sumber ilustrasi: suara.com

Oleh: Uzair Assyaakir*

Kita sudah lama tidak berkirim kabar. Hampir satu tahun, ya?

Bagai desingan peluru, waktu melesat begitu cepat. Sedang aku tertahan di dalam ruang waktu masa silam, terimpit sesak oleh kenangan yang sengaja kita ciptakan. Barang sejengkal aku hampir bisa keluar, hujan lebat memukulku telak, badanku terkulai lemas, terkungkung di balik jendela, menatap wajahmu yang riang di seberang jalan sedang main hujan-hujanan bersamaku. Waktu dulu.

Adakah kau tahu bahwa hati ini masih milikmu? Persetan dengan waktu, waktu tak pernah mengerti aku. Tak peduli satu tahun, satu lustrum, satu windu, atau satu abad sekalipun, hatiku tetap sama, adakah kau tahu?

Aku tahu kau juga merindukanku. Kulihat dari tatapan matamu saat malam lalu kita tak sengaja berpapasan. Sebenarnya, aku sengaja menemuimu, maka kubuat seolah-olah malam itu terjadi secara kebetulan. Aku pergi ke minimarket tak jauh dari rumahmu, waktu itu pukul delapan malam. Saat kita masih bersama dulu, kau sering mengajakku ke minimarket ini, di jam yang sama. Katamu, hendak membeli susu Ultra High Temperature rasa strawberry teruntuk adik yang besok siap berangkat ke sekolah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aku baru masuk ke minimarket, sedang kau tengah berdiri di lorong permen sambil sedikit kerepotan menenteng barang belanjaan untuk diserahkan ke meja kasir. Kau menoleh sekilas ke arahku, tertegun dengan wajah tidak percaya. Lalu melempar senyum sekenanya, senyum paling canggung yang pernah aku lihat. Sambil gelagapan menata kerudung, kau bergegas menuju meja kasir.

Kau tentu tahu aku tak bisa mengirim pesan untukmu, setidaknya buka dulu blokiran sosmed atas namaku. Apa perlu kukirimkan surat melalui merpati? Setidaknya jangan konyol, menyamakan abad 21 dengan abad 12. Menggulung kertas, memasukkannya ke kapsul pelindung, menyelipkannya di antara kaki merpati yang memakai gelang. Kau sungguh berharap ada merpati membawa surat sedang bertengger di pohon Asam Jawa yang kau letakkan di balkon rumahmu?

Novel mana yang kau baca? Dongeng karangan siapa yang kau percaya?

Lagi pula aku tidak pernah bisa memahamimu, kan? Bukankah kau pernah berkata seperti itu? Bahwa tak ada satupun laki-laki di dunia ini yang bisa memahamimu. Setidaknya menerjemahkan kata “terserah” yang acap kali kau tumpahkan.

Kendati demikian, aku tak pernah bisa membohongi diriku sendiri. Kau adalah perempuan nomor satu yang menduduki kasta tertinggi di hatiku. Kepiawaianmu dalam mencuri hatiku adalah pencurian terbesar yang tak akan pernah kusesali.

Benar bahwa hidup memang indah. Ia indah karena kau sempat mampir di dalamnya. Meski hanya sekadar minum kopi di teras rumah sambil bersenda gurau bersama. Akibatnya, aku telanjur nyaman bersamamu. Sihir magis yang kau lecutkan dari tatapan matamu, rapalan mantra yang kau lemparkan melalui senyummu, seketika membuatku lupa, bahwa tamu hanyalah tamu, ia bukan pemilik rumah.

Harusnya aku tidak pernah mengetik ini semua. Semua yang berisi kenangan tentang kita. Tentangmu, mata yang semi-kecoklatan, lengan yang sering kau ayunkan.

Kita seperti sampai di halaman terakhir suatu buku. Di penghujung kalimatnya. Kau tahu maksudku? Ending tidak akan pernah bisa berubah. Meski aku membaca ulang sebuah buku dari awal, kemudian tertawa di halaman tengah, lalu menangis di halaman akhir yang tragis.

Aku tahu aku tahu akan hal itu, setidaknya biarkanlah aku mengingat halaman tengah itu, tinggal di dalamnya, menua dan mati bersama kenangan yang senantiasa membuatku tertawa.