
Ketika nilai-nilai agama selalu dikaitkan dengan simbol, maka selamanya segala bentuk kebaikan seseorang yang memeluk agama akan dinilai dari berbagai simbol yang melekat pada dirinya, baik itu simbol yang tampak atau tidak. Dalam Islam sendiri umat pemeluknya, seringkali beranggapan bahwa sebuah agama haruslah diletakkan dalam standarisasi simbol-simbol yang berada pada seorang muslim atau muslimah.
Baca Juga: Muslimah dan Pikiran Merdeka
Hal ini bisa dilihat takala ada seorang lelaki muslim yang memiliki janggut panjang sudah dipastikan dia adalah orang yang shalih. begitupula dengan hijab yang menempel pada perempua, semakin panjang yang melilit kepala hingga separuh badannya, maka dia akan dianggap seorang muslimah yang sangat shalihah.
Hal-hal yang berkaitan dengan simbol yang melekat di laki-laki dan perempuan memiliki cara pandang tersendiri. Seandainya saja terdapat seorang muslim yang tidak memakai celana cingkrang, jubah panjang dan berjenggot, rasanya laki-laki masih terasa aman pada taraf tingkatan kehidupan sosial di masyarakat.
Hal tersebut berbeda dengan seorang perempuan yang seadainya tidak menggunakan jilbab atau hijab untuk menutupi kepalanya dan jubah panjang yang menutupi badanya, maka realitas sosial akan sangat mudah melempar stigma bahwa perempuan itu bukanlah perempuan baik, bukan perempuan yang shalihah dan pasti dari jauh dari agama.
Mereka yang memandang seorang Muslimah (Perempuan) sebagai sosok mahluk yang mewakili sebuah negara, dalam artian bila di suatu negara para perempuannya baik, maka negaranya pun ikut baik pula. Ungkapan ini masyhur di Tengah-tengah para mubaligh dan penceramah dengan mengutip ungkapan yang berbunyi:
النساء عماد البلاد إذا صلحت صلح البلاد وإذا فسدت فسد البلاد
Artinya; “Wanita adalah tiang negara, apabila wanita itu baik maka akan baiklah negara dan apabila wanita itu rusak, maka akan rusak pula negara.”
Ungkapan di atas oleh segelintir mubaligh dan penceramah dianggap sebagai hadis. Padahal ungkapan tersebut tidak ditemukan di kitab-kitab hadis manapun. Dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah karya KH. Ali Mustafa Yaqub (Allahu Yarham). Sebagai sebuah hadis yang cukup dikenal, seharusnya ia dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang memuat hadis-hadis masyhur. Dalam kajian ilmu hadis, kategori hadis masyhur kadang disertai sanad, namun ada pula yang sama sekali tidak memiliki sanad. Hadis semacam ini biasanya tersebar dari mulut ke mulut atau hanya dikenal dalam lingkungan tertentu, tetapi tidak dikenal di kalangan lainnya.
Baca Juga: Kontribusi Muslimah dalam Memajukan Peradaban
KH. Ali Mustafa Yaqub juga menyampaikan bahwa ungkapan tersebut tidak ditemukan dalam sejumlah kitab hadis terkenal seperti al-Maqāṣid al-Ḥasanah, al-Durar al-Muntaṡirah, al-Ghammāz ʿala al-Lammāz, Tamyīz al-Ṭayyib min al-Khabīṡ, Asnā al-Maṭālib, Kasyf al-Khafāʾ wa al-Muzīl al-Ilbās, serta beberapa kitab hadis lainnya. Untuk sementara, beliau menyimpulkan bahwa ungkapan ini tidak tergolong sebagai hadis.
Ungkapan tersebut memang sangat populer di kalangan para penceramah. Namun, tidaklah tepat jika ungkapan ini diklaim berasal dari Nabi Muhammad, sementara belum ada sumber otentik yang dapat membuktikannya. Menisbatkan ungkapan tersebut kepada Nabi tanpa dasar yang sahih berarti menyandarkan sesuatu yang bukan berasal dari beliau, yang secara tidak langsung dapat dianggap sebagai bentuk pendustaan terhadap Nabi.
Muslimah Bukan Agen Moral
Dalam buku yang ditulis oleh Maria Fauzi, yang berjudul “Muslimah Bukan Agen Moral” ia mencoba menjelaskan banyak kegelisahan yang dirasakan oleh Perempuan, yang kesemua itu teryata berangkat dari realitas masyarakat hingga masuk kepada ranah media sosial. Menurutnya Perempuan sering kali dianggap sebagai agen moral kesalehan keluarga serta masyarakat yang tercermin dari dirinya dan keluarganya. Ini adalah sebuah tugas yang teramat berat. Bayangkan saja jika suatu keluarga, terdapat anggota yang menyalahi norma sosial agama dari suatu masyarakat setempat, ibu selalu saja menjadi pelaku utama yang bolak-balik disalahkan karena tidak bisa mendidik anak dengan baik atau dianggap tidak becus mengurus anggota keluarga. (hlm. 41)
Ia juga melanjutkan, bahwa sebagai potret ideal Perempuan yang saleh hari ini adalah mereka yang dapat betanggung jawab sepenuhnya terhadap kesalehan dirinya dan keluarganya. Jika pun harus bekerja mislanya, ia cuman diperkenankan bekerja dari rumah saja, entah berjualan online atau yang lainnya. Karena jika Perempuan bekerja di luar rumah, masalah keluarga pasti akan terjadi dan kalua sudah muncul masalah, ya Perempuan yang harus bertanggung jawab. (hlm.44)
Perempuan yang Berdaya Saing
Selain memotret prihal peran serta tanggung jawab yang dipikul oleh seorang Perempuan, Mair Fauzi juga mengulas bagaimana seorang Perempuan tetap dapat berdaya saing dengan baik secara intelektual, dan spiritual. Dalam bukunya ini ia mencotohkan salah satau Perempuan ternama dalam sejarah peradaban Islam, yakni Rabi’ah al Adawiyah. Baginya sosok init seharusnya menjadi cerminan dan percontohan Perempuan-perempuan hari ini.
Baca Juga: Cara Jitu Menjadi Muslim dan Muslimah Tangguh
Begitu pula dengan sosok sufi Perempuan yang bernama Rabi’ah al Adawiyah yang menjadi seorang panutan sebagai ibu para sufi yang tak pernah mati. Peninggalan serta ajaran-ajarannya mengenai ilmu tasawuf hingga ini masih dapat dirasakan bahkan diamalkan oleh sebagaian umat muslim di penjuru dunia. Kecintaannya kepada Allah swt, mengantarkan relasi spiritual yang sangat kuat antara dirinya dengan sang pencipta. Sehingga dalam hal ini, sesungguhnya Allah pun tidak pernah memandang hambanya dari segi jenis kelamin saja, tetapi dari takwanya.
Sosok Rabi’ah al Adawiyah adalah gambaran salah satu Perempuan yang memiliki ruang, posisi, dan kesempatan yang sama di mata Tuhan. Tidak ada yang mampu membatasi, apalagi menciptakan sekat-sekat spriritualitas atas kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Ibn ‘Arabi mengatakan, “Siapa saja yang ingin menjadi seorang sufi, maka hendaknya menjadi seorang Perempuan dulu.” Maksudnya, hatinya harus lembut dan didominasi dengan rasa kasih saying. (hlm.57)

Penulis: Maria Fauzi
Judul buku: Muslimah Bukan Agen Moral
Tahun Terbit: 2023
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN: 978-623-186-188-7
Jumlah halaman: 164 hlm
Perensensi: Dimas Setyawan Saputro