ilustrasi: amir/to

Oleh: Ananda Prayogi*

 “Yuk bakar ayam nanti malam, rayakan tahun baru!”

“Jangan lupa beli terompetnya”

“Kembang apinya sudah beli berapa?”

“Jangan lewatkan 12 malam, kita mulai nongki jam 9 ya?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalimat di atas tentunya sudah sangat tidak asing di telinga mayoritas masyarakat Indonesia setiap menjelang akhir tahun Masehi. Alun-alun kota dan beberapa tempat ramai lainnya menjadi berlipat-lipat semakin ramai ketika momen ini berlangsung. Terlebih, saat detik-detik sebelum tepat 12 malam sebagai pergantian tahun, berbagai aktivitas seperti pembunyian petasan atau kembang api, terompet, dan bakar-bakaran menjadi hal yang pasti akan banyak dijumpai. Lalu, apakah tahun baru Masehi memang perlu dirayakan seperti itu?

Mengingat Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim, pertanyaan tentang hukum atau penjelasan dalam merayakan tahun baru menjadi tren tahunan yang terus dibahas. Sebagaian masyarakat sangat mendukung penolakan terhadap kegiatan tersebut karena dianggap meniru tradisi orang kafir. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang menganggapnya wajar hal tersebut karena bukan merupakan sebuah ritual keagamaan yang sakral, melainkan hanya sebuah perayaan. Dari sini, memaknai ulang  perayaan tahun Masehi itu sendiri secara objektif menjadi penting dengan cara melihatnya dari berbagai perspektif.

Perspektif Sejarah-Tradisi

Perayaan tahun baru bermula dari perayaan besar ritual atau budaya paganisme bangsa Romawi yang dilakukan setiap awal tahun dengan berpesta ria. Pesta ini ditujukan untuk dewa Janus, nama dewa mitologi kuno Romawi yang memiliki dua wajah menghadap depan dan belakang. Dalam buku “The World Book Encyclopedia” tertulis, perayaan 1 Januari ini pertama kali diadakan oleh Penguasa Romawi Julius Caesar yang juga menetapkannya sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke-46 SM. Ketika itu, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan semenjak abad ke-7 SM.

Bentuk perayaan tahun baru yang dilakukan berupa kegiatan yang digabungkan dari berbagai tradisi. Seperti peniupan terompet yang dilakukan diindikasikan merupakan tradisi dari agama Yahudi yang memang untuk menyambut tahun baru dan pembunyian lonceng yang notabene adalah tradisi agama Kristiani sebagai pengingat waktu ibadah. Adapun kembang api dan petasan merupakan peralihan bentuk dari tradisi agama Majusi yang menjadikan api sebagai sesuatu yang sakral dan disembah. Pada intinya, kegiatan perayaan tahun baru yang menjadi tradisi sejak dulu identik dengan pesta yang diisi dengan kembang api, terompet, lonceng, berbagai makanan yang melimpah, serta kegiatan lainnya. Di Indonesia sendiri, sebenarnya tidak diketahui pasti awal mula perayaan ini diadakan dengan model seperti itu.

Perspektif Psikologi-Sosial

Perayaan tahun baru Masehi tidak dapat lepas dari tren di Barat yang memiliki pengaruh kuat kepada masyarakat di Indonesia. Publikasi atau berita akan model perayaan tahun baru seperti menyalakan kembang api, terompet dan lain sebagainya menjadi sangat gencar digaungkan di media internet. Akhirnya, sebagian masyarakat Indonesia mengikuti tren yang ada dan terlihat menarik tersebut. Hal itu dapat dilihat dengan perayaan tahun baru yang diisi dengan kembang api, petasan, dan sejenisnya yang khususnya terjadi di kota-kota besar. Kalau kita ingin mencarinya, tidak sedikit vlogging atau rekaman video tahun baru yang diunggah di berbagai platform media sosial yang dapat ditemui di detik-detik sebelum pergantian tahun. Dari sini, model kegiatan perayaan tahun baru Masehi seperti itu terlihat memang sudah menjadi tren kuat yang ada di Indonesia.

Secara psikologis, semakin banyak orang yang melakukan sesuatu tren di masyarakat, semakin populer sifat atau gagasan itu, maka akan semakin meyakinkan seseorang bahwa hal yang sama baik untuk diikuti dan dilakukan. Hal itu akan terus semakin kuat dan akan menjadi tren yang biasa dilakukan. Bahkan, seseorang akan melakukannya tanpa ia sadari apa manfaat dan sejarahnya sama sekali. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat konsep tren yang ada sesuai dengan realita yang terjadi di masyarakat. Maka, model perayaan tahun baru Masehi yang terjadi di Indonesia merupakan hal wajar secara psikologi dengan pengaruh tren yang begitu kuat.

