ilustrasi

Menyoal perempuan dalam ruang lingkup sosial hari ini, serasa tidak akan pernah lepas dengan kata subordinasi, marginalisasi, diskriminasi dan juga stigmatisasi. Dalam kehidupan sosial perempuan saat ini, serasa bersatu dengan salah satunya. Di mana kedudukan perempuan hanya berkutat pada ruang domestik dan dinomorduakan dari laki-laki dalam perannya.

Pendidikan, status sosial, dan juga karier perempuan hanya sebatas ibu rumah tangga dan pelayan suami. Atas dasar itu, benak penulis selalu dibayangi pertanyaan “kenapa bisa terjadi sedemikian?”, “Apakah sama sekali tidak ditemukan sejarah perempuan yang begitu mapan, sehingga aroma patriarki masih tercium kuat di masa sekarang ini?”.

Disadari atau tidak, apa pun itu ketika memiliki dasar legitimasi dari agama, maka akan memiliki daya pengaruh yang sangat kuat. Sehingga umat yang sedikit berbeda pendapatnya akan mendapatkan respon yang begitu kurang menyenangkan bahkan suatu kecaman tak jarang akan menghampirinya. Sebut saja perihal poligami yang masih begitu kerap dikampanyekan beriringan dengan ayat suci oleh kaum yang ingin melakukannya, ketika ada sebuah pendapat yang menolaknya mereka akan berteriak kuat atas nama agama.

Namun demikan, suatu yang sangat ironis jika ayat suci dijadikan alat legitimasi untuk mengesampingkan perempuan, karena bagaimana pun banyak beberapa perempuan yang disebutkan mulia di dalam al-Quran. Oleh karenanya, menurut KH Husein Muhammad “sudah saatnya kita membaca teks keagamaan kita dari tekstual ke kontekstual, dari tafsir ke takwil, dari konservatisme ke progresivisme dan dari langit ke bumi”.

Karena, mau tidak mau terbatasnya ruang gerak perempuan dalam dunia pendidikan, dapat berimbas kepada pendidikan dan masa depan anak. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’asaroh (2007) menyampaikan bahwa “ibu merupakan lahan belajar seorang anak, jika engkau menyiapkan pendidikan seorang calon ibu, sama halnya engkau menyiapkan kader penerus bangsa yang baik”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun begitu, kiprah dan perjuangan perempuan dalam ruang pendidikan rasanya sangat asing kita dengar, tidak tahu mengapa hal demikian terjadi dan mengakar dalam budaya kita, bahkan pengajaran membaca dalam dunia pendidikan kita seperti “ibu sedang memasak” atau “ibu sedang mencuci”, dan semisalnya. Secara tidak langsung imajinasi kita dipaksakan seakan akan peran perempuan hanya sebatas dapur, kasur, dan sumur. Hal demikian berimplikasi dalam kehidupan nyata, di mana ketika perempuan memegang peran di luar rumah, itu merupakan hal yang tabu.

Padahal, dalam catatan sejarahnya sosok Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbali, yang merupakan pendiri madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Beliau berdua merupakan murid dari sosok ulama perempuan yakni Sayyidah Nafisah, yang merupakan ulama Perempuan sekaligus cicit Nabi yang terkenal sebagai sumber keilmuan Islam, pemberani sekaligus tekun menjalani ibadah (Muhammad, 2020).

Dalam sejarah Mesir juga dapat kita temukan beberapa perempuan intelektual yang sangat hebat. Karena di balik kebudayaan poligami dan perseliran perempuan pada masanya, mereka dapat berjuang dalam dunia pendidikan, bahkan menjadi guru dari para ulama terkemuka. Adalah Fatimma Binti Qodhi Kamaluddin yang merupakan sosok perempuan ahli hadist, Ummu Zainab Binti Abbas yang terkenal dengan Syaikhah Rabithiyyah Bagdadiyah merupakan ulama perempuan yang ahli dalam bidang fikih, dan Syamsu Binti Nasiruddin dan Khadijah Binti Al-Umad Ashalihi yang keduanya merupakan guru dari Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Dalam masa tersebut juga terdapat sosok Hajar yang populer dikenal dengan nama Azizah beliau juga merupakan ahli hadis, dimana dalam pengajiannya beliau tidak memakai hijab yang merupakan suatu hal yang lumrah bagi perempuan tua pada masa itu, dan juga dalam ahli tasawwuf pada masa itu terdapat Syaikhat wal faqirot julukan perempuan yang ahli dalam tasawuf dan tarekat. (Romli, 2010).

