
Zaman Keemasan Islam (The Islamic Golden Age) adalah periode sejarah kompleks dan memikat yang mencakup setiap bidang kehidupan dan perjuangan manusia. Konteks zaman tersebut, lebih tepatnya zaman Abbasiyah merujuk pada periode waktu di mana suatu budaya, masyarakat, atau peradaban mencapai puncak kemakmurannya. Pada abad ke-9 sampai ke-13, dunia Islam ditandai dengan era perkembangan ilmiah, religius, filsafat dan kebudayaan dalam skala serta kedalaman yang tak tertindingi sejarah. Kemajuan tersebut tak ada yang menyamainya baik sebelum maupun sesudah era tersebut. Setelah melesat bangkit dari gurun gersang Arab, kebudayaan Islam sekarang meliputi banyak budaya, agama, dan tradisi intelektual yang beragam.
Namun, masa Golden Age telah sirna usai Perang Dunia ke-I yang di mana perpustakaan terbesar yaitu “Bayt Al-Hikmah” telah dibakar beserta dengan karya-karya ilmiahnya oleh pasukan Mongol. Hal ini menyebabkan terjadinya keterhambatan kehidupan umat manusia terutama umat muslim setelah kejadian itu. Selain itu, terjadi kemunduran politik dan fragmentasi kekuasaan, seperti melemahnya kekhalifahan Abbasiyah yang menyebabkan instabilitas dan hilangnya dukungan terhadap lembaga-lembaga ilmu.
Umat muslim pada abad ke-20 sangat berbanding terbalik daripada masa Golden Age. Hal ini dibuktikan banyak dari negara yang mayoritas muslim memiliki perkembangan yang mundur. Kesalahan dalam penafsiran menjadi masalah utama umat muslim saat ini. Komunitas-komunitas meyakini bahwa sains hanya akan menggoyahkan keimanan mereka karena sifatnya eksperimental dan kebenarannya relatif. Banyak ilmuwan hebat yang tetap religius dan mereka justru merasa sains memperkuat iman, bukan menggugatnya.
Membangkitkan semangat keilmuan Islam seperti pada masa Golden Age menjadi sangat penting untuk membangkitkan kembali tradisi intelektual yang pernah menjadikan dunia Islam sebagai pusat peradaban dunia. Berbagai kemudahan untuk mengakses informasi membuat generasi muda lebih paham mengenai isu-isu saat ini. Sains bukan sekedar lab dan rumus, tapi tentang cara berpikir.
Jika generasi muda punya mindset sains, maka budaya keilmuannya akan tumbuh sendiri.. Kini, ketika dunia muslim mengalami ketertinggalan dalam inovasi dan riset, menghidupkan kembali semangat keilmuan ini menjadi langkah strategis untuk membangun peradaban yang mandiri, berdaya saing, dan berakar pada nilai-nilai Islam.
Kejayaan Islam pada Masa Golden Age
Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) merupakan perpustakaan sekaligus lembaga riset pertama di dunia Islam yang bertepatan di Baghdad pada tahun 800 SM. Didirikan pada kekhalifahan Abbasiyah yang di mana pendirinya adalah keturunan al Abbas, paman Nabi Muhammad yaitu Abdullah al Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al Abbas. Di tempat ini, berbagai literatur dunia dari setiap zaman dikaji, diteliti, dan dikembangkan. Naskah-naskah dari berbagai tempat ataupun negara sahabat dimasukkan ke dalam perpustakaan Baghdad dan dikaji di Bayt Al-Hikmah. Bayt Al Hikmah dan perpustakaan lainnya menjadi etelase peradaban dunia Islam masa itu.
Bayt Al-Hikmah merupakan pusat ilmu pengetahuan yang melahirkan banyak karya besar dan berpengaruh, termasuk dalam bidang matematika, astronomi, kimia, kedokteran, dan sastra. Salah satu terobosan paling terkenal adalah karya Al-Khwarizmi pada abad ke-9, yaitu Kitab al-Jabr wa’l-Muqabala, yang dikenal di dunia Barat sebagai The Book of Restoring and Balancing. Buku ini menjadi dasar dari perkembangan aljabar dan algoritma modern. Dari tempat inilah, ilmu trigonometri lanjutan, penamaan bintang-bintang, teknik pencampuran tincture, metode pengobatan, hingga gagasan penting dalam filsafat dan sastra turut lahir dan berkembang, menjadikan Bayt Al-Hikmah sebagai tonggak awal peradaban ilmiah yang mendunia.
Pada masa itu, para ilmuwan mendapatkan kedudukan yang sangat mulia, dengan segala bentuk dukungan dari negara. Setiap ide, proposal riset, dan pengembangan ilmu pengetahuan difasilitasi penuh oleh pemerintah. Bahkan, negara akan membayar setiap buku yang diterjemahkan atau ditulis dengan emas seberat buku tersebut. Mereka bekerja di kawasan elit kota dan menikmati penghargaan yang tinggi dalam masyarakat. Tak heran bila Baghdad menjadi magnet utama bagi para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia. Hanya dalam kurun satu abad setelah Bayt Al-Hikmah berdiri, perpustakaan di Baghdad telah menjelma menjadi pusat literatur paling lengkap dan bergengsi di dunia.
