nadirsyah hosen

Pernahkah kita berpikir tentang apakah sebenarnya diri kita ini sudah termasuk dan layak menyandang identitas sebagai muslim sejati? Mungkin wajar adanya bila semakin bertambahnya hari yang kita lewati sejak terlahir di dunia ini, kita mempertanyakan hal demikian ini. Ini merupakan indikasi bahwa ketika kita memeluk agama Islam, kita tak lantas sekadar ikut-ikutan mengaku sebagai seorang muslim sejati, melainkan merenungi siapa sebenarnya sosok muslim sejati itu? Apakah diri kita ini termasuk dan layak menyandang status/identitas tersebut?

Beberapa hari terakhir, penulis pribadi merasa semakin terhantui oleh pertanyaan tersebut dalam pikiran. Alhamdulillah, setelah membaca beberapa literatur terkait, penulis akhirnya menemukan perspektif ideal yang menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut?

Ya, perspektif ini dijelaskan secara detail dan jelas oleh intelektual muslim Indonesia, Gus Nadirsyah Hosen. Sehingga, perspektif atas identitas muslim sejati yang disampaikan oleh beliau akan kita pahami secara tidak parsial, melainkan utuh dan padu, insyaallah.

Mengawali penjelasan atas perspektif identitas muslim sejati, Gus Nadir (sapaan akrab beliau) menuturkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil aalamiin: penebar kasih sayang bagi semesta alam. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: “ Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam..” (QS. Al-Anbiya’ 107).

Dari sini, bisa dipahami bahwa Islam, agama yang membawa rahmat, adalah pesan yang tidak hanya menyentuh hati individu, melainkan juga merangkul semesta dengan keadilan, kelembutan, dan kasih sayang. Namun, visi ini bukan sekadar konsep abstrak, ia adalah pondasi identitas seorang muslim.

Lebih lanjut, Gus Nadir menjelaskan bahwa untuk mengimplementasikan konsep ‘rahmat’ di atas dibutuhkan ilmu, akhlak, dan manfaat. Dan tiga hal ini bisa dicapai secara ideal dengan diawali aktivitas membaca (maka tak ayal bila perintah Tuhan pertama kali dalam Al-Qur’an ialah perintah iqra’: bacalah). Membaca adalah pintu menuju pengetahuan, pengetahuan adalah jalan menuju hikmah, dan hikmah melahirkan akhlak mulia. Rahmat sejati tidak lahir dari kekosongan, melainkan dari ilmu yang terimplementasi dalam tindakan yang bermanfaat.

Kemudian, guna memudahkan umat manusia memahami konsep agama Islam yang ‘rahmat’ (yang dibutuhkan ilmu, akhlak, dan manfaat dalam implementasinya) ini, maka Allah SWT mengutus Nabi muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah, sosok role model terbaik dalam hal ini.

Nabi Muhammad SAW sendiri dengan tegas menjelaskan misi diutusnya beliau melalui sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” HR.Ahmad (no. 8952) dan al-Baihaqi dalam as-Sunnanul Kubra (no. 21301). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (no. 45).

Dalam pernyataan ini terkandung makna mendalam, bahwa akhlak adalah inti dari agama, landasan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia lain, dan alam semesta. Penyempurnaan akhlak tidak hanya soal perilaku, tetapi juga tentang bagaimana seseorang merefleksikan nilai-nilai islam dalam tindakan yang penuh hikmah dan kasih saying, ketika Nabi bersabda,

 خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII, hal. 58, dari Jabir bin Abdullah r.a.. Dishahihkan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab: As-Silsilah Ash-Shahîhah)

Kita memahami bahwa manfaat bukanlah sesuatu yang bersifat pasif. Ia adalah upaya aktif yang memadukan pengetahuan, keahlian, dan akhlak. Maka, muslim sejati adalah dia yang tidak hanya mengejar ilmu, tetapi menggunakannya untuk membangun, menguatkan, dan menyembuhkan.

Namun, di sisi lain, ada realita kontras yang kita hadapi dewasa ini. Ada mereka yang menampilkan atribut Islami secara lahiriah, tetapi secara bathiniah justru gemar menyebarkan kebencian, hobi merusak tatanan, atau giat menolak usaha untuk memperbaiki diri. Nah, dari titik inilah bias identitas muslim sejati terjadi. Dan dari titik ini pula, sebagian dari kita termasuk penulis sendiri menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya identitas muslim sejati itu?

