Jika tidak ada aral melintang, Jombang akan terpilih sebagai tempat Muktamar NU ke-33 tahun depan. Sebelumnya, kabupaten ini bersaing ketat dengan Nusa Tenggara Barat dan Medan. Sinyal positif ini mengemuka kuat pada saat Musyawarah Nasional-Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2014 di Gedung PBNU beberapa waktu lalu.

 

Kenapa Jombang? Saya meyakini ada beberapa faktor penting bisa disebut. Pertama, secara historis, Jombang telah mencatatkan diri sebagai milestone penting gerakan NU, terutama pada periode awal. NU dan Jombang ibarat dua sisi mata uang. Trio Kiai Hasyim Asy’ari-Kiai Wahab Chasbulloh-Kiai Bisri Syansuri merupakan konsolidator utama organisasi ini. Tidak hanya itu, ketiganya juga mempunyai pesantren besar di Jombang. Dalam jagad NU, memiliki pesantren merupakan basis legitimasi sosial-politik-keagamaan yang kuat. Kedua, pilihan tersebut sekaligus menjadi “kado” penghormatan dinobatkannya KH. Wahab Chasbulloh sebagai pahlawan nasional baru-baru ini.

 

Kolonial

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Linimasa muktamar NU selama ini telah mencatatkan setidaknya 11 daerah di Jawa Timur pernah ditempati. Sebagian besar berlokasi di Surabaya. Kesemuanya memiliki raison d’etre masing-masing dalam merespon dinamika kebangsaan dan organisasional waktu itu, termasuk saat di Madiun, Situbondo dan Lirboyo Kediri.

Muktamar NU ke-17 dilaksanakan di Madiun pada tahun 1947. Di tengah situasi pelik menghadapi penetrasi militer Belanda saat itu, NU memilih untuk menunda penyelesaian ketimpangan di tubuh Masyumi. Fokus NU adalah berjihad melawan penjajahan. Dua bulan pascamuktamar, pecah agresi militer I Belanda. Markas tertinggi Hizbulloh di Surabaya dan Malang jatuh. Saat berita tersebut disampaikan Kiai Ghufron, Panglima Sudirman dan Bung Tomo ke Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Rais Akbar NU tersebut sangat terpukul. Kabarnya Mbah Hasyim pingsan dan mengalami pendarahan otak hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

 

Orde Baru

Situasi kebatinan yang sama juga menjadi latar belakang penyelenggaraan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1987. Represifitas Belanda pada Muktamar ke-17 berganti dengan represifitas rezim Orde Baru. Soeharto tengah giat-giatnya menertibkan gerakan umat Islam melalui pemaksaan asas tunggal Pancasila. ABRI dan birokrasi menjadi kekuatan utama pemerintah dalam menjalankan pemaksaan tersebut. Ruang sidang muktamar tidak pernah steril dari para intel maupun aparat. Mereka terus mematai-matai hampir semua rapat komisi dan pleno. Begitu ketatnya infiltrasi aparat dalam muktamar tersebut hingga membuat Gus Dur, yang memimpin sidang saat itu, meminta seorang kiai menggunakan bahasa arab saja saat menyampaikan pendapat. Menurut Gus Dur, jika penolakan keras kiai tersebut terhadap Pancasila disampaikan menggunakan Bahasa Indonesia, situasinya bisa gawat. “Intel Indonesia kan tidak banyak yang bisa bahasa arab. Jadi ya mereka (intel) diem saja” begitu kata Gus Dur.

 

Gerbong Politik

Momentum kebangkitan politik warga NU terjadi di akhir tahun 90an. Keinginan mempunyai kendaraan politik sendiri bagi nahdliyyin berangkat dari akumulasi kekecewaan panjang. NU pernah menikmati kejayaan pada saat menjadi parpol sendiri, setelah mengalami pendzaliman di tubuh Masyumi. Sebelum menarik diri dari hingar bingar politik praktis (kembali ke khittah 1926) pada Muktamar 27 di Situbondo, NU cukup lama menjadi semacam pemain figuran ketika berfusi dalam PPP. Padahal NU dikenal sebagai penyumbang terbanyak suara saat pemilu. NU memang tidak menyatakan diri menjadi parpol dalam Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri, ia membebaskan anggotanya memilih parpol sebagaimana tertuang dalam Sembilan pedoman politik warga NU. Meskipun demikian, muktamar tersebut tetap mengingatkan nahdliyyin PKB merupakan satu-satunya parpol yang lahir dari rahim NU. Muktamar Lirboyo -secara politis- merupakan peneguhan pentingnya agregasi politik warga NU -melalui PKB- untuk lebih berkiprah dalam memajukan bangsa. Hasilnya, pada pemilu 1999 suara PKB meroket.  Setahun setelah muktamar, kemenangan NU terasa lengkap saat Gus Dur tampil sebagai presiden.

