Sebuah keluarga kecil sederhana yang terus hidup penuh cinta. Mereka tinggal di sebuah rumah kayu berlantai tanah, dikelilingi kebun sayur dan peternakan kecil. Meskipun hidup serba kekurangan, keluarga ini penuh dengan kasih sayang dan semangat yang tak pernah padam. Ayah dan ibu mereka adalah sosok yang tak pernah lelah berjuang, bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk memberikan pendidikan dan harapan bagi anak-anak mereka.
Pak Sulaiman adalah seorang petani yang bekerja keras di sawah dari pagi hingga sore. Tangan-tangannya yang kasar dari cangkul dan garu menunjukkan betapa banyak keringat yang telah ia keluarkan untuk menciptakan hidup yang lebih baik bagi keluarganya. Begitu juga Bu Salimah, seorang penenun kain tradisional. Setiap malam, setelah mengurus pekerjaan rumah dan anak-anak, ia duduk dengan tenang di sudut ruang tamu, memintal benang dan menenun kain dengan penuh ketelitian. Meskipun hasil tenunannya tak banyak, setiap helai kain yang ia buat penuh dengan doa dan harapan.
“Pak, jangan terlalu lelah,” kata Bu Salimah, ketika suaminya selesai bekerja di sawah dan duduk di teras rumah, menatap matahari yang terbenam di balik gunung.
“Istirahatlah sebentar.”
“Tak apa, Salimah. Kalau kita berhenti, nanti anak-anak kita tak bisa melanjutkan sekolah. Mereka harus lebih baik dari kita,” jawab Pak Sulaiman sambil menatap jauh, seolah-olah melihat masa depan anak-anaknya yang sedang berjuang di sekolah.
Anak sulung mereka, Hartono, sedang duduk di depan rumah, menatap buku yang ada di tangannya. Meski usianya baru 15 tahun, ia sudah bekerja paruh waktu membantu ayahnya di sawah, tetapi tekadnya untuk belajar tidak pernah surut. Setiap malam, ketika yang lain terlelap, ia duduk dengan lampu minyak yang temaram, membaca buku pelajaran yang sudah mulai usang.
“Hartono, jangan terlalu keras pada diri sendiri,” kata Bu Salimah, sambil mendekat.
“Cukup belajar secukupnya, jangan sampai sakit.” Hartono menatap ibunya dengan tatapan penuh tekad.
“Aku harus bisa, Bu. Aku ingin membuat kalian bangga.”
“Kami sudah bangga denganmu, nak,” jawab Bu Salimah dengan suara lembut namun penuh harapan.
Malam itu, Pak Sulaiman tidak bisa tidur. Ia teringat kembali pada tahun-tahun penuh perjuangan yang telah dilaluinya. Ia tahu bahwa hidup mereka tidak akan pernah mudah. Namun, ia juga tahu bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara agar anak-anaknya bisa mengubah nasib, melangkah lebih jauh dari hidup yang mereka jalani sekarang.
Pagi-pagi sekali, Pak Sulaiman pergi ke sawah, dan Bu Salimah sudah mulai menenun di ruang tamu. Hartono bangun lebih awal dari biasanya dan melihat kedua orangtuanya yang sedang berjuang, walau dalam kelelahan, masih tetap tersenyum.
“Ayah, Bu… aku janji, aku akan belajar lebih keras,” kata Hartono dengan penuh tekad.
Ayahnya mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Jangan hanya janji, nak. Buktikan dengan tindakan.”
Hari-hari berlalu, dan kehidupan keluarga itu semakin keras. Namun, Hartono tidak pernah menyerah. Ia terus belajar, meskipun terkadang perutnya terasa lapar dan tubuhnya lelah. Semua yang ia lakukan adalah untuk orang tuanya, untuk membuktikan bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia.
Suatu hari, sebuah surat datang ke rumah mereka. Surat itu adalah kabar bahwa Hartono diterima di sebuah sekolah menengah atas di kota. Kabar itu membawa kebahagiaan yang luar biasa bagi keluarga kecil itu. Hartono melompat kegirangan dan langsung memeluk ibunya.
“Bu, Ayah, aku diterima! Aku bisa melanjutkan sekolah!”
Tetesan air mata mengalir di wajah Bu Salimah dan Pak Sulaiman. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia. Mereka tahu bahwa anak mereka, yang telah menyaksikan setiap tetes keringat dan jerih payah mereka, kini akan melangkah ke jalan yang lebih baik.
“Ini berkat kalian, Ayah, Bu,” kata Hartono dengan suara terbata-bata, penuh haru.
“Aku tidak akan mengecewakan kalian.” Pak Sulaiman merangkul anaknya.
“Kamu sudah membuat kami bangga, nak. Sekarang giliranmu untuk membuat masa depanmu lebih baik. Jangan lupa dari mana asalmu.”
Hartono mengangguk dengan penuh keyakinan. Ia tahu bahwa perjuangan orang tuanya adalah cermin dari tekad dan kerja keras. Tidak ada jalan yang mudah, tetapi dengan cinta dan doa, segala sesuatu menjadi mungkin.
Di desa itu, di rumah kayu sederhana yang dikelilingi sawah dan kebun, Hartono belajar bahwa pahlawan sejati bukanlah mereka yang hanya dikenal di luar sana, tetapi mereka yang berjuang tanpa henti untuk masa depan anak-anak mereka—seperti ayah dan ibunya.
Dan di ujung jalan yang penuh tantangan itu, Hartono melihat cahaya yang terang, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh keluarganya.
Penulis: Ummu Masrurah