Maka dari itu, menurut Gus Nadir, Islam bukanlah sekadar simbol; ia adalah substansi. Akhlak buruk, kejumudan pengetahuan, dan perilaku menyusahkan orang lain adalah pengingkaran terhadap pesan Islam yang hakiki (rahmatan lil alamiin), meskipun mereka mengenakan hijab atau jubah religius.

Identitas seorang muslim sejati tidak pernah sederhana, karena ia adalah perjuangan yang wajib dinyalakan setiap saat. Rahmat Allah tidak dapat tercermin tanpa usaha untuk terus memperbaiki diri, mengembangkan potensi, dan melayani sesama. Maka, seorang muslim adalah dia yang senantiasa menghidupkan akhlak mulia dengan ilmu dan amal pada dirinya, suka menebarkan kasih secara inovatif melalui keahlian, dan berusaha menjadikan dirinya laksana lentera yang menerangi kegelapan.

Hal semacam ini tentu mudah untuk didefinisikan, tetapi sulit untuk diwujudkan. Karena itu, secara eksplisit Gus Nadir menuturkan bahwa hakekat identitas muslim sejati adalah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia adalah usaha tanpa henti untuk menjadikan Islam lebih dari sekadar nama, melainkan wujud kasih yang nyata bagi dunia sebagaimana misi rasulullah: menyempurnakan akhlak dan membawa rahmat bagi semesta alam. Dan hal itu perlu dilakukan melalui ilmu dan amal saleh yang bermanfaat. Inilah identitas seorang muslim, bukan semata soal ritual, pakaian, dan atribut lahiriah, tetapi soal esensi dan substansi.

Gus Nadir menegaskan bahwa identitas muslim sejati bukanlah sekadar bagaimana seseorang terlihat, melainkan bagaimana ia membawa manfaat. Ia bukan soal seberapa keras seseorang berbicara atas nama agama, melainkan seberapa lembut akhlaknya mencerminkan nilai-nilai agama itu sendiri.

Demikian ini karena Islam yang hakiki tidak hanya hidup dalam masjid atau tempat ibadah, tetapi juga hidup di pasar, sekolah, kantor, dan setiap ruang sosial. Islam tak hanya milik para pemuka agama dalam ceramahnya. Namun, Islam juga hadir dalam keadilan seorang pemimpin, kejujuran seorang pedagang, kesabaran seorang guru, kasih sayang seorang tetangga, dan seterusnya. Inilah identitas muslim yang sesungguhnya keselarasan antara iman, ilmu, dan amal yang menghidupkan pesan islam dalam setiap aspek kehidupan.

Seorang muslim sejati memahami bahwa ibadah tidak melulu soal relasi vertikal, tetapi juga horizontal. Shalat yang khusyuk seharusnya membentuk akhlak yang indah. Puasa yang dijalankan dengan penuh penghayatan seharusnya melahirkan empati kepada mereka yang kurang beruntung. Zakat dan sedekah tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga menyatukan hati dengan masyarakat yang lebih luas.

Karena itu, muslim sejati bukanlah yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain, tetapi yang merendahkan hati untuk melayani. Bukan mereka yang sibuk menilai orang lain, tetapi sibuk memperbaiki dirinya sendiri. Bukan mereka yang menjadikan Islam sebagai alat untuk menghakimi, tetapi sebagai jembatan untuk mengasihi.

Identitas muslim ialah komitmen tanpa henti untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan memberi manfaat. Ini adalah perjuangan yang tak pernah usai, karena dunia membutuhkan lebih banyak rahmat, bukan kebencian; lebih banyak hikmah, bukan arogansi; lebih banyak tindakan nyata, bukan sekadar retorika.

Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas, Gus Nadir berpesan kepada kita bahwa tugas kita sekarang dan seterusnya adalah menghidupkan warisan Rasulullah SAW. Yakni, mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dengan ilmu, amal, dan akhlak mulia. Hanya dengan cara ini, identitas muslim menjadi lebih dari sekadar label, tetapi menjadi cahaya yang menerangi dunia dan menyejukkan semesta. Bila kita mampu secara konsisten menunaikan tugas mulai ini, insyaallah kita akan termasuk golongan muslim sejati. Aamiin. Wallahu a’lam.

Baca Juga: Pesantren Tebuireng Mencetak Santri Sejati


Referensi:

https://www.instagram.com/p/DE_InFTQ0B/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA (diakses pada tanggal 19 Januari 2025).


Penulis: Dhonni Dwi Prasetyo

Editor: Muh Sutan