ilustrasi toleransi

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, agama sering kali dijadikan batas yang memisahkan, bukan jembatan yang menyatukan. Narasi yang berkembang di banyak tempat menggambarkan agama sebagai identitas yang eksklusif, seolah-olah iman seseorang hanya bermakna dalam keterpisahan dari yang lain. Namun, jika kita menengok lebih dalam, esensi keberagamaan justru terletak pada nilai-nilai yang mengundang, merangkul, dan membuka ruang dialog bagi sesama manusia.

Sebagai seseorang yang berasal dari tradisi Katolik, saya tertarik untuk memahami bagaimana inklusivitas dapat hadir dalam setiap keyakinan, termasuk dalam Islam. Islam, yang secara harfiah berarti “kedamaian” dan “penyerahan diri kepada Tuhan”, memiliki sejarah panjang dalam membangun peradaban yang terbuka dan menghargai keberagaman. Di banyak periode sejarahnya, Islam tidak hanya hadir sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem sosial yang memberi ruang bagi perbedaan.

Salah satu contoh nyata adalah bagaimana Islam di era keemasan tidak hanya berkembang dalam komunitas muslim, tetapi juga menjadi rumah bagi ilmuwan, filsuf, dan cendekiawan dari berbagai latar belakang. Andalusia pada abad pertengahan, misalnya, menjadi saksi bagaimana Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan dalam semangat keilmuan dan toleransi. Tidak hanya itu, di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti Baghdad dan Kairo, berbagai pemikiran berkembang pesat tanpa batasan agama sebagai penghalang.

Dalam konteks yang lebih teologis, konsep ahlul kitab dalam Islam menunjukkan pengakuan terhadap keberadaan agama-agama lain yang memiliki kitab suci. Ini mengindikasikan bahwa sejak awal, Islam tidak memandang dirinya sebagai entitas yang harus berdiri sendiri tanpa relasi dengan tradisi keagamaan lain. Pengakuan ini menjadi dasar penting bagi perkembangan dialog lintas iman yang bertujuan menciptakan harmoni sosial dan pemahaman bersama.

Lebih jauh, Islam juga mengajarkan konsep fitrah, yang dalam banyak tafsir menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan dengan kecenderungan untuk mengenal Tuhan dan mencari kebenaran. Dalam perspektif ini, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai pemahaman spiritual, terlepas dari latar belakang agamanya. Hal ini sejalan dengan pemikiran teolog muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang menekankan bahwa kebenaran bisa ditemukan dalam berbagai sistem pemikiran dan keyakinan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu, konsep maqashid syariah atau tujuan hukum Islam juga dapat menjadi landasan dalam memahami inklusivitas. Para ulama klasik seperti Al-Ghazali dan Asy-Syatibi menegaskan bahwa tujuan utama syariat Islam adalah menjaga lima hal mendasar dalam kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara kepada Muslim, tetapi kepada seluruh manusia dalam konteks menjaga keadilan dan kesejahteraan universal.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan dunia, termasuk dalam Islam dan agama lainnya, muncul kelompok-kelompok yang cenderung membangun sekat, bukan jembatan. Fenomena ini bukanlah representasi dari agama itu sendiri, melainkan refleksi dari bagaimana agama diinterpretasikan dalam konteks sosial dan politik yang berbeda-beda. Tantangan ini sering kali muncul akibat pengaruh ideologi yang mengedepankan eksklusivitas serta ketakutan akan kehilangan identitas dalam interaksi dengan yang berbeda.

Yang menarik, dalam Islam sendiri terdapat banyak ajaran yang justru menekankan pada inklusivitas. Salah satu ayat yang sering dikutip dalam konteks ini adalah, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256), yang menegaskan bahwa keimanan adalah pilihan personal yang harus dihormati. Selain itu, dalam banyak ajaran sufisme, Islam dipahami sebagai jalan cinta dan pengabdian yang tidak terbatas oleh sekat-sekat identitas formal. Para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi menekankan bahwa pengalaman spiritual lebih luas daripada batas-batas institusional agama, sehingga memungkinkan perjumpaan yang lebih mendalam dengan berbagai tradisi keagamaan.

Selain itu, konsep rahmatan lil alamin atau “rahmat bagi seluruh alam” dalam Islam juga menegaskan bahwa ajaran ini ditujukan untuk membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi kelompok tertentu. Ini adalah prinsip yang menunjukkan bahwa Islam memiliki nilai universal yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks dan budaya tanpa kehilangan esensinya. Di dunia modern, banyak pemikir muslim yang terus mengembangkan pemahaman ini dalam bentuk pendekatan inklusif terhadap isu-isu sosial, seperti hak asasi manusia, pluralisme, dan keadilan sosial.

Memandang Islam dari luar, memberikan saya perspektif bahwa agama ini, seperti agama-agama lainnya, memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan pemersatu. Islam bukan sekadar identitas, tetapi sebuah jalan hidup yang bisa memberikan ruang bagi semua. Tantangan yang dihadapi umat beragama saat ini bukanlah mempertahankan perbedaan dalam eksklusivitas, tetapi bagaimana menjadikan perbedaan itu sebagai sumber kekayaan dalam kehidupan bersama.

Selain itu, dalam pengalaman pribadi saya berinteraksi dengan komunitas muslim, saya menemukan bahwa keterbukaan terhadap dialog dan penghormatan terhadap keyakinan lain bukan hanya gagasan ideal, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Banyak individu dan komunitas muslim yang berusaha mengaplikasikan ajaran inklusif ini dalam interaksi mereka dengan orang-orang dari latar belakang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa inklusivitas bukan hanya konsep teoretis, tetapi sebuah praktik yang terus berkembang dalam masyarakat Islam.

Pada akhirnya, meretas sekat bukan berarti meniadakan identitas, tetapi justru memahami bahwa identitas keberagamaan kita semakin kaya saat bisa berdialog dengan yang lain. Inklusivitas bukan ancaman bagi iman, melainkan bentuk kedewasaan dalam memahami makna keberagamaan yang sesungguhnya. Dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa iman tidak hanya tentang meyakini apa yang kita anut, tetapi juga bagaimana kita melihat yang lain dengan penuh penghormatan dan kasih sayang. Keberagaman bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperluas cakrawala pemahaman dan menciptakan dunia yang lebih harmonis.

Baca Juga: Nilai Toleransi dan Persaudaraan Hadratussyaikh Hasyim Asyari


Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Peminat masalah Sosial, Religi, dan Budaya Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol