
Di saat sebagian anak seusianya masih menyesuaikan diri dengan ritme perkuliahan, Arinal Haq Athoillah, salah satu alumni SMA A Wahid Hasyim Tebuireng, yang kini menjadi mahasiswa di Universitas Negeri Malang, justru berhadapan dengan laporan keuangan, sistem stok barang, hingga desain produk. Bukan karena ambisi yang memburu-buru, tapi karena hidup telah mempertemukannya lebih dulu dengan tantangan-tantangan nyata di dunia bisnis.
Usianya baru 19 tahun, ketika pertama kali memutuskan untuk membangun sebuah usaha mandiri. Saat itu, ia membuka sebuah kafe kecil di kota Malang. Modalnya berasal dari tabungan dan pinjaman kecil dari keluarga. Ide utamanya sederhana: membuat tempat nyaman dengan konsep anak muda yang kuat. Tapi dalam pelaksanaannya, semua menjadi kompleks. Ia harus belajar mengurus perizinan, menyusun menu, mempekerjakan staf, bahkan memikirkan desain interior yang menarik.
“Aku bahkan sempat tidur di kafe, karena setiap hari ada saja hal yang harus aku bereskan sendiri,” cerita Aril, mengenang masa awal perjuangannya. Tidak jarang, ia pulang larut malam hanya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Dedikasi seperti ini tidak datang dari sekadar keinginan iseng, ia lahir dari tekad dan rasa tanggung jawab yang mendalam.
Baca Juga: Menembus Batas, Kisah dan Kontribusi Mahasantri Melalui International Volunteer
Jatuh Bangun Kafe Pertama

Ia turun langsung ke semua lini, dari dari awal mencari lokasi strategis, sewa tempat kedai, dapur, kasir, pelayanan, hingga pemasaran. Dalam sebulan pertama, usahanya mulai dikenal dan ramai pengunjung. Namun, euforia keberhasilan awal itu tidak bertahan lama. Permasalahan mulai muncul dari dalam. Salah kelola stok membuatnya kehabisan bahan baku di saat ramai-ramainya. Pengeluaran untuk promosi yang tak terukur menyebabkan cash flow terganggu. Bahkan hubungan antar staf sempat tegang karena ketidakseimbangan beban kerja.
“Waktu itu aku belum paham tentang sistem. Semua aku handle sendiri, dan itu jadi jebakan juga. Aku kelelahan dan kurang bisa mendelegasikan,” ungkapnya. Rasa percaya diri yang semula menjadi kekuatan, berubah jadi beban saat tidak diimbangi dengan pengalaman dan sistem kerja yang rapi.
Tak hanya itu, konflik internal dalam manajemen juga ikut mempengaruhi jalannya bisnis. Aril yang saat itu masih meraba-raba dunia kewirausahaan, terpaksa harus mengambil keputusan berat yakni menutup kafenya. Keputusan ini bukan karena menyerah, tapi sebagai bentuk refleksi dan evaluasi diri. Ia menarik diri sejenak, mengambil waktu untuk belajar lebih banyak, menata ulang tujuan, serta menyusun strategi baru.
Di luar itu, dukungan sosok keluarga juga membuat Aril semakin kuat. Sebagai orang tua, Ibu Aril mengamati perjalanan anaknya dari dekat. “Saya sempat khawatir, apalagi waktu dia kelihatan stres dan kelelahan. Tapi saya lihat Aril ini anaknya nggak gampang nyerah. Dia tipe yang kalau jatuh, pasti bangkit dan cari cara. Itu yang bikin saya percaya dia bisa,” ujar ibunya. Dukungan dari keluarga bukan hanya soal materi, tapi lebih pada kepercayaan bahwa Aril mampu belajar dan bertumbuh dari setiap proses.
Menjajal Dunia Fashion
Setelah satu tahun mengelola bisnis kuliner, Aril mulai melirik sektor lain yang menurutnya punya potensi lebih besar di kalangan anak muda, yaitu fashion. Kecintaannya pada gaya dan identitas visual membuatnya tertarik untuk membangun sebuah brand pakaian.
