Istilah “gerakan sempalan”, pertama kali diungkapkan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal 1981. Dalam sebuah kolom berjudul “Perihal Gerakan Sempalan Islam”, Gus Dur mengadopsi istilah sempalan dari bahasa Jawa yang artinya patahan; terpisahnya dahan dari batang pohon atau cabang dari dahan.
Di Indonesia, gerakan sempalan bukanlah fenomena baru. Gus Dur sudah membahasnya sejak 35 tahun lalu. Karena itu, sangat wajar bila laju pertumbuhan gerakan-gerakan tersebut semakin masif belakangan ini.
Bagaimana kelompok-kelompok yang menyempal (splinter groups) dari batang tubuh (baca: mayoritas) umat Islam Indonesia yang berhaluan Sunni itu bisa berkembang secara masif? Tampaknya, kemahiran mereka dalam memanfaatkan infrastruktur teknologi informasi (IT) adalah jawabannya.
Dengan menguasai IT, mereka menyebarkan dogma dan ajaran yang ditujukan untuk menggoyahkan tradisi Islam Nusantara yang telah mengakar di tanah air kita sejak ratusan tahun lalu.
Kelompok ini berusaha meyakinkan umat, bahwa kekuatan Islam yang ada saat ini dinilai tidak mampu menjawab beragam persoalan yang timbul sebagai dampak dari proses modernisasi dan globalisasi.
Bagi mereka, lebih baik mengorbankan diri untuk menghadang arus modernisasi daripada mengikuti alur yang mereka yakini justru akan merugikan kualitas keislaman mereka. Mereka lupa bahwa Allah telah membekali manusia dengan kemampuan dan akal untuk menembus segala rintangan dan mengupayakan tatanan kehidupan yang lebih baik.
Kegagalan mencerna dan mengelola dampak modernisasi inilah yang membuat mereka cenderung dogmatis. Alih-alih mewarnai kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang ramah dan adaptif terhadap dinamika kehidupan, mereka justru mengorbankan diri dengan melakukan gerakan-gerakan sporadis yang dilabeli nafas jihad fi sabilillah.
Kegagalan berpikir dan frustasi keagamaan semacam inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian kelompok sempalan di Indonesia. Targetnya bukan lagi urusan agama, namun memakai jalan agama sebagai kendaraan untuk melancarkan agenda-agenda politik dan ideologis mereka.
Oleh sebab itu, mempelajari Islam sebagai agama rahmat dan agama pembebasan (dari ketidakadilan, ketimpangan, dan diskriminasi) harus dilakukan secara mutawatir. Yaitu, dengan berguru kepada ahli ilmu yang mempunyai sanad yang jelas kepada pembawa ajaran Islam yang tersambung kepada Rasulullah. Sebab, sanad keilmuan, terutama Al Quran dan hadits sangat berpengaruh terhadap implementasi pesan yang dibawa.
Islam dengan jalur sumbu pendek, akan mengantarkan pada kejumudan berpikir dalam agama. Sehingga, orientasi agama hanya dimaknai secara tekstual dan ortodoks. Padahal, Islam datang sebagai agama yang tidak lekang oleh zaman, yang hadir sebagai pedoman dalam mengelola dunia dan isi kehidupannya yang dinamis. Jangan sampai, karena terjebak kejumudan berpikir dalam agama, budaya dan tradisi Islam Nusantara yang toleran, saling mengormati dan menghargai justru berubah menjadi Islam yang galak dan bengis.
Dalam suasana menguatnya kecenderungan saling menyalahkan yang marak belakangan ini, perang gagasan melalui tulisan harus terus dilestarikan. Sebagaimana dilakukan Gus Dur, tulisan harus dibalas dengan tulisan. Ide brilian juga disanggah dengan ide brilian, dengan catatan ilmiah yang masuk akal dan bersumber dari rujukan yang kredibel.
Saat ini, upaya berdialog melalui tulisan semacam itu sudah jarang ditemui. Untuk meluruskan kesalahpahaman atau merespons pemahaman yang berbeda, sebagian orang justru lebih mengutamakan perang mulut dan caci maki, bahkan tidak jarang berujung pada perang fisik. Klaim kebenaran diri dilakukan secara mutlak, dan pihak yang lain dianggap salah.
Guru Bangsa kita, Gus Dur, selalu mengingatkan agar pluralitas bangsa Indonesia jangan dijadikan sebagai alasan untuk berpecah belah. “Jika mereka bukan saudara seimanmu, mereka adalah saudara dalam kemanusiaan”, pesan Gus Dur.
Memahami dan menghargai perbedaan dalam merepresentasikan keimanan, akan lebih indah dibandingkan mencari kesalahan dan menggali perbedaan. Bukankah perbedaan umat adalah rahmat jika kita dengan terbuka menerimanya?
Bangsa ini perlu berpegangan erat dalam menjalin persaudaraan, memupuk kembali perikemanusiaan, menata kembali harmonisasi berbangsa dan bernegara. Persoalan gerakan sempalan hanya akan menjadi angin lalu, ketika bangsa ini yakin akan kesatuan bangsa yang dirahmati Tuhan dengan kemerdekaannya.
Memaknai perbedaan adalah rahmat merupakan jalan terbaik. Manusia terkadang lupa jika mereka hanya manusia, yang tak mampu mengubah tabiat keimanan setiap individu. Kepercayaan terhadap Tuhan akan lestari dengan sendirinya apabila pribadi yang dibangun adalah pribadi yang humanis, yang tidak menebar kebencian dan senantiasa merawat perdamaian. Sehingga, cita-cita Islam yang dihadirkan melalui teladan Nabi dapat terealisasi dan dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Soal gerakan sempalan, kata Gus Dur 35 tahun lalu, janganlah diterapkan pada batang tubuh umat. Nanti akan bertambah kekecewaan dalam kelompok-kelompok kecil di kalangan umat itu. Dan dari kekecewaan itu, akan muncul lagi dorongan membuat gerakan sempalan baru.
Penulis: Rif’atuz Zuhro, jurnalis Tebuireng Online
Editor: Nur Hidayat
Publiser: Farha Kamalia