Perspektif Islam-Agama

Perayaan tahun baru Masehi memang pada awalnya terkait dengan sebuah tradisi dan menjadi tren yang ada di masyarakat luas. Namun dari sisi agama, banyak sekali ditemukan kegiatan yang tidak dianjurkan oleh agama bahkan dilarang. Beberapa di antaranya yang terjadi sekarang adalah kegiatan kembang api yang diindikasikan merupakan bentuk dari tradisi yang dilakukan oleh Majusi dan terompet yang notabene berasal dari Yahudi. Hal ini menjadi tradisi yang meniru agama lain yang sudah diperingatkan oleh nabi. Rasulullah saw pernah bersabda:

“مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ”

Artinya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4031). Hadis di atas memiliki arti secara tersurat akan larangan menyerupai mereka terlebih mengikuti mereka, apalagi yang diikuti merupakan sesuatu yang tidak baik atau tidak bermanfaat. Selain itu dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda:

“لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ” فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: “وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ؟”

Artinya: “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah saw, Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi? Beliau menjawab, Selain mereka lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 7319).

Salah satu hal yang dilakukan dalam perayaan tahun baru Masehi yaitu duduk dan terjaga hingga larut malam menunggu detik-detik pergantian tahun. Hal itu bisa dianggap sebagai kegiatan yang kurang berfaedah yang menunjukkan kurang baiknya Islam seseorang. Karena sesuai dengan hadis Rasulullah saw.:

“مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ”

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang, jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Al-Tirmidzi No. 2318). Selain itu, membakar petasan pada perayaan tahun baru Masehi dalam terlebih dalam jumlah besar merupakan pemborosan terhadap harta. Nabi saw dalam hal ini menjadikan pemborosan sebagai salah satu hal yang tidak diridhai oleh Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

“إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ”

 “Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715).

Reframing dan Refleksi

Perayaan merupakan kegiatan yang lazim dilakukan di seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pemerintahan, organisasi keagamaan, hingga lingkup paling kecil dari masyarakat yaitu keluarga memiliki hari spesialnya yang dirayakan masing-masing. Perayaan terhadap sesuatu merupakan hak setiap orang untuk melakukannya atau tidak. Semuanya dapat tergantung niatnya masing-masing atau juga dari dampaknya terhadap lingkungan.

Kaitannya dengan perayaan tahun baru, kita harus bisa memaknainya dengan sesuatu yang positif. Perayaan tidak harus dengan petasan yang menurut sebagai orang dianggap sebagai pemborosan serta memiliki potensi bahaya yang cukup besar. Terlebih lagi, pemerintah sudah melarangnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 400.10/8922/SJ tentang Peningkatan Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah pada saat Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 akibat dari beberapa bukti bahaya yang telah terjadi. Daripada membeli petasan dengan jumlah uang yang besar, perayaan dapat dilakukan dengan kegiatan bersedekah kepada yang membutuhkan, tetangga, ataupun mengadakan acara positif bersama keluarga maupun kelompok masyakat.Selain itu, perayaan dapat dilakukan dengan melakukan hal positif dan menyenangkan bersama teman ataupun keluarga.

Perayaan tahun baru Masehi yang biasanya menghabisnya banyak waktu semalaman untuk sekedar menunggu detik-detik pergantian tahun dianggap sebagai kegiatan yang kurang bermanfaat. Kegiatan tersebut dapat diganti dengan kegiatan yang lebih positif seperti mengadakan kegiatan refleksi bersama atau muhasabah diri masing-masing. Sayyidina Umar bin Khattab ra. pernah mengatakan:

“حاسبوا قبل أن تحاسبوا”

“Hisablah (evaluasi) diri kalian sebelum kalian dihisab.” Mengingat momen tahun baru merupakan pergantian dari waktu yang telah dilaluinya selama 12 bulan menuju kurun 12 bulan yang akan datang, maka muhasabah diri di momen ini merupakan yang paling ideal.

Evaluasi diri merupakan hal yang penting untuk dapat mengetahui apa-apa yang kurang baik di masa lalu sehingga dapat di perbaiki di masa yang akan datang. Dengan evalusi, ketika seseorang melakukan beberapa kesalahan di waktu lampau, ia dapat mengingatnya dan berusaha untuk jatuh pada lubang yang sama. Harapan dengan selesainya tahun ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik agar kelak menjadi orang yang beruntung. Karena barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, ia merupakan orang yang beruntung, dan barangsiapa sama antara hari ini dan kemarin, maka ia orang yang merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, ia merupakan orang yang celaka. Itulah makna dari kata mutiara orang Arab yang sangat masyhur. Mudah-mudahan kita termasuk dari orang-orang yang beruntung, aamiin. Wallahu a’lam.