Baca Juga: Pengusaha “Berjiwa” Santri dan Impiannya ke Baitullah
Lahirnya Majesté de Éternelle bukan hanya tentang menjual pakaian, tapi membawa pesan besar yakni gaya hidup yang berkelas, tegas, dan penuh karakter. Aril menciptakan brand ini dengan segmentasi yang unik. Ia membagi produknya ke dalam sistem kasta, sebuah pendekatan branding yang memadukan eksklusivitas dan identitas sosial. Misalnya, produk dengan label tertinggi hanya dirilis terbatas dan memiliki desain khas yang tidak dijual ulang.
“Aku pengen orang yang pakai brandku merasa punya karakter. Bukan cuma keren, tapi punya identitas,” ucapnya. Ia juga menyisipkan filosofi dalam setiap lini produknya, terinspirasi dari unsur kebudayaan Eropa, kemewahan klasik, dan nilai kepemimpinan muda.
Membentuk Komunitas dan Identitas
Ia menangani sendiri strategi pemasarannya, membuat konten media sosial, memilih bahan kain, hingga mengatur proses produksi. Salah satu kekuatan dari Majesté de Éternelle adalah bagaimana brand ini menuturkan cerita melalui setiap produknya. Bukan hanya menjual kaos atau hoodie, tapi menjual nilai dan visi. Dalam beberapa bulan, brand ini mulai mendapatkan perhatian dari kalangan mahasiswa, pelaku kreatif, hingga selebgram lokal. Respons yang positif membuat Aril makin semangat untuk bereksperimen dengan gaya desain dan jenis produk baru.
Ia bahkan sempat berkolaborasi dengan beberapa content creator lokal dan menghadiri pop-up market di kampus-kampus. Dari sana, ia melihat potensi jejaring yang luar biasa besar. Interaksi langsung dengan konsumen membuka pandangannya bahwa bisnis bukan hanya tentang jual beli, tapi juga tentang membangun komunitas. Ia pun aktif membentuk tim ambassador untuk memperluas jangkauan brand- nya, tanpa mengandalkan iklan konvensional.
Kuliah Tetap Prioritas
Di sisi lain, Aril tetap harus menjalani kewajibannya sebagai mahasiswa. Ia tercatat sebagai mahasiswa aktif semester pertama di jurusan Bisnis dan Kewirausahaan. Perkuliahan yang padat dan tugas-tugas yang menumpuk tak membuatnya mundur dari bisnis. Malah, ia menjadikan ilmu di kampus sebagai bahan uji langsung di lapangan.
“Kuncinya ada di manajemen waktu. Aku selalu bikin jadwal harian yang detail, dan harus disiplin. Nggak bisa sembarangan,” tuturnya. Bahkan Aril punya catatan pribadi yang ia isi setiap pagi dan malam, berisi rencana harian, evaluasi, dan refleksi diri.
Strategi dan Disiplin Harian
Ia membagi waktunya dengan cermat. Pagi hari ia gunakan untuk kuliah dan mengerjakan tugas. Siang sampai sore ia gunakan untuk mengurus produksi atau merancang strategi konten. Malam hari digunakan untuk evaluasi dan brainstorming dengan tim. Bahkan di waktu luang sekalipun, ia memilih membaca tren pasar, mempelajari kompetitor, atau mengembangkan ide produk baru.
Baca Juga: Melihat Tebuireng Tempo Dulu
Aril mengaku bahwa ada kalanya lelah fisik dan mental datang bersamaan. Tapi ia selalu berusaha menjaga semangat dengan beristirahat cukup dan meluangkan waktu untuk hal-hal yang ia sukai, seperti mendengarkan musik klasik, berjalan-jalan ke taman kota untuk menenangkan pikiran, atau sekadar duduk di balkon sambil menyeruput kopi. “Aku harus kenal diriku sendiri. Tau kapan harus gas, kapan harus rem,” tambahnya.
Konsisten Berkarya, Tak Takut Gagal

Menurut Aril, kesibukan bukanlah halangan jika tahu bagaimana cara mengelolanya. Ia tidak segan untuk berkata “tidak” pada ajakan-ajakan yang tidak produktif. Baginya, setiap menit sangat berharga. Teman- teman kampusnya pun banyak yang terkejut dengan bagaimana ia bisa tetap hadir dan aktif di kelas, tanpa mengorbankan performa bisnis. Bahkan beberapa dosennya mengapresiasi cara Aril menerapkan ilmu di kelas langsung ke bisnis nyata.
