Oleh :Luluatul Mabruroh*
Sejauh perjalanan Aswaja di Indonesia, oleh masyarakat luas Aswaja dianggap sebagai manhajul fikr yang mampu menjadikan Aswaja berdialektika dengan zaman. Disatu sisi, dengan menjadi Manhaj bisa memperlihatkan kelenturan Aswaja dalam memasuki ruang nilai kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Kiai Warits bukan lantas tidak setuju dengan faham Aswaja menjadi Manhajul Fikr. Hanya saja, menjadikan Aswaja sebagai aqidah, dengan sangat tegas menginginkan Aswaja menjadi tata gerak dan ekspresi yang diperlihatkan oleh hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia denga Tuhannya. Meski demikian, Kiai Warits menyadari betul bahwa keyakinan tersebut ditopang oleh pendapat para fuqaha’.
Selain itu, Kiai Warits juga memahami sejarah Aswaja dengan cukup detail. Bahwa akar kelahiran Aswaja memiliki geneologi dan kronologi tertentu. Untuk itu suatu keyakinan yang telah mengakar lama tidak bisa dinafikan begitu saja oleh sebab menjadi landasan bagi keilmiah-an suatu ilmu. Suatu keyakinan yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Dalam beberapa kesempatan beliau pernah menyampaikan perihal Sabda Nabi mengenai Al-Firqoh an-Najiyah, terpecahnya Islam menjadi beberapa golongan. Ramalan Nabi, Islam akan terpecah menjadi 72 golongan, dan hanya satu yang selamat yakni Ahlussunnah wal Jama’ah.
Hingga kemudian banyak golongan yang tampil di tengah masyarakat dan mengacak-acak aqidah umat sehingga tak lagi tampak antara yang haq dan yang bathil. Di sanalah ruh aswaja dihadapkan pada tantangan Wahabisme, Neoliberalisme, Syi’ah serta berbagai kecamuk aliran lainnya yang saling berebut untuk mengeluarkan kader-kader Aswaja dari aqidahnya yang semula dengan berbagai cara.
Menanggapi realitas itu, NU mencanangkan khittah Indonesia 1945, sebagaimana khittahnya NU pada 1926. Indonesia 1945 adalah sebuah narasi yang suci, baru dilahirkan dan penuh dengan nasionalisme antar bangsa, berbagai golongan mencintai Indonesia hingga terkenal sebuah lagu yang biasanya dilantunkan oleh para santri Hubbul wathon minal iman yang berasal dari sebuah hadits Nabi.
Dari pemaparan diatas, ada beberapa hal yang layak diperjuangkan setelah sedikit melakukan kajian dan telaah Aswaja dalam perspektif Kiai Warits. Diantaranya adalah Pertama, mereposisi kembali posisi Aswaja dalam kehidupan. Aswaja harus menjadi aqidah dan ruh dalam bertindak. Dengan ini Aswaja akan menjadi solusi dalam mengatasi kebuntuan dari tiap persoalan yang sedang bergejolak. Kedua, Aswaja dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan, harus tetap diproyeksikan sebagaia upaya menjaga keutuhan NKRI, pancasila sebagai ideologi yang layak diterima dan diperjuangkan, maka negara kesatuan adalah hal yang tidak bisa ditawar bagi Indonesia. Ketiga, dalam konteks beragama, Aswaja harus menjadi penebar rahmat bagi seluruh manusia. Agama dalam konteks Aswaja harus bisa tampil menyejukkan ditengah panasnya arus perang aqidah dan pemikiran. Agar substansi agama sebagai penyelamat dunia dan akhirat mampu terwujud nyata.
Referensi: Drs. A. Warits Ilyas Inspirator dan Guru Umat karangan Ach. Taufiqil Aziz.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Barat. Saat ini menjadi mahasiswa PBA Unhasy Tebuireng Jombang.