 

Tantangan 600

Dalam konteks nasional, bangsa ini tengah menghadapi problem serius terkait radikalisme agama. Praktek kekerasan dalam menyikapi perbedaan terus mengemuka. Angkanya cenderung naik dari tahun ke tahun. Menurut catatan Wahid Institute, terdapat lebih dari 600an kasus intoleransi terjadi sepanjang lima tahun terakhir ini. Praktek kekerasan berbasis keyakinan berpeluang besar naik mengingat simpul intoleransi senyatanya terus terkonsolidasi dan tidak mengendur.

 

Publik sangat berharap NU bisa meneguhkan kembali perannya sebagai  elan vital Islam Indonesia dengan prinsip-prinsip agungnya; tawassuth (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan i’tidal (tegak lurus). Tanpa prinsip tersebut, NU sejatinya secara degradatif akan terjerembab statusnya; dari Islam Indonesia menjadi Islam kost-kostan. Ciri utama Islam kost-kostan adalah konsistensi sikap semau gue, terobsesi memaksakan kehendak atas nama agama dan cenderung destruktif pada rumah besar NKRI.

 

65 – 50

Di sisi lain, perhelatan muktamar di Jombang nantinya juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun Peristiwa 65. Dalam lingkungan NU, peristiwa ini bisa disejajarkan dengan sosok Voldermort dalam serial Harry Potter. Namanya tidak boleh disebut jika ingin selamat. Tragedi 65 merupakan cekungan kelam yang dijaga berlapis oleh campuran rasa malu dan semangat heroik. Ratusan ribu nyawa terserak di areal perkebunan, sumur-sumur tua, hutan, jurang, ladang tebu, goa sempit, hingga bantaran sungai. Jutaan lainnya dikurung dalam penjara dan menjalani perbudakan tanpa proses pengadilan di Buru. Mereka seakan menjadi tumbal dendam kesumat atas nama rivalitas politik, perang agama melawan ateisme, pembelaan kehormatan dan properti kiai, hingga klaim menyelamtkan kepentingan bangsa yang lebih besar.

Apakah NU terlibat? Sulit untuk mengatakan tidak. Kegagahannya tertulis rapi. Epos kepahlawanannya terekam kuat hingga menyusup kulit. Begitu juga dengan derap paradenya, menghentak abadi terbakukan dalam banyak karya. Dari Robert Cribb, Choirul Anam, Katharine McGregor, Hermawan Sulistyo hingga Agus Sunyoto. Cukup sulit dinalar jika senyatanya simbol-simbol kegagahan tadi menyebabkan banyak orang terhalang keadilannya. Perbedaan latar belakang apapun tidak seharusnya digunakan melindas yang lemah. Justru sebaliknya, kondisi tersebut mewajibkan kita melakukan pembelaan. Terlebih jika mereka adalah kumpulan manusia yang pernah teraniaya, oleh kita dan tentara. Tugas manusia adalah menjadi manusia. Rekonsiliasi tanpa keadilan pada dasarnya  akan menjadi bahan olokan semata. Bentuk keadilannya jelas, membawa para tentara yang terlibat Peristiwa 65 ke pengadilan, agar kehormatan tersucikan. Jika ada yang bersalah, tugas agung para korban –baik NU maupun PKI– memberi pemaafan. Jika ada yang dirugikan, kewajiban negara memberikan reparasi. Sesederhana itu.

 

Muktamar NU ke-33 nanti tidak hanya memiliki mandat menggenapi angka 600 namun sekaligus yang 50, setidaknya melalui dua cara. Pertama, menyingkirkan kuasa gelap militer dan intelejen. Mereka selama ini terkesan cukup istiqomah meyakinkan NU bahwa organisasi kaum sarungan ini akan runtuh bila ikut membela pengungkapan Tragedi 65-66. Kedua, dengan semangat rekonsiliasi dan keadilan restoratif, NU perlu lebih aktif meminta Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung merespon yuridis laporan Komnas HAM terkait Peristiwa 65-66. Apalagi dalam laporan hasil investigasi itu, Komnas HAM tidak merekomendasi pelaku non-militer untuk dituntut ke pengadilan.

 

Impunitas terhadap tragedi 65 hanya akan menyisakan belenggu historis dan psikologis bagi bangsa ini. Tanpa mematahkannya, Peristiwa 65 akan terus memberikan pelajaran buruk bagi generasi mendatang. Yakni, perbedaan idelogi membolehkan kita menumpahkan darah meski tanpa proses hukum.

Bangsa ini butuh teladan untuk menyelesaikan mimpi buruk ini. Semoga keteladanan akan muncul di muktamar ke-33. Ahlan wa sahlan bi khudlurikum, ya muktamirin.(*)

 

Aan Anshori

 

Alumni Bahrul Ulum Tambakberas, Sekretaris LPBH NU Jombang, GUSDURian, Peneliti PKPM Tebuireng. Bersemayam di @aananshori