Sumber gambar: google.com

Oleh: Firda Dwi Lestari*

Segala hal yang ada dan terjadi dalam kehidupan ini adalah salah satu nikmat besar yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya, agar kita merasakan kebahagiaan, kenikmatan, dan kesejahteraan. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari hari kita masih diberi kesempatan bernapas, menggerakkan anggota tubuh, bermain, bekerja, belajar, dan aktivitas lainnya dengan mudah, lancar, dan baik.

Dari beberapa hal itu, apakah kita sudah bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita? Atau kita termasuk golongan yang lebih fokus pada musibah yang kita alami sehingga kita lebih banyak mengeluh, menggerutu, marah-marah dan lupa bersyukur?

Beberapa dari kita akan bersyukur menunggu hal luar biasa terjadi. Padahal syukur itu bahkan harus kita lakukan sebagai hamba yang berterima kasih atas kehidupan yang Allah berikan ini, misal bisa makan, minum, mampu berdiri, saat tidur diberi kesempatan bangun lagi, atau bisa berlari. Inilah hal luar biasa yang dianggap biasa dan kecil sehingga kita lupa untuk mensyukuri ini. Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili berkata:


كلوا من أطيب الطعام واشربوا من ألذ
الشراب وناموا على أوطأ الفراش والبسوا ألين الثياب فإن أحدكم إذا فعل ذلك وقال الحمد لله يستجيب كل عضو فيه للشكر

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Makanlah hidangan paling enak, teguklah minuman paling nikmat, berbaringlah di atas kasur terbaik, kenakanlah pakaian dengan bahan paling lembut. Jika satu dari kalian melakukannya lalu berucap syukur, ‘Alhamdulillah’, maka setiap anggota tubuhnya ikut menyatakan syukur.”

Menurut Syekh Asy-Syadzili, sikap rasa syukur pada kenikmatan seperti itu justru berbeda dengan seseorang yang memakan nasi tanpa lauk atau tidur hanya beralas tanah, lalu berucap ‘alhamdulillah’ tapi dengan perasaan kesengsaraan, dengan berat hati melakukannya, menggerutu terhadap takdir Allah.

Menurutnya dari sisi batin, dia akan mendapati dosa di dalam hatinya itu lebih besar dibanding dosa mereka yang sungguh-sungguh menikmati dunia. Maka dapat di simpulkan bahwa, ucapan bersyukur lebih baik dari bersabar.

Imam Al-Ghazali menjelaskan keutamaan nikmat dibanding musibah bagi umat Islam. Dari banyak dalil keutamaan sabar, kita seakan memahami bahwa musibah atau bala lebih utama. Lalu apakah kita meminta musibah? Dalam hal ini imam Al-Ghazali menerangkan bahwa, nikmat lebih utama dari pada bala atau musibah. Tidak ada jalan bagi kelebihan musibah atau bala di atas nikmat karena Nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya selalu meminta kebaikan dunia dan akhirat.

عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يستعيد في دعائه من بلاء الدنيا وبلاء الآخرة وكان يقول هو والأنبياء عليهم السلام ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وكانوا يستعيدون من شماتة الأعداء وغيرها

Artinya: “Dari Rasulullah saw., ia memohon perlindungan dalam doanya dari bala dunia dan bala akhirat. la dan para nabi berdoa, Tuhan kami, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasai). Mereka juga berlindung dari caci maki musuh dan keburukan lain,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin. [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 140).

Imam Al-Ghazali membawa riwayat Sayyidina Ali perihal keutamaan nikmat dibanding musibah atau bala. Suatu hari Sayyidina Ali berdoa, “Ya Allah, aku memohon kesabaran.” Rasulullah kemudian mengoreksinya. “Kau tadi meminta bala kepada Allah? Mintalah afiat kepada-Nya,” kata Rasulullah SAW. (HR At-Tirmidzi). (Al-Ghazali, 2018 M: IV/140).

Dari berbagai riwayat, Imam Al-Ghazali menyimpulkan bahwa syukur atas nikmat lebih utama daripada sabar atas bala atau musibah. Artinya, kalau boleh memilih kondisi, tentu kita memilih kondisi pertama sebagaimana doa para nabi. Tetapi tetap saja, ketika kenyataannya kita mengalami musibah, kita harus bersabar dan rida serta selalu bersyukur kepada Allah. Wallahu a’lam.

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.