
Bulan Ramadhan telah tiba, seluruh umat muslim dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong menyambut datangnya bulan mulia dan penuh keberkahan ini. Ramadhan adalah tamu istimewa karena datang hanya satu kali dalam setahun, yang datang dengan membawa rahmat dan limpahan ampunan. Bulan Ramadhan bukan hanya sekedar pergantian waktu, tetapi sebuah ladang pahala untuk meningkatkan ibadah dan memperbanyak amal kebaikan.
إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ
Artinya: “Jika datang bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)
Hadis nabi di atas menggambarkan betapa agungnya bulan Ramadhan, pintu-pintu surga terbuka lebar, memberikan kesempatan bagi setiap umat muslim untuk meningkatakan kualitas ibadah dan ketakwaan. Karena pada bulan Ramadhan Segala yang berhubungan dengan ibadah dan amal sholeh akan dimudahkan dan pahalanya akan dilipatgandakan.
Setiap kali bulan Ramadhan datang, suatu hal yang pasti melekat dibenak setiap muslim adalah Puasa. Bulan Ramadhan dan ibadah puasa adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Puasa merupakan ibadah yang istimewa, maka perintah wajib berpuasa ada pada bulan Ramadhan, karena keduanya sama-sama mempunyai keistimewaan. Puasa bukan sekedar menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi puasa adalah sarana untuk menahan nafsu, membersihkan hati, dan membagun kesadaran spiritual, untuk menuju ketakwaaan. Hal ini sesuai dengan ayat al-Quran:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah :183)
Pentingnyaa Niat
Di tengah bahagianya umat muslim dengan datangnya bulan Ramadhan, dan meningkatnya kesadaran dalam menjalankan ibadah, khususnya kesiapan jiwa raga dalam menunaikan ibadah puasa. Muncullah beberapa pertanyaan, apakah salah dalam pelafalan niat puasa Ramadhan dapat menjadikannya tidak sah? Kegelisahan ini muncul di tengah-tengah umat muslim saat ini. Hal ini disebabkan munculnya banyak versi pelafalan niat puasa Ramadhan. Munculnya banyak versi tersebut telah menimbulkan kebingungan, apakah salah pengucapan niat, dari segi lafadz, atau pun harakat, dapat menjadikan tidak sah-nya ibadah puasa ? Secara hakikat memang syarat sah suatu ibadah terletak niat, hal ini didasarkan pada hadist nabi sebagai berikut:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوُلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, sedangkan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas secara jelas telah menerangkan bahwa niat adalah suatu yang sangat penting dalam melakukan suatu ibadah. Dalam ibadah wajib maupun sunnah niat selalu menjadi rukun utama dari ibadah tersebut, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Niat merupakan pondasi dari suatu ibadah, karena niat berfungsi sebagai pembeda antara ibadah dan kebiasan, juga penentu besarnya nilai pahala. Lantas sebenarnya letaknya niat ada di lafadz atau di hati! sebagai kunci sah-nya suatu ibadah.
Niat adalah ibadah hati, Hal ini telah disepakati oleh jumhur ulama, mereka sepakat bahwa niat itu letaknya ada dalam hati bukan pada lisan atau pelafalan. Bahkan dari keempat imam madzab tidak ada satu pun yang meyebutkan jika niat itu didefinisikan sebagai melafadzkan sesuatu dengan lisan. Imam an-Nawawi juga menegaskan dari pendapat yang telah disepakati kalangan ulama (Ijma’), bahwa niat harus ada dalam hati. Atas dasar pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa niat itu letaknya ada di hati, jika suatu niat hanya dalam pengucapan tetapi hatinya tidak ikut berniat, maka yang di ucapakan tadi bukan niat.
Niat puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan merupakan bagian dari rukun Islam yang keempat, maka untuk menyempurnakan agama setiap setiap muslim diwajibkan untuk melaksanakanya. Namun, agar puasa sah dan diterima ada dua rukun yang harus dipenuhi, salah satunya adalah niat. Niat puasa Ramadhan ialah sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Saya berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta‘ala.”
Dalam puasa Ramadahan niat dilakukan setiap malam sebelum datangnya fajar. Hal ini berdasarakan hadist nabi, sebagai berikut :
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Artinya: “Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya” (H.R. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333)
Terkait niat puasa ramadhan, ada hal yang saat ini menjadi sorotan, yang mana fenomena ini kerap menjadi bahan diskusi. Niat puasa ramadhan, pada dasaranya adalah bagian dari suatu ibadah yang merupakan suatu hubungan personal antara seorang hamba dan Tuhannya. Namun, bagian personal tersebut kini menjadi berbincangan karena adanya perbedaan versi pengucapan khususnya pada kata “Ramadhāna” dan “Ramadhāni”. Persoalan ini masih diperbincangkan, khususnya bagi masyarakat awam yang kebingungan akan hal itu, yang manakah lafadz paling tepat?
Dari persoaalan di atas jika kita bedah berdasarkan kaidah gramatikal bahasa Arab, keduanya benar, tergantung posisi dan struktul kalimatnya. Namun, untuk memahami lebih jelas terdapat dua pendapat yang saling menguatkan perbedaan tersebut. Pertama, dibaca Ramadhāna karena lafadz tersebut merupakan mudhof ilaih dari lafadz syahri atau mudhof ilaih terakhir dari lafadz adaa’i, Ramadhāna meskipun posisinya sebagai mudhof ilaih, tetap dibaca fathah karena isim ghoiru munshorif tidak bisa menerima kasroh. kemudian jika dibaca Ramadhāna maka pada lafadz hażihi diberi harf jer ل sebagai pemisah, agar tidak bisa di idhofahkan pada kata setelahnya , maka menjadi li hażihi.
Kedua dibaca Ramadhāni, kata Ramadhāni menjadi mudhof ilaih dari kata sebelumnya dan ditandai dengan harakat kasrah. Hal ini karena isim ghoiru munshorif akan batal amalnya jika diidhofahkan. Maka dalam kasus ini, Ramadhān di-idhofah-kan kepada lafadz hażihi, yang berkedudukan sebagai mudhof ilaih, sehingga diperbolehkan dibaca Ramadhāni dengan harakat kasrah. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa keduanya sama-sama benar, karena sama- sama memiliki memiliki dasar yang dapat dibenarkan dalam konteks kaidah gramatikal bahasa Arab.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ruh dari suatu ibadah berada pada niat, dan inti niat itu ada dalam hati. Karena hukum pelafalan niat itu sunnah, maka salah pelafalan niat bukanlah faktor tidak diterimanya suatu ibadah. Maka perbedaan pada pelafalan niat janganlah sampai menjadi sumber pertikaian. Karena yang paling penting adalah keikhlasan dalam beibadah dan kemantapan hati dalam menjalankanya.
Baca Juga: Perhatikan Ini! Jika Anda Niat Puasa Ramadhan Sebulan Penuh
Referensi:
Ansory, Isnan. 2019. “ Fikih Niat “, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing
Kitab “Al-Miftah lil ulum”, Pasuruan : Pondok Pesantren Sidogiri
Maktabah Syamillah
Penulis: Mazroatul Ainia