Catatan untuk seorang nenek

Oleh: Rara Zarary*

Pada tubuhmu yang tunduk layu, matamu yang tak mampu melihat panorama, telingamu yang sudah ditenggelamkan bising dan pesta pora jalanan desa, kakimu yang mulai lelah melalui waktu, dan pada tangamu yang masih sanggup memegang erat pundakku. Nek, sebagai cucu kedua dari anak pertamamu yang sudah kembali pada TuhanNya, aku mengerti betapa lelah engkau memikul rindu yang tak bertuan itu pada seorang laki-laki yang kupanggil ayah sepanjang jaman.

Nek, pada rambutmu yang sudah melambaikan masa muda aku menaruh harapan kau mampu bertahan menghirup udara segar dan cerita bugar dari cucu-cucumu meski rindu yang berjibun telah kau rekam sendiri dalam dirimu. Nek, di tanganmu juga aku menitip doa yang syahdu agar Tuhan masih memberkatimu, umurmu, dan bahagiamu di sisi kami yang masih bau kencur ini. Biarkanlah aku menanggung pilu, ngilu, dan sendu yang nyaris kau telan sendiri sejak kakek tiada dan ayah meninggal dunia, biarlah. Aku akan menanggung susah payahmu menanggung segala urusanmu yang masih tersisa.

Kali ini, saat kakimu sudah lelah, tanganmu gemetar, matamu rabun, dadamu sesak, dan napasmu terengah; duduklah yang manis. Berceritalah pada Tuhan segenap yang sudah sempurna menjadi bagianmu selama hidup di dunia ini. Sungguh, aku mencintaimu lebih dari apa yang mampu aku persembahkan nek. Sebab aku tahu, dari rahimmu, seorang laki-laki terhebat lahir ke dunia ini dan menjadi kekasih ibu lalu menjadi ayahku. Sebab karena dirimu, nek aku mengenal ribuan perjalanan yang penuh arti.

Nek, aku benar ingin memelukmu, sekali lagi dengan tanpa jarak dan tak terhitung detik. Aku ingin berlama-lama denganmu, bercerita tentang aku dan perlahan-lahan menghapus rindu yang membara di dadamu. Aku ingin kau menikmati masa tuamu dengan perasaan paling manis.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sesekali, aku ingin menyisir rambutmu yang sudah tak berarah itu. Mengelap wajahmu yang penuh garis tak menentu. Ingin memijat tubuhmu yang sudah mulai kaku dan ragu untuk berjalan lebih jauh dari pada rumahmu dan