Penyebab Kemunduran Ilmu Dunia Islam
Kemunduran ilmu dunia Islam tak terlepas dari penyebab tidak stabilan politik saat itu. Terdapat faktor internal maupun eksternal yang membuat ilmu dunia islam mulai mengalami kemunduruan. Kemunduran peradaban Islam dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal yang signifikan, seperti Perang Salib (1096–1270) dan invasi Mongol (1220–1300-an). Perang Salib kerap dipandang sebagai bentuk awal dari imperialisme Barat yang agresif, dengan agama dijadikan alat psikologis untuk ekspansi. Sementara itu, serangan Mongol yang mencapai puncaknya pada tahun 1258 menghancurkan Baghdad dan menandai berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah.
Namun, kemunduran ini tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal semata, melainkan juga merupakan hasil akumulasi dari faktor internal seperti instabilitas politik, krisis sosial ekonomi, serta pemahaman keagamaan yang semakin kaku. Tanda kemunduran, terutama dalam dunia sains dan sikap terhadap ilmu pengetahuan, mulai terlihat jelas sejak lewat abad ke-13.
Salah satu satu faktor internal penyebab runtuhnya Bani Abbasiyah adalah perebutan kekuasaan oleh orang-orang berpengaruh di kerajaan. Menyusul pembangkangan Al Mu’tashim, Khalifah Bani Abbasiyah, penyerangan pun terjadi, mengakibatkan kematian lebih dari satu juta penduduk Bagdad. Selain itu, Khalifah Al-Mutawakkil mengambil kebijakan yang berpihak pada interpretasi literal terhadap al-Quran dan hadis, serta menolak sains yang sebelumnya berkembang. Ia menunjukkan ketidaktertarikan terhadap ilmu pengetahuan asing dan mulai mengarahkan lembaga-lembaga keilmuan untuk meninggalkan pemikiran filsafat dan logika.
Tindakan jahat ini menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap peradaban Islam di semua bidang budaya, politik, fisik, dan psikologis. Awalnya reputasi islam sebagai pelopor ilmu pengetahuan kini hanyalah seorang konsumen dari penemuan barat.
Menghidupkan Kembali Kejayaan Islam
Sains memberikan manusia peralatan dan mempercepat laju kemajuan, agama menetapkan maksud tujuan upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut (Restiana, 2020). Memisahkan keduanya berarti membawa kerugian yang tidak dapat ditutup. Agama dan sains memiliki keterikatan yang saling berhubungan dalam perkembangan zaman. Hal ini sebagai maksud agar tidak terjadi pembaruan agama dari cengkrama mitos-mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan hanya akan dijadikan sebagai alat orang-orang munafik untuk menyebarkan kesesatan.
Di Indonesia, saat ini telah mengintegritaskan ilmu pengetahuan dan agama pada bidang pendidikan. Salah satu contohnya adalah pengembangan Universitas Negeri Islam yang mengintegrasikan antara ilmu-ilmu umum dan agama, menghasilkan kader-kader yang mampu merespon tuntutan masyarakat dan perubahan zaman. Selain itu terdapat pembelajaran wajib bagi siswa-siswi muslim dalam sekolah negeri atauapun swasta, yaitu Pendidikan Agama Islam. Hal ini menjadi bukti bahwa pendidikan tidak lagi memisahkan antara ilmu keislaman seperti tafsir, fikih, dan hadis, dengan ilmu sains seperti matematika, fisika, biologi, dan teknologi, melainkan memandang keduanya sebagai bagian dari pencarian kebenaran dan pemahaman terhadap ciptaan Allah. Dengan pendekatan ini, peserta didik tidak hanya cerdas secara spiritual dan moral, tetapi juga mampu berpikir kritis, inovatif, dan berkontribusi dalam kemajuan peradaban. Integrasi ini membuka jalan bagi lahirnya generasi muslim yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga unggul dalam iptek.
Dalam sejarah Islam, banyak tokoh muda yang menjadi pelopor ilmu pengetahuan, seperti Ibnu Sina (Avicenna) di bidang kedokteran, Al-Khawarizmi di bidang matematika, dan Ibnu Khaldun di bidang sosiologi. Ilmu yang dituntut pemuda tidak hanya terbatas pada ilmu agama, tetapi juga ilmu duniawi yang bermanfaat bagi umat manusia. Pemuda Muslim yang menguasai sains, teknologi, ekonomi, dan ilmu sosial akan mampu menjawab tantangan zaman sekaligus memberikan solusi bagi berbagai permasalahan umat.
