
Akhir-akhir ini hangat dibicarakan di medsos perihal film ‘Bidaah’. Film yang disutradarai Pali Yahya ini merepresentasikan sistem pendidikan yang keliru. Pemeran utama, alias Walid, menjadikan agama sebagai topeng pemuas hawa nafsunya. Para jamaahnya tidak diberi ruang berpikir kritis dan didoktrin untuk mentaati semua perintahnya dengan berdalih agama.
Di antara bentuk kekeliruannya adalah menafsiri ayat poligami dengan salah, lalu berpoligami dengan semaunya, nikah batin yang tidak ada bukti dalilnya, cium kaki mursyid, minum bekas air basuhan kakinya, minum bekas air mandi Walid dan sekeluarganya, mengada-ada sumur telaga Al-Kautsar, bahkan mengaku Imam Mahdi.
Dari sini, mursyid alias guru agama memegang peran sentral dalam mendidik jamaahnya. Ketika peran itu disalahgunakan oleh orang yang tidak memiliki integritas dan kompetensi, dampaknya bisa sangat merusak. Lantas, bagaimana cara memilih guru yang tidak seperti Walid?
Sebelum itu, tulisan ini hasil rangkuman dari kanal YouTube ‘Kulaan isi otak’ yang bertajuk “TERWALID-WALID! Film Paling Kontroversial 2025 Dibedah Tuntas”. Selanjutnya, Dalam kitab Haqaiqu ‘an al-Tasawuf karangan Abdulqodir Isa menjelaskan bahwa ada empat klasifikasi dalam memilih mursyid.
- وَلِلْمُرْشِدِ شُرُوْطٌ لَا بُدَّ مِنْهَا حَتَّى يَتَأَهَّلَ لِإِرْشَادِ النَّاسِ وَهِيَ أَرْبَعَةٌ : أَنْ يَكُوْنَ عَالِمًا بِالْفَرَائِضِ العَيْنِيَّةِ
Pertama, paham pemahaman dasar agama, terutama yang wajib hukumnya dipelajari. Di antaranya ada fikih, akidah ahli sunnah wal jamaah, dan ilmu syariat lainnya. Selain ilmu zahir barusan, sudah sepatutnya seorang mursyid menguasai ilmu batin, yakni tasawuf. Ilmu ini mengajarkan kita untuk mengelola dan memperbaiki perilaku diri. Hal ini bertujuan untuk bisa mengetahui Allah SWT.
Guru spiritual memiliki peranan penting demi membina hati muridnya menuju jalan yang benar. Bahkan, ada pepatah di dalam kitab Al–Ibriz min Kalami Abdul Aziz Ad-Dibagh, karangan muridnya, Ahmad Ibnu Al-Mubarak, mengatakan:
اِذَا لَمْ يَكُنْ عِلْمٌ لَدَيْهِ بِظَاهِرٍ# وَلَا بَاطِنٍ فَاضْرِبْ بِهِ لُجَجَ البَحْرِ
Artinya: “kalau ada guru spiritual yang tidak mengerti ilmu dhohir dan batin, lebih baik hantamkanlah dia di kedalaman laut (tinggalkan saja).”
وَإِنْ كَانَ إِلَّا أَنَّهُ غَيْرُ جَامِعِ # لِوَصْفَيْهِمَا جَمْعًا عَلَى أَكْمَلِ الأَمْرِ
Artinya: “Dan jika ia hanya memiliki sebagian, tetapi tidak menghimpun keduanya secara sempurna, maka ia pun belum mencapai kesempurnaan.
- أَنْ يَكُوْنَ عَارِفًا بِاللهِ تَعَالَى
Kedua, mengenali Allah atau dalam artian dekat. Seorang mursyid bisa mengetahui, mempraktikkan, dan merasakan dari setiap konsep akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Bahkan, saat seorang murid mendekati mursyid semacam ini, seakan-akan imannya terisi dan adem di hati, sehingga makna spiritualnya menyelam ke relung jiwa.
Di sisi lain, perkataan mursyid selalu didorong oleh keikhlasan kepada Allah, bukan untuk eksistensi atau pencitraan. Tutur katanya senantiasa mendekatkan muridnya kepada Tuhan. Suasana positifnya bukan hanya berasal dari substansi ucapannya, melainkan berasal dari cara bertutur, sikap-sikapnya, dan auranya. Sampai-sampai ketika seorang murid sekedar mengingat mursyidnya, dia akan mendapatkan kemanfaatan, yakni ketenangan. Bukan malah “Walid nak anak-anak Walid pejamkan mate…. Bayangkan muka Walid”
- أَنْ يَكُوْنَ خَبِيْرًا بِطَرَائِقَ تَزْكِيَةِ النُّفُوْسِ وَوَسَائِلَ تَرْبِيْتِهَا
Ketiga, memiliki pengetahuan dengan pengalaman mendidik jiwa. Seorang mursyid harus mampu untuk menetralisir penyakit-penyakit hati. Yakni iri, dengki, sombong, mudah cemas, egois, benci, narsis, dendam, dan masih banyak lagi. Sebelum mursyid membina, ia harus selesai dengan dirinya sendiri sendiri terlebih dahulu. Ketika usai, maka mursyid berhak untuk mendiagnosis penyakit hati yang dimiliki muridnya. Dianalogikan, mursyid itu seperti halnya dokter spesialis penanganan hati keruh.
- أَنْ يَكُوْنَ مَأْذُوْنًا بِالإِرْشَادِ مِنْ شَيْخِهِ
Keempat, memiliki sanad keilmuan dari guru spiritualnya. Yakni jalur transmisi ilmu yang bersambung dari gurunya, lalu ke guru sebelumnya, hingga akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Sanad ini menjadi bukti bahwa ajaran-ajarannya bukan hasil dari rekaan semata, melainkan warisan yang terjaga secara turun menurun dari ulama dan wali Allah. Bukan seperti “Baiduri! ini ketentuan Allah!”.
Demikianlah klasifikasi mursyid yang harus dipenuhi. Dengan mengetahuinya, kita dapat meminimalisir atau bahkan benar-benar bisa terhindar dari mursyid abal-abal ini. Bukan hanya bermodal pandai bicara, tapi juga harus dibarengi keteladanan, keikhlasan, dan kasih sayang dalam membimbing. Semoga, kita semua bisa terhindar dari ajaran-ajaran sesat semacam itu.
Baca Juga: Jagad Maya Dihebohkan dengan Sosok Walid, Perempuan Perlu Tahu Ini!
Penulis: Ahmad Danil Hidayat, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang.