Judul : Islam, Politik, dan Demokrasi; Pergulatan antara Agama, Negara, dan Kekuasaan

Penulis : Masdar Hilmy, MA., Ph.D.

Penerbit : Imtiyaz Surabaya

Cetakan  : I, April 2014

Halaman  : xii + 260

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

ISBN : 976-602-7661-15-8

Selama ini, organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam seperti, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolak bentuk negara demokrasi baik secara keras maupun halus. Ormas Islam yang datang belakangan ini mengkampanyekan konsep kenegaraan yang katanya lebih Islami: khilafah. Sedangkan Ormas Islam lain seperti NU dan Muhammadiyah, menerima bentuk negara demokrasi dengan lapang dada. Demokrasi dianggap selaras dengan ajaran Islam, sedangkan sistem pemerintahan khilafah sudah tidak relevan lagi untuk masyarakat Indonesia.

Indonesia adalah negara multikultural. Sudah seharusnya umat Islam di Indonesia yang notabene-nya sebagai mayoritas bisa bersanding dengan Hindu, Budha, Kristen, maupun Konghucu. Begitulah sesungguhnya Islam yang diterima oleh berbagai budaya dan masyarakat. Untuk menghadapi masyarakat multikultural, perlu membangun masyarakat yang toleran dalam berbagai hal. Moderatisme diperlukan agar tidak terjadi crash dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kajian kitab klasik, moderatisme dibahasa-arabkan sebagai al-wasth, al-qisth, at-tawazun, al-i’tidal, dan sebagainya.

Menurut Masdar Hilmy, dalam bukunya, “Islam, Politik, dan Demokrasi”, menuturkan bahwa  gagasan mengenai demokrasi tidak sekedar mencomot dari nilai universal yang didapati di negara Eropa dan Amerika. Tetapi, bisa digali dari ajaran Islam yang pada dasarnya sejalan dengan demokrasi. Begitu pula dengan HAM, ia merupakan nilai Islam yang merupakan elemen penting kehidupan manusia. (hlm. 136)

Kata-kata tersebut menandakan bahwa Islam tidak sama sekali melegalkan kekerasan untuk keluar dari persoalan teologis. Orang-orang yang bersikap keras terhadap non-muslim (ekstrimis) disebut al-ghuluww atau al-mutatharrif. Mereka dengan mudah mengafirkan golongan lain dan tak jarang mengangkat senjata untuk menyerang orang-orang di luar golongan mereka. Agaknya, mereka banyak bercermin kepada negara-negara Timur Tengah yang diwarnai dengan kekerasan berdarah dan totalitarianisme despotik yang meluluhlantahkan kehidupan bersama.

Moderatisme Ormas Islam di Indonesia terbagi menjadi 3 kategori seperti yang disebutkan dalam buku ini. [1] moderatisme-radikal, [2] moderatisme-tengah, dan [3] moderatisme-lunak. Kelompok pertama merujuk pada ormas yang berhaluan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia [HTI], Majlis Mujahidin Indonesia [MMI], dan Jamaah Ansharut Tauhid [JAT]. Sementara, kelompok moderatisme-lunak diisi oleh kaum NU dan Muhammadiyah kebanyakan yang merupakan “massa mengambang” dan muslim awam yang memiliki tingkat pengetahuan agama yang terbatas.

Kelompok moderat ketiga adalah kaum terpelajar yang mempunyai ilmu agama yang mumpuni dan mendalam. Mereka umumnya dari para kiai dan alumni pesantren, baik pesanten salaf maupun khalaf. Kelompok ini bermain sebagai pemain utama dalam menggerakkan moderatise Islam Indonesia dan kesadaran beragama bagi jutaan umat berorganisasi.

Kenyataan yang ada, kelompok Islam moderat-tengah masih gagal memahamkan sebagian umat tentang pentingnya demokrasi di Indonesia. “Fenomenainternal convension sejumlah penganut Islam moderat ke Islam garis keras harus dibaca sebagai tamparan serius terhadap kalangan Islam moderat yang kurang tanggap dalam merumuskan dan menyediakan cetak-biru moderatisme Islam yang lebh aplikatif.” (hlm. 147)

Memang sejauh ini tidak ditemukan bukti-bukti nyata bahwa faktor agama menghambat upaya pelembagaan dan pematangan demokrasi di Indonesia. Agama dan demokrasi bisa berdampingan secara harmonis tanpa saling mengintervensi dalam pengertian negatif. Agama memang belum dipastikan memberikan kontribusi nyata dalam pembentukan demokrasi. Dalam realitas kehidupan agama dan demokrasi di negeri ini adalah sebuah modalitas yang cukup berharga dalam pembentukan demokrasi. Ketika demokrasi bisa berjalan di negara yang sebagian penduduknya beragama Islam, dapat dipastikan antara keduanya tidak ada paradoks, kontradiksi, dan anomali.

Di tengah pergulatan antara agama (Islam), politik, dan demokrasi, buku semacam ini wajib hadir untuk menawarkan suatu kajian kontekstual terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum. Buku ini tidak ditulis secara sistematis dan terstruktur dari akar sampai daun. Bukan pula sebuah pembacaan yang komprehensif tentang kondisi sosial-politik Indonesia mutakhir. Tulisan-tulisan yang tampil di dalamnya adalah kumpulan dari beberapa makalah yang pernah ditulis oleh penulisnya.

Namun setidaknya, buku ini memberikan satu wawasan kepada pembaca bahwa Islam mampu menerima segala bentuk kultur, walaupun secara historis ia lahir di jazirah Arab. Islam bersedia bersanding dengan agama lain selama agama lain itu tidak memusuhi. Karena hakikatnya, Islam adalah agama universal dan teruntuk bagi semua golongan.

Hilmi Abdillah,  Penulis aktif di Sanggar Kepoedang (Komunitas Penulis Muda Tebuireng)