Kita sebagai generasi muda adalah kunci untuk mengembalikan ‘Golden Age Islam’ yang telah sirna. Dengan pendidikan yang baik, pemuda dapat memperbaiki kondisi umat, menciptakan inovasi baru, dan membawa umat Islam ke arah kemajuan peradaban yang lebih baik. Generasi muda tak terlepas dari tanggung jawabnya untuk terus belajar, meningkatkan kapasitas diri, dan menjadi pelopor peradaban manusia. Generasi muda harus membangun kembali tradisi “tholabul ‘ilmi” (mencari ilmu) tidak hanya untuk nilai atau gelar, tapi karena ilmu adalah bentuk ibadah dan jalan kemuliaan. Ini mencakup ilmu agama dan ilmu dunia tanpa memisahkannya.
Golden Age dulu tidak lahir dari nostalgia atau wacana, tapi dari karya konkret. Maka hari ini, kita perlu menciptakan inovasi, riset, teknologi, buku, karya seni, solusi sosial apapun yang membawa manfaat luas. Kita harus kembali menjadi produsen ilmu, bukan hanya konsumen. Kita butuh lebih banyak anak muda muslim yang berminat di fisika, teknologi, sastra, biologi, filsafat, dan lain-lain, tapi tetap berakar pada iman.
Kita juga dapat berkolaborasi dengan negara luar terutama Turki sebagai bentuk hubungan dalam membangun riset dan inovasi. Seperti yang kita ketahui bahwa Turki memiliki sebongkah dari sisa peradaban Golden Age Islam. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi kita agar bisa menyerap ilmu-ilmu disana dengan tujuan mengembalikan kejayaan ilmu pengetahuan islam. Dengan begitu kita dapat membangkitkan kembali tokoh muda yang menjadi pelopor ilmu pengetahuan, seperti Ibnu Sina (Avicenna) di bidang kedokteran, Al-Khawarizmi di bidang matematika, dan Ibnu Khaldun di bidang sosiologi dengan wujud dan zaman yang berbeda.
Kesimpulan
Kejayaan Islam pada masa Golden Age merupakan bukti bahwa peradaban Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Lembaga seperti Bayt Al-Hikmah di Baghdad menjadi tonggak penting kemajuan dalam bidang matematika, kedokteran, astronomi, filsafat, dan sastra, di mana para ilmuwan dihargai tinggi dan didukung penuh oleh negara. Namun, kejayaan ini mulai meredup akibat berbagai faktor, baik eksternal seperti Perang Salib dan invasi Mongol, maupun internal seperti perebutan kekuasaan, stagnasi intelektual, dan pengabaian terhadap ilmu rasional. Hal ini menyebabkan umat Islam beralih dari produsen ilmu menjadi konsumen dari peradaban Barat.
Untuk membangkitkan kembali kejayaan tersebut, generasi muda muslim memegang peran sentral. Integrasi antara ilmu agama dan ilmu sains harus terus dikembangkan melalui pendidikan yang inklusif dan holistik. Generasi muda perlu menumbuhkan semangat tholabul ‘ilmi, membangun karya nyata dalam bentuk riset, teknologi, dan solusi sosial, serta berkolaborasi secara global, termasuk dengan negara-negara yang memiliki sejarah keilmuan Islam yang kuat seperti Turki. Dengan landasan iman yang kokoh dan kemampuan intelektual yang luas, generasi muda diharapkan dapat menjadi pelopor peradaban baru yang unggul secara spiritual dan ilmiah.
Baca Juga: Peradaban Islam: Bagdad, Pusat Kejayaan Abbasiyah
Sumber:
Sari, R. M., & Setiadi, Y. (2020). The Golden Age of Islam: Antara pemikiran dan peradaban abad pertengahan. The Golden Age of Islam, 2, 25–30.
Mindani, I., Revaldo, P., Hidayat, S., Nadia, R., & Khadafi, M. (2024). Kemunduran peradaban Islam. Jurnal Pendidikan Islam Al-Affan, 4(2).
Indriani, A., Hasanah, I., Yasin, F. A., Buchori, M., Marwah, S. M., Syahidin, S., & Parhan, M. (2024). Peran sentral mu’allim: Membimbing generasi beriman dalam pendidikan Islam. IHSANIKA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(1), 44–54.
Website
Jurnaba. (2024, Oktober 28). Bayt Al-Hikmah, Perpustakaan Pilar Peradaban. https://jurnaba.co/bayt-al-hikmah-perpustakaan-pilar-peradaban/
Gana Islamika. (2017, November 13). Bayt Al-Hikmah (1): Lembaga Riset Pertama Islam. https://ganaislamika.com/bayt-al-hikmah-lembaga-riset-pertama-islam/
Kusumo, H. (2025, Maret 10). Peran generasi muda dalam memajukan peradaban Islam. Ponpes OIC. https://oic.ponpes.id/peran-generasi-muda-dalam-memajukan-peradaban-islam/
Fadlillah, N. (2025, Januari 27). Peran strategis pemuda Muslim dalam membangun peradaban Islam. Majelis Tabligh Muhammadiyah. https://majelistabligh.id/peran-strategis-pemuda muslim-dalam-membangun-peradaban-islam/
Penulis: Alvi