Narasi atmosfir politik yang membekap Pesantren Tebuireng dan tantangannya menunjukkan terpesonanya Kiai Syansuri kepada politik. Pesona politik yang demikian kuat juga didorong oleh hasrat yang membuncah untuk “mengislamkan produk hukum” di negeri ini dan keinginan ini sangat terbuka ditumpahkan melalui washilah perjuangan di legislatif.
Selain itu, juga kerena faktor yang kedua, yaitu pemahaman ontologis terhadap orang Islam itu sendiri dalam Pandangan Kiai Syansuri. Di sinilah terlihat bahwa Islam dipahami memiliki muatan konsep tak sekedar syariat, namun juga guiden politik atau pemerintahan. Atau meminjam istilahnya Hasan al Hanna, Islam adalah “dinun wa daulatun (Agama dan Negara)”. Hal ini berbeda dengan Muhammad Abduh yang memiliki pandangan bahwa Islam merupakan “aqidatun wa syariatun (Aqidah dan Syariat)”.
Muatan politik dalam Islam dipandang tidak terbatas secara substansial saja, melainkan juga secara tekstual dan detail. Ini bermuara dari pemahaman kesempurnaan ajaran Islam tidak terbatas di seputaran konsep teologisnya, sebagaimana Gibb dalam Wither Islam, meliputi “it’s complete civilization”. Sehingga kepercayaan akan ideologi Islam, politik Islam dan cita yang serba berlabel Islam merupakan keniscayaan atau turunannya.
Kiai Syansuri memiliki keyakinan yang tebal, ini seperti yang dikemukakan oleh al Mawardi dalam Ahkam as Sulthaniyah bahwa politik mempunyai tugas suci “menjaga agama” (hirasat al-din). Bahkan al Ghazali mengatakan, “al-din bilmulki yaqwa walmulku biddin yabqa”.
Maka mudah dimengerti jika kiai Syansuri sangat tertarik dan tak menampik tawaran dimasukkan dalam struktur dan pilihan politiknya jatuh kepada partai berbasis Islam seperti PPP. Bukan partai nasionalistik, Golkar atau PDI.
Semangatnya kelak tampak dalam sepak terjang dan perjuangan politiknya yang begitu gigih lewat berbagai “thausiyah politik” dan mengislamkan produk legislasi. Karena melalui medium politik dan dengan berkiprah di politik praktis himmah yang dianggap luhur dan sekaligus pesan ajaran Islam lebih memungkinkan untuk diwujudkan.
Harus ditambahkan pula, model pemikiran Kiai Syansuri ini kemudian berpengaruh dan menjadi referensi santri dan alumni Tebuireng. Pesona santri kepada politik sangat terasa dan tidak terlalu sulit menunjukkan buktinya. Perhatikan pilihan-pilihan dan pergumulan alumni Tebuireng, walau adakalanya tidaklah terlalu linier dengan yang dicontohkan Kiai Syansuri.
Walau mesti disebutkan, pengaruh Kiai Yusuf Hasyim selaku politisi di pentas politik nasional, apalagi satu di antara politisi vokal dan termasuk dalam terminologi teks politik merupakan “a good politiciant” sangatlah besar pula. Sekaligus itulah merupakan salah satu pembeda Tebuireng dengan pesantren lainnya. Di Tebuireng pengasuhnya merupakan praktisi politik, yang menjadikannya “basah kuyup” oleh siraman politik.