Dari apa yang penulis sampaikan di atas, bahwasanya perempuan dan kiprahnya pada masa lampau begitu mapan bahkan menjadi guru dari beberapa ulama yang begitu popular, sehingga sesuatu yang tak seyogianya terjadi pada saat ini dan di sini peran perempuan termarginalkan. Mau tidak mau buang jauh-jauh apa itu subordinasi, marginalisasi, dan stigmatisasi terhadap perempuan.

Dan yang perlu diingat bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tak hanya dibawakan oleh tokoh laki-laki. Di indonesia sendiri dapat kita kenali peran sosok Kartini yang mendirikan sekolah sebagai praktik pendidikan perempuan yang pertama kali, dengan nama Sekolah Kartini, beliau mengajarkan murid-muridnya materi membaca, menulis, menjahit, dan lain sebagainya. Karena, selain memberikan pendidikan umum terhadap muridnya ia juga ingin memberikan pendidikan budi pekerti. Mungkin ini yang dimaksud dengan lisan al-hal afdholu min lisani al-maqol (sebuah tingkah laku, lebih berkesan daripada sebuah perkataan).

Tidak sebatas demikian, kekritisan seorang Kartini juga bergulir terhadap persoalan Agama, karena pada masanya banyak sekali sekolah yang didirikan dengan tujuan adanya kristenisasi terhadap masyarakat pribumi. Dengan latar belakang masyarakat yang masih dangkal dalam memahami ajaran keagamaan pada saat itu, bahkan Al-Qur’an yang sebagai ajaran dasar Agama Islam sendiri dilarang untuk diterjemahkan, sehingga makna yang terkandung di dalamnya sangat sulit untuk diketahui apalagi dipahami (Muthoifin, Ali, Wachidah, 2017).

Dengan keadaan yang seperti itu, menjadi dugaan kuat bahwa permintaan Kartini terhadap K.H Saleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa Jawa Pegon, merupakan reaksi Kartini yang melihat adanya ancaman kristenisasi di berbagai lapisan masyarakat pada saat itu (Romli, 2010). Dengan kekritisan seorang Kartini pada persoalan Agama, membuat para ulama sadar akan pentingnya pendidikan yang jelas untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Sehingga pendidikan Islam setelah wafatnya Kartini, sangatlah berkembang pesat, sekolah dibuka bukan hanya untuk laki-laki saja, bahkan pesantren untuk para perempuan juga didirikan di berbagai wilayah. Dan juga berdirinya gerakan Islam yang berorientasi untuk mengembangkan pendidikan Islam, sehingga kelak para santri baik laki-laki atau perempuan dapat merespon berbagai persoalan dan tantangan zaman.

Dengan demikian, tampilnya perempuan dalam ruang publik merupakan sebuah keniscayaan yang hendak didukung penuh oleh siapa pun, melihat fakta sejarahnya yang begitu mapan juga merupakan sebuah inspirasi bagi perempuan untuk menampakkan eksistensinya di ruang publik. Sekian. Wallahu a’lam bi showab.

Baca Juga: Stigma Menstruasi dan Diskriminasi yang Dialami Perempuan di Masyarakat


Sumber:

Muhammad Guntur Romli, Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam (2010).

KH Husein Muhammad, Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah (2020).

Wahbah al-Zuhaili, Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’asaroh (2007).

Muthoifin, Mohamad Ali, Nur Wachidah, PEMIKIRAN RADEN AJENG KARTINI TENTANG PENDIDIKAN PEREMPUAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM (2017).


Penulis: Muhammad Asyrofudin