ibnurushdSebenarnya kualitas kehidupan umat Islam dewasa ini kelihatan mengambang (floating mass). Secara pragmatis, masih banyak hal-hal yang terabaikan dalam mewujudkan ajaran. Secara idealis juga, justru mengapa umat Islam dan umatnya, hanya mewujudkan amaliyah tersebut sepotong-sepotong. Padahal, Islam sendiri terdiri dari Syari’ah dan Akidah, serta ditambah lagi dengan Akhlaq.

Akidah yang berhubungan dengan Iman, maka, Syari’ah akan berhubungan dengan masalah Ibadah dan Muamalah. Dalam Muamalah ini, Islam akan mempertemukan soal-soal politik, yang jauh berbeda dengan ibadah. Persoalan muamalah dalam konteks ini, praktis nonsense dalam benak saya, disebabkan pemahaman dan pengamalannya yang terpenggal-penggal.

Dalam hal pragmatisme, Islam telah menuangkan Khairunnaas anfa’uhum linnaas, atau Kuntum Khairaummatin Ukhrijat Linnasi. Namun saat ini, dimana letak dan proporsinya? Bahkan yang seharusnya sebagai Problem Solver justru terbalik menjadi maker problem. Ini bagaimana?

 

Norma Tuhan dan Pembangunan

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tentunya menjadi masalah tersendiri, apalagi dalam arus pembangunan, agama tidak banyak dilibatkan dalam prioritas utama, dimana, dimensi pembangunan tidak bisa lepas sama sekali dengan etik agama itu sendiri.

Etika pembangunan, jika ditelusuri secara mendasar akan bermuara pada norma. Yakni norma ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sedangkan norma tersebut secara ontologis bersumber pada asal mula pengetahuan, yaitu berasal dari Tuhan. Konsekuensinya, norma pembangunan haruslah bersumber pada norma Tuhan sebagai pijakan etis terhadap upaya kualitas pembangunan tersebut. Disamping pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya.

Jika hal ini tidak diperhatikan, maka kebermacaman umat Islam akan sulit membhineka. Padahal kita dituntut dalam kebebasan berfikir dan kebermacaman tersebut, untuk tetap dalam ketunggalan strategi dan target yang harus dicapai.

Praktisnya Ikhtilafu Ummati Niqmah (perbedaan pendapat diantara umatku menjadi penyakit) belum sampai taraf rahmah (Rahmat). Dalam hal ini gagasan ukhuwwah dari berbagai segi harus direalisir.

Secara dzahiriyah (empiris) umat Islam Indonesia sudah lebih baik dibanding beberapa agama lain. Di Indonesia sudah ada peningkatan dan keselarasan yang menjabar di bidang iptek. Namun perlu diingatkan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi disini bukan dalam artian an sichk, tetapi pragmatisnya. Oleh sebab itu peranan intelektual sangat efektif disini.

Di lain pihak, wanita di Indonesia ada keberanian memakai jilbab. Kalau toh itu dituduh sebagai topeng politik, sangat sulit ditanggapi. Karena kita sudah menerima asas tunggal. Kecuali yang nyempal-nyempal itu.

Dalam bidang pakaian ini, sebenarnya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap sistem nilai. Secara logis, sebenarnya kualitas tidak diukur dari situ. Orang Mesir dan Al-Jazair tidak ada yang memakai sarung. Jika hal itu sering dipersoalkan di masyarakat Islam di bawah, ini menunjukkan situasi rasional yang masih rendah. Sehingga tingkat kultur emosional yang menanjak. Tentunya ini berpaling dari makalah: Undzur Maqaala wa Tandzur Man Qaala (canangkan apa yang dikatakan dan jangan kalian canangkan siapa yang mengatakan). Hal demikian biasanya terkungkung oleh otoritas wibawa pribadi atau juga kualitas pribadinya.

Walaupun di Indonesia dalam porsi kultur emosional ini banyak berubah, tetapi efeknya belum dirasakan. Karena perihal ini lebih cenderung pada “Scientific Positivisme” dengan iklim ilmu pengetahuan dan teknologinya. Tapi memang berbeda dengan Negara-negara Timur Tengah yang dikawahi oleh gurun-gurun pasir, kegersangan dan frekuensi panas yang tinggi, bahwa patrapan manusia dalam dimensi emosional dengan di negeri kita berbeda. Di negeri kita banyak pepohonan, dan grumbul-grumbul. Ini punya mitos rasa takut tersendiri. Secara tidak langsung ada hubungan emosional dengan yang serba ghaib. Sedangkan di negeri gurun pasir itu, orang tidak takut dengan kegerumbulan, bahkan mereka merasa di tantang oleh kegersangan itu. maka tepat jika Allah menurunkan Islam di iklim yang panas dan sengsara seperti itu, sehingga negeri-negeri yang akan lebih mudah menerimanya.

 

NORMA ALLAH: Mengukur Kualitas Iptek

Dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan industri tidak lepas dari ancaman emosional, hal mana, kemajuan tersebut selalu menghadirkan kerinduan pengalaman spiritual yang lebih tinggi, disamping teknologi yang ada. Tentu saja tidak bisa diingkari, bahwa kerinduan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi menuju pada kekuatan Tauhid, maka proporsi normatif dari ilmu dan teknologi benar-benar terwujud. Dan disinilah antara Rasio dan Emosi berkelindan. Karena, sebagaimana ucapan Einstein: “Daya kreativitas itu tumbuh dari titik pusat gravitasi emosional.”

Suasana demikian yang menyebabkan manusia seringkali mencari kekuatan yang lebih tinggi, yang pada gilirannya membutuhkan pegangan yang diproduk oleh kekuatan luar manusia, namun Wahyu Ilahi yang Kekal, sebagai “Way of Life” dari pada manusia.

Hanya saja, ketika ilmu dan agama tersebut bertemu dalam benak tokoh agama (rijaludin) maka, sepanjang sejarahnya, jika terjadi pertentangan (kontradiksi) maka sebenarnya bukanlah esensi dari ilmu atau agama tersebut, tetapi yang berbicara adalah politik. Ilmu pada hakikatnya tidak bertentangan dengan agama. Ilmu sebagai alat, bukan satu-satunya, dari agama yang dimanfaatkan menurut logika yang benar.

Muhari Lph.

Artikel ini dimuat di  Majalah Tebuireng No. 2 Juni 1986