghias diri dengan kebudayaan, pelestarian, dan pewarisan, tidak saja dengan kemajuan dan kreativitas. Tidak ada untungnya untuk menanggalkan warisan budaya yang dengan susah payah telah dibangun berabad-abad. (hlm. 179).

Umat Islam perlu peka terhadap kondisi sosial politik yang terjadi dan  mengembangkan media serta metode pembelajaran secara kontinu. Buku ini termasuk bacaan wajib bagi pengkaji Islam Indonesia.‎ Ada 3 falsafah yang ditekankan oleh Prof. Kuntowijoyo, yaitu amar ma’ruf dengan humanisasi (memanusiakan manusia), nahi munkar dengan liberasi (pembebasan), dan tu’minuna billah dengan transendensi (membawa manusia kepada Tuhan). Falsafah ini bersumber dari Al-Qur’an Surat Ali Imran [3]: 110 yakni “Kuntum Khaira ummatin ukhrijat linnas ta’muruna bilma’rufi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minuna billah.”