“Aku belajar banyak dari bisnis kuliner. Sekarang aku lebih tenang, lebih siap, dan lebih paham pentingnya sistem. Nggak semua harus aku kerjakan sendiri. Yang penting, punya kepercayaan ke tim dan bisa ngatur arah.”
Selain kuliah dan bisnis, Aril juga aktif mengikuti kompetisi dan pelatihan kewirausahaan. Ia pernah menjadi finalis dalam lomba business plan tingkat nasional. Di sana, ia tidak hanya belajar menyusun strategi, tetapi juga bagaimana menyampaikan ide kepada investor dan mitra bisnis. Ia percaya bahwa kombinasi antara teori kampus dan praktik di lapangan adalah kunci pembentukan karakter entrepreneur sejati.
Ke depan, Aril ingin membangun perusahaannya menjadi lebih profesional. Ia punya visi untuk menciptakan sistem bisnis yang bisa berjalan meski tanpa dirinya. Ia sedang menyusun blueprint bisnis jangka panjang yang mencakup ekspansi produk, penguatan tim kreatif, hingga pengembangan platform digital yang lebih interaktif. Tak hanya itu, ia juga berencana untuk membuka gerai offline pertama yang menggabungkan konsep fashion dan experience store.
Ingin Membangun Akademi Bisnis
Tak hanya sampai di situ, Aril juga bercita-cita membangun akademi bisnis untuk anak muda di daerah. Ia ingin pengalaman jatuh bangunnya menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Ia ingin hadir tidak hanya sebagai pelaku, tapi juga sebagai fasilitator perubahan.
Baca Juga: Penelusuran Jejak Intelektual Hadratussyaikh
“Aku pengen ada ruang belajar yang santai tapi dalam. Tempat anak-anak muda bisa bahas ide, uji strategi, dan bangun network. Karena menurutku, banyak yang punya potensi, tapi bingung mulai dari mana.”
Merambah Dunia Digital
Belakangan ini, Aril mulai mencicil langkah baru, mengembangkan kanal Instagram dan TikTok. Ia percaya bahwa media digital adalah jembatan untuk menjangkau lebih banyak pemuda. Lewat konten- konten ringan seperti “Salah Langkah Pertamaku” atau “Cara Bangun Tim di Usia 20-an”, ia mencoba membagikan pengalaman tanpa menggurui. Bahkan beberapa kontennya sudah mulai dilirik oleh platform komunitas kewirausahaan untuk diajak kolaborasi.
“Aku juga masih belajar. Tapi kalau bisa sambil ngajak orang lain belajar bareng, kenapa nggak?” katanya.
Membangun, Bukan Mengejar Cepat
Di akhir perbincangan, Aril menegaskan bahwa ia tidak ingin sekadar dikenal sebagai pebisnis muda. Ia ingin dikenang sebagai orang yang konsisten, yang berani mencoba, dan tidak takut jatuh. Ia tahu benar bahwa kegagalan bukan musuh, tapi teman belajar.
“Aku nggak nyari cepat sukses. Aku nyari kuat. Aku pengen bangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Dan itu butuh proses.”
Baca Juga: Dari Peserta Jadi Penggerak, Perjalanan Alfiyah Membawa Delegasi Indonesia ke Malaysia
Dengan semangat yang membara, sistem kerja yang disiplin, dan visi yang jelas, Aril telah menunjukkan bahwa masa muda bukan alasan untuk menunda mimpi. Justru di masa mudalah waktu terbaik untuk jatuh, bangkit, dan membangun jalan menuju kejayaan. Karena sejatinya, masa depan dibangun hari ini dengan kerja nyata, keberanian, dan kemauan untuk terus belajar.
Keberanian Aril bukan hanya tentang berani membuka usaha, tapi juga tentang berani gagal, belajar dari kesalahan, dan tetap berdiri tegak. Di dunia yang cepat berubah ini, ketekunan dan visi jangka panjang seperti milik Aril menjadi nilai langka yang patut diapresiasi. Ia adalah contoh nyata bahwa kombinasi antara semangat muda dan kedisiplinan bisa menjadi kunci untuk menciptakan perubahan yang bermakna.
Penulis: Umdatul Khoiriyah, Mahasiswa KPI Unhasy.