
Hari-hari ini panggilan Kiai dan Gus (Putra Kiai) kian menjamur di sela-sela masyarakat. Barang menjadi panutan dan tokoh di tengah masyarakat, bermodal “pintar beretorika” berbondong-bondong orang memanggilnya “Kiai” hal ini diikuti juga keberanian tokoh tersebut untuk membangun pesantren. Dan berjalan bertahun-tahun hingga punya anak, seketika itu anaknya juga jadi “Gus” yang kebetulan juga “pintar beretorika”, alhasil pesantren karbitan pun jadi.
Pada tahun 1980-an awal Zamakhsyari Dhofier mengulas tentang tradisi pondok pesantren. Disertasi Dhofier di Australian National University yang kemudian diterbitkan menjadi buku ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai”. Zamakhsari Dhafier mengemukakan bahwa “pondok, masjid, santri, pengajian kitab Islam klasik dan kiai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren” (1984: 44).
Bermula dari “Pondokan” yang menunjang segala kegiatan yang ada, masjid yang menjadi pusat peribadahan, pengajian kitab Islam klasik yang menjadi pembelajaran serta api kehidupan sebuah pesantren dan Kiai yang menjadi tokoh utama dalam berjalannya pesantren; tulisannya ini dikomentari oleh Waryono Abdul Ghofur bahwa “arkanul pesantren” yang disebutkan Zamakhsyari Dhofier perlu direnungkan kembali.
Ia menjelaskan bagaimana Zamakhsyari Dhofier yang perlu direnungkan kembali adalah keberadaan Kiai sebagai salah satu rukun pondok pesantren. Menurutnya Pandangan ini cukup ideal jika melihat pondok pesantren setengah abad yang lalu dimana disertasi itu ditulis. Sebab, belakangan kita juga melihat tidak sedikit pondok pesantren yang tidak memiliki kiai tunggal sebagaimana dahulu. Melainkan bersifat kolektif kolegial. Sejumlah pondok pesantren justru mampu terus bertahan dan bahkan mampu mencetak para lulusannya sebagai ahli ilmu karena sistem pendidikan yang diterapkannya sudah mapan.
Penulis setuju hari-hari ini memang banyak pesantren yang tidak memiliki kiai Tunggal. Namun dalam hal ini tidak menjadikan kiai itu hilang dari lima elemen dasar pesantren yang disebutkan Zamakhsyari Dhofier. Meski beliau mengakhiri tulisanya dengan “Kiai tetap menjadi figur yang tak tergantikan. Apalah arti sebuah pondok pesantren jika tidak memiliki kiai.”, menjadikan tulisan tersebut berjalan di garis aman. Namun argumen awal mengenai banyaknya Masyarakat yang kini melihat cukup mengelitik.
Menutip tulisan (Alm) KH. Abd. Muchith Muzadi, beliau bercerita bahwa Kiai dan pesantren memang suatu yang unik. Pernah suatu saat beliau ikut dalam suatu kegiatan diskusi orang-orang pesantren pada tahun 1980-an di Kaliurang di sana ada seorang tokoh pendidikan nasional, Ki Mangunsarini pada, berkata: ”saya sangat tertarik pada pesantren. Saya ingin punya pesantren. Kebetulan saya punya dana dan fasilitas. Saya dirikan bangunan-bangunan seperti pesantren. Ada ruang belajar, ada ruang tidur dsb. Tapi ternyata tidak menjadi seperti pesantren. Saya pikir-pikir, mengapa? Akhirnya saya temukan sebabnya adalah karena saya bukan kiai dan tidak akan bisa jadi kyai”.
Titel kiai tidak sembarangan diberikan kepada orang. Ada syarat yang cukup berat, di samping dia harus merupakan orang yang memiliki pengetahuan luas dan dalam, dia juga harus merupakan orang dengan perilaku yang patut diteladani, konsisten, dan memiliki jasa bagi masyarakat sekitar.
Dengan syarat tersebut barang tentu Kiai yang benar-benar alim menjadi Lakon dalam pesantren. Dari kisah Ki Mangunsarini kita mengetahui bagaimana punya fasilitas saja belum cukup untuk menjadikan sebuah pesantren yang mapan. Nyantri bukan sekedar pindah tempat belajar, apalagi kiai karbitan yang mendirikan pesantren, sekedarnya pindah tempat obral ketokohan.
Penulis: Moh. Minahul Asna, Mahasantri M2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.