Buku “Merindu Gus Dur”, Antologi Esai Pemikiran Sang Guru Bangsa.

Judul               : Merindu Gus Dur, Antologi Esai Pemikiran Guru Bangsa

Penerbit           : Komojoyo Press

Pengarang        : Ahmad Saefudin, dkk

ISBN               : 978-602-6723-28-4

Peresensi          : Dimas Indianto S.,M.Pd.I*

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Merindu Gus Dur

Desember adalah bulan merindu Gus Dur. Banyak orang merindukan sosok Gus Dur, merindukan segala ikhwal Gus Dur: gagasan, nasionalisme, spirit pluralisme, strategi politik, kebijakan, kewaskitaan, keteduhan, hingga kelakarnya. Bahkan kata-kata “Begitu Aja Kok Repot” menjadi semacam mantra untuk lebih cerdas dalam menghadapi segala sesuatu. Selepas kepergiannya pada 30 Desember 2009, banyak kalangan menyatakan kehilangan sosok pemimpin sekaligus kiai karismatik yang diterima di semua lini, sehingga tidak sedikit meme di sosial media menulis “Selepas kamu  pergi, semuanya jadi repot, Gus!”.

Akhir Desember adalah puncak dari bulan merindu Gus Dur, banyak hal yang membuat manusia Indonesia senantiasa mengingatnya. Bapak Pluralisme, begitu sandangan yang banyak orang yakini. Betapa tidak, ia mengajarkan toleransi, mengajarkan pluralisme, mengajarkan kesadaran akan heterogenitas, mengajarkan bahwa ada liyan di sekeliling kita. Banyak kalangan membuat acara mengenang Gus Dur yang lebih akrab dinamakan Haul Gus Dur.

Selain sekadar acara ritual mengenang Gus Dur, beberapa pihak juga membuat sebentuk pengabadian ingatan mengenai Gus Dur. Sebagaimana dilakukan oleh Tim Dosen Unisnu Jepara dengan Komunitas Gusdurian Jepara yang menyusun buku “Merindu Buku, antologi Esai Pemikiran Sang Guru Bangsa”. Buku setebal 124 halaman ini berisi 19 esai dari penulis lintas latarbelakang. Secara garis besar buku ini semacam kumpulan kesaksian dan interpretasi mengenai gagasan Gus Dur yang dijadikan materi dikusi rutin”Malem Kemisan” sejak 2016.

Buku ini dibuka dengan testimoni langsung dari Putri Gus Dur, Alissa Wahid. Dalam sambutannya, Alisa menyatakan bahwa Gus Dur bukanlah sosok ayah “biasa”. Gus Dur, bahkan menempatkan keluarga menjadi prioritas ke empat, setelah negara, Islam, dan NU. Betapa Gus Dur mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan sendiri, kepentingan keluarga! Untuk itulah Gus Dur khas dengan perjuangan Humanisme Universal. Sehingga wajar banyak kalangan menyatakan kehilangan Gus Dur. Makamnya tidak pernah sepi dari para peziarah. Untuk itulah, menurut Alissa, Gus Dur membuat tradisi ziarah yang dulunya khas ala nahdliyin menjadi tradisi baru di kalangan kaum modern bahkan kaum non nahdliyin. Artis, duta besar, dan pemimpin negara-negara lain pun sekarang mudah dijumpai di makam beliau. Itulah kesaksian atas kemanfaatan hidup Gus Dur bagi umat, sesuatu yang menjadi cita-cita perjuangannya sejak muda. (hal xiv)

Pribumisasi Islam

Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akh. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya…

Hal yang paling dirindukan dari Gus Dur adalah pandangannya mengenai Islam rahmatan lil alamin. Islam yang substantif. Apa yang disampaikan Gus Dur di atas merupakan jawaban dari sesuatu yang menjadi kekhawatiran bersama dewasa ini. Sebuah ancaman identitas yang menjangkit masyarakat Indonesia. Banyak yang masih terjebak pada persoalan eksistensial, belum menyentuh ranah substansi. Banyak yang belum bisa membedakan antara Arab dan Islam itu sendiri. Sehingga banyak yang terjebak pada arabisasi. Menganggap bahwa segala yang berbau arab adalah Islam. Kekhawatiran ini kemudian membuat Gus Dur membuat term Pribumisasi Islam.

Gagasan pribumisasi Islam yang ditawarkan Gus Dur sebetulnya sangat relevan sekali, gagasan tersebut bertujuan untuk bagaimana keilsaman dapat mengakomodasi dan menyerap budaya local. Ajaran universalisme Islam perlu untuk dikontekstualisasikan dalam konteks keIndonesiaan. Ajaran Islam universal yang tertuang dalam maqashid syari’ah (tujuan syari’at) adalah jaminan Islam atas lima hak dasar manusida, di antaranya adalah hak hidup (hifdz an nafs), hak atas kekayaan (hifdz al mal), hak atas kepercayaan atau agama (hifdz ad din), hak keturunan (hifdz an nasab), dan kemerdekaan beropini atau berpendapat (hifdz al aql). (hal 3 & hal 33).

Selain berkaitan dengan gagasan pribumsisasi Islam, buku ini juga menjelaskan secara ringkas mengenai keistimewaan yang dimiliki Gus Dur, seperti hal prinsipil bahwa Gus Dur adalah kiai yang penulis. Seorang intelektual yang senantiasa mengabadikan gagasannya dalam sebentuk tulisan, dari berbagai bentuk dan genre, interdisipliner, sehingga kecerdasan Gus Dur adalah paket lengkap. Bahkan pemikirannya juga menjadi bahan tulisan orang lain, sehingga buku atau tulisan mengenai pemikiran Gus Dur tidak terhitung jumlahnya. Hal ini diurai secara lengkap oleh Muhammad Rifai dalam esainya “Gus Dur: Menulis lalu ditulis.”(hal 65).

Buku ini hadir mengobati rasa rindu masyarakat kepada pahlawan kemanusiaan bernama  lengkap Abdurrahman Wahid ini. Rekam jejak Gus Dur dari pemikirannya yang anti mainstream dan cenderung kontroversial namun memberi banyak kemanfaatan dapat diambil dari tulisan ringan dalam buku ini. Hanya saja, ada satu esai yang kurang senapas dengan judul bukunya, yakni esai M. Iskak Wijaya berjudul “Iman yang Bernyali” (hal 38), yang hanya berisi coretan tidak sistematis mengenai keimanan dan tidak berkaitan dengan spirit Gus Dur. Bahkan penulis membuat pledoi “tulisan ini bukan tafsir atau penjelasan tentang gagasan dan perjuangan Gus Dur yang demikian besar, luhur dan agung. Melainkan sekadar refleksi diri mengambil sedikit makna dari ajaran serta keteladanan beliau”. Selebihnya, mari merayakan rindu kepada sang Guru Bangsa dengan membaca buku ini. Wallahu a’lam.

*Pegiat Gusdurian Bumiayu, Dosen IAIN Purwokerto.