Pelajar dan kedekatannya dengan media sosial (sumber: edutopia)

Fenomena kepercayaan pelajar terhadap konten TikTok dibandingkan buku pelajaran kini menjadi salah satu gejala paling mencolok dalam lanskap pendidikan digital. Banyak pelajar lebih mudah memahami konsep dari video singkat berdurasi tiga puluh detik ketimbang mempelajari satu bab buku pelajaran. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan itu sendiri.

TikTok, yang awalnya identik dengan hiburan ringan, kini telah berkembang menjadi ruang belajar alternatif. Tagar seperti #SerunyaBelajar dan #SamaSamaBelajar telah menghasilkan jutaan konten edukatif. Secara global, lebih dari 110 miliar penayangan tercatat untuk konten edukasi per April 2025. Sementara itu, di Indonesia, lebih dari 108 juta pengguna aktif dewasa mengakses TikTok, jumlah yang sangat besar untuk sebuah negara dengan tingkat literasi digital yang belum merata.

Baca Juga: Pentingnya Memperhatikan Sistem Pendidikan

Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sekolah dan buku pelajaran gagal mengikuti dinamika kebutuhan belajar generasi sekarang. Materi pelajaran disusun dengan gaya yang formal, kaku, dan penuh istilah yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Sebaliknya, TikTok menyajikan informasi secara cepat, visual, dan personal. Video-video edukasi di platform ini menggunakan bahasa yang dekat dengan keseharian, disampaikan oleh orang-orang seusia mereka, dan dibungkus secara menarik.

Beberapa studi menunjukkan efektivitas penggunaan TikTok sebagai media belajar. Di Jawa Timur, lebih dari 60 persen siswa mengaku peningkatan kemampuan bahasa Inggris setelah rutin menonton konten edukatif. Penelitian lain di SMA Negeri 1 Natal memperlihatkan 86 persen siswa merasa lebih termotivasi belajar setelah menggunakan TikTok secara terarah. Bahkan di kalangan mahasiswa, peningkatan kosakata yang signifikan tercatat setelah penggunaan TikTok sebagai sarana belajar mandiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Kepercayaan pelajar terhadap konten TikTok bukan hanya karena tampilannya yang menarik, tetapi juga karena mereka merasa buku pelajaran tidak lagi bisa dipercaya sebagai sumber yang relevan. Di balik data peningkatan motivasi dan pemahaman, tersembunyi ironi besar, institusi pendidikan formal kalah bersaing dalam hal membangun otoritas keilmuan.

Baca Juga: Menguatkan Pendidikan Karakter di Era Modern

Masalah ini muncul karena buku pelajaran seringkali tidak bersifat dialogis. Ia menyampaikan informasi tanpa konteks, tidak terbuka pada pertanyaan kontemporer, dan disusun seolah-olah tidak boleh dibantah. Di sisi lain, TikTok memberikan ruang terbuka untuk mempertanyakan, membahas, dan memodifikasi pengetahuan. Model komunikasi horizontal yang dihadirkan membuat pelajar merasa setara, bukan sebagai pihak pasif yang hanya menerima informasi.

Tetapi ketertarikan besar terhadap TikTok menyimpan potensi risiko serius. Konten viral tidak selalu berbasis fakta. Banyak video edukasi yang beredar luas ternyata menyampaikan informasi tidak akurat atau bahkan menyesatkan. Kemampuan pelajar untuk menyaring kebenaran masih sangat terbatas. Indonesia belum memiliki sistem literasi digital yang kuat, sementara pendidikan formal juga belum menjadikan kemampuan verifikasi informasi sebagai kompetensi utama dalam proses belajar.

Baca Juga: Saatnya Sistem Pendidikan Giring Perilaku Remaja

Survei global pada 2024 menunjukkan mayoritas remaja mengakui bahwa media sosial mengganggu fokus mereka dalam menyelesaikan tugas sekolah. Penelitian lain menunjukkan penurunan rentang perhatian akibat konsumsi konten video pendek secara terus-menerus. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan konsentrasi dan performa akademik, yang pada akhirnya juga tercermin dalam skor PISA Indonesia yang masih berada di posisi rendah.

Namun kesalahan terbesar adalah menyalahkan TikTok semata. Konten digital hanya mengambil peran yang seharusnya bisa diisi oleh sekolah. Jika sekolah menawarkan pembelajaran yang kontekstual, fleksibel, dan dialogis, tentu pelajar tidak perlu mencari informasi ke platform yang tidak menjamin validitas isi. Buku pelajaran yang statis harus diperbarui agar relevan dengan kondisi saat ini. Guru harus dilatih untuk menjadi penggerak belajar yang memahami psikologi generasi digital. Dan kurikulum tidak boleh hanya mengejar standar administratif, melainkan menciptakan ruang kreatif yang memungkinkan siswa mengembangkan minatnya secara otentik.

Kita tidak sedang menghadapi benturan antara tradisi dan teknologi, melainkan benturan antara model pendidikan lama yang tidak lagi dipercaya dengan cara baru memperoleh pengetahuan yang lebih terbuka. TikTok hadir karena ada kekosongan dalam pendidikan formal. Jika kekosongan ini tidak segera diisi dengan pembaruan serius, maka institusi pendidikan akan terus kehilangan makna dan pengaruh.

Baca Juga: Gemar Ganti Kurikulum dan Melalaikan Faktor Penunjang: Itulah Pendidikan Indonesia

Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Ia tumbuh melalui relevansi, kedekatan, dan pengalaman yang meyakinkan. TikTok berhasil memenangkan kepercayaan pelajar bukan karena kualitas ilmiahnya, tetapi karena kehadirannya yang nyata dalam hidup sehari-hari mereka. Jika pendidikan ingin kembali dipercaya, maka ia harus belajar tampil lebih manusiawi, terbuka, dan mampu mendengar kebutuhan zaman.



Penulis: Muhammad Nur Faizi

Editor: Rara Zarary