tebuireng.online—Isu kebangkitan PKI mutaakhir ini ramai di perbicangkan. Pasalnya berbagai provokasi yang dilakukan baik melalui film maupun buku dilakukan oleh para simpatisan PKI. PKI kini mencoba membela diri dan ingin mengubah keadaan, yakni dari pelaku kekerasan menjadi korban. Pemutarbalikan isu inilah yang kian waktu di kampanyakan khususnya dikalangan anak muda. Kabar mutaakhir, mereka juga kini membawa isu ini ke pengadilan HAM Internasional di Den Haag, guna memuluskan misi politisnya.
Tentu amat berbahaya jika, tindakan provokasi yang dilakukan oleh oknum dan simpatisan PKI meracuni generasi muda NU. Pengurus BEM Pesantren se- Jawa Timur dan BEM Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng bekerjasama dengan Pusat Kajian Pengembangan Pesantren, PKPM dan Tebuireng Media Group menggelar acara bedah buku “Benturan NU-PKI 1948-1965” di Aula Bachir Ahmad Gedung KH. M. Yusuf Hasyim Lt. 3 PP. Tebuireng Jombang Jawa Timur kamis kemarin (08/05).
Buku dibedah langsung oleh penulisnya, H. Abdul Mun’im Dz, Wasekjen PBNU dan Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr (HC). Ir. KH. Salahuddin Wahid. Acara bedah buku ini dihadiri sekitar 300 lebih peserta dari kalangan Mahasiswa-wi dan santri/wati dari berbagai kampus dan pesantren Se-Jombang.
Dalam pemaparan Gus Sholah, buku tersebut sangat bagus. Pasalnya di penuhi dengan data-data sejarah mengenai NU-PKI yang terlupakan oleh publik selama 50 tahun terakhir. Bahkan, pembunuhan yang dilakukan oleh Barisan Anshor (Banser) terhadap PKI adalah bagian dari pembelaan diri. “Saya kira itu pembelaan diri, kita diserang bagaimana bisa kita tidak membentengi diri”, ujar Pengasuh Pesantren Tebuireng yang juga pelaku sejarah.
Gus Sholah juga menceritakan pengalamannya ketika terjadinya pemberontakan PKI. Ketika itu beliau bertanya kepada Sang Ayah, KH. A. Wahid Hasyim tentang sebuah foto-foto. Kiai Wahid menjawab bahwa itu adalah foto anggota PKI yang dihukum mati. “Jadi 63 tahun yang lalu masih nancap di ingatan saya. Penjelasan itu pun masih nancep ndak keluar-keluar. Tahun 61 atau 62 mereka mulai melakukan profokasi terhadap NU, TNI dan lainnya”.
Kemudian, menurut adik kandung Gus Dur ini, PKI melakukan banyak profokasi dan hasutan, misalnya dengan tulisan-tulisan di media cetak seperti koran Simpo, Harian Rakyat, Bintang Timur dan lain sebagainya. Tidak hanya dengan gerakan konkrit penistaan agama juga dilakukan. Gus Sholah juga mengkritik sikap Pramudya Ananta Toer yang menolak permintaan maaf Gus Dur terkait peristiwa 65. “Sebagai Seorang Sastrawan kita bisa memberika apresisasi, kalau sebagai penulis yang menyudutkan orang lain dengan cara tidak baik, ya kita patut tidak suka”,
“Saat itu, Puluhan Banser dibunuh di Banyuwangi, para kiai Gontor dan sekitarnya ditahan di Madiun kemudian dibebaskan oleh Pak Ud dan pasukannya”, lanjut Gus Sholah menceritakan rentetan peristiwa pemberontakan PKI. Mengenai peristiwa pemberontakan 30 September 1965, Gus Sholah mengaku sedang berada di kediaman calon mertua beliau, KH. Saifuddin Zuhri yang sekarang tak lain adalah ayah Bu Nyai Hj. Faridah. Malam hari itu terdengar suara tembakan di Blok M yang ternyata adalah rumah dari Jendral Panjaitan, dan setelah itu dibentuklah Dewan Jendral.
“Ibu langsung punya inisiatif untuk mengumpulkan para pemuda NU di Jakarta di rumahnya. Rumah kami aman sebab bertetangga dengan Jenderal Alamsyah yang rumahnya dijaga ketat oleh Banser”, cerita Gus Sholah penuh bersemangat. Setelah Maghrib semua orang kembali ke rumah masing-masing. Setelah peristiwa tersebut selama sekitar sebulan diberlakukan jam malam, sehingga siapapun hanya bisa berada di dalam rumah, membicarakan apa yang terjadi dengan mendengarkan radio “Amatir”.
Kemudian barulah terdengar berita tentang pembunuhan di berbagai tempat. “Dulu kan belum ada SMS, Facebook, Twitter. Jadi kita menelusuri fakta lebih dalam”, ungkap beliau. Menurut Gus Sholah jumlah korban yang diketahui publik selama ini terlalu dibesar-besarkan. “Itu Kursnya terlalu tinggi itu, dikalikan sepuluh mungkin ya”, gurau Gus Sholah disambut tawa penonton.
Ditanya soal sikap yang seharusnya diterapkan oleh kaum Nahdliyin terhadap isu PKI gaya baru yang baru-baru ini mencuat, Gus Sholah menghimbau agar warga Nahdliyin agar tetap waspada tapi tidak takut terlalu berlebihan. “Kalau Ketemu Genderuwo malam-malam nggak bisa tidur kan nggak enak sekali itu, ya ndak usah takut berlebihan lah, tapi tetap waspada”, tutur Gus Sholah sebelum acara berakhir.
Kegagalan memahami sejarah secara utuh acapkali digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Panitia berharap dengan acara bedah buku ini, generasi muda NU yang sedang belajar di pesantren mengetahui dan memahami sejarah secara baik dan benar. (abror/fao)