sumber gambar: google.com

Sayap-sayap patah merupakan salah satu mahakarya sang pujangga asal Amerika-Lebanon, Kahlil Gibran. Novel ini aslinya ditulis dalam bahasa arab, berjudul Al-Ajnihah al-mutakassirah, terbit untuk kali pertama pada 1922; versi bahasa Inggris-nya bertajuk Broken Wings.

Novel ini juga terbit dalam beberapa versi bahasa Indonesia dan tentunya juga salah satu tulisan best seller karya Qibran. Dan kali ini, pengulat mengangkat salah satu terbitan Bentang yang diterjemahkan oleh penyair terkemuka Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Sehingga novel ini menjadi manifestasi luar biasa oleh dua penyair yang luar biasa pula.

Ada beberapa tokoh yang berperan dalam kisah tersebut. Pemuda tampan Gibran, sebagai aktor utama, Selma Karamy, gadis dambaan Gibran, Farris Effandi Karamy saudagar kaya sekaligus ayah Selma. Uskup Bulos Galib bersama kemenakannya, Mansour Bey Galib.

Novel yang ditulis dengan gaya bahasa mendayu-dayu tersebut, mencoba bercerita tentang penderitaan yang dialami oleh sepasang kekasih yang saling mencinta tapi tidak ditakdirkan bersama, hingga sang kekasih menghembuskan napas terakhir. Sakit, dan benar-benar sakit.

“Oh, sahabat-sahabat masa mudaku! Atas nama semua perawan yang kalian cintai, kumohon kalian meletakkan rangkaian bunga di atas pusara kekasihku, karena bunga-bunga yang kalian letakkan di pusara selma adalah tetes-tetes embun yang jatuh dari mata fajar pada daunan mawar yang layu” (hal. 5). Ungkapan itu merupakan sepenggal derita Gibran karena kehilangan kekasihnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kisah bermula ketika Gibran tidak sengaja bertemu lelaki berwibawa yang sudah cukup berumur, sebut saja namanya Farris Effandi Karamy. Beliau merupakan sahabat karib ayahnya Gibran. Farris juga seorang milyarder dermawan di kota Beirut.

“Aku tak mengenal orang lain di Beirut ini yang kekayaannya telah membuatnya baik hati dan kebaikan hatinya telah membuatnya kaya” (hal. 14) ungkap teman Gibran ketika Gibran penasaran dengan dengan pria tersebut.

Di sisi lain teman Gibran itu juga menceritakan seorang gadis jelita yang menjadi anak saudagar kaya tersebut.

“Farris Effandi mempunyai anak perempuan yang sifatnya serupa dengannya dan kecantikan dan keanggunannya tiada tara” (hal. 14) hal tersebut tentu memantik sisi kejantanan Gibran, hingga suatu hari berangkatlah Gibran menuju kesepuhan Farris Effandi.

Sesampainya di sana, Gibran pun langsung dikenalkan dengan mutiaranya Farris, Selma Karamy. Layaknya lelaki pada umumnya ketika bertemu dengan gadis cantik-jelita, seketika itu Gibran mulai jatuh dalam mabuk kasmaran, terpesona akan kecantikan Selma. Ribuan kata puitis dan kalimat filosofis berputar dalam kepalanya, tidak lain karena Gibran merasa luar biasa bahagianya, hingga lupa akan konsekuen yang akan diterimanya.

Hari-hari berikutnya Gibran lalui dengan musim semi. Kolapak bunga warna-warni mekar dalam hati Gibran. Tidak ada warna kelabu dalam benaknya, hanya warna cerah yang menyelimuti jiwanya. Sampai, ketika seorang uskup datang merebut Selma dari Farris dan merampasnya dari perasaan cinta Gibran.

“Selmaku yang terkasih, tidak lama lagi kau akan direnggut dari tangan ayahmu ke tangan laki-laki lain. Tak lama lagi nasib akan membawamu dari rumah sunyi ini ke istana lapang,” (hal. 43)

Sejak saat itu, Gibran mulai kehilangan semangat. Perempuan yang begitu ia kasihi direnggut begitu saja oleh uskup yang berkuasa untuk disandingkan dengan kemenakannya. Hal ini karena pemimpin agama di Timur tidak puas dengan kemurahan hatinya sendiri, tetapi merek harus berusaha untuk menjadikan semua anggota keluarganya terhebat dan suka menindas. (hal. 49)

Tak ada perlawanan, tepatnya tak ada yang berani melawan, sebab konsekuen yang diterima sangat menghancurkannya hidup.

Begitu seterusnya, hingga Selma menghembuskan napas terakhir dipangkuan lelaki yang bukan Gibran, cinta pertamanya. Dan selama itu pula, Gibran menderita karena luka masa mudanya. Rasa cinta yang ia punya tak cukup untuk mendapatkan wanita idamannya. Mereka yang punya kuasalah, yang akhirnya menang dan berjaya. Mansour, kemenakan uskup hanya ongkang-ongkang kaki di rumah tanpa usaha yang signifikan dapat memiliki kembang desa yang menjadi idaman banyak orang.

Kisah cinta Gibran ini, entah berasal dari kenyataan hidupnya, atau sekedar menempatkan dirinya sebagai pemeran utama dalam cerita tersebut, tiada yang tahu. Hanya saja, gaya bahasa yang sangat-sangat sastra dan puitis membuat buku ini diterbitkan di berbagai daerah dan dalam beragam bahasa.

Selain itu novel tersebut, dalam kepenulisannya, juga memiliki banyak makna dalam setiap kalimatnya, sehingga sangat merayu pembaca untuk terus membaca tanpa henti dan menangkap banyak makna dalam setiap paragraf.


Judul: The Broken Wings (Sayap-Sayap Patah)
Penulis: Kahlil Gibran
Penerjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Bentang
Tahun : 2021
Tebal: 130 halaman
ISBN: 978-602-291-787-8
Peresensi: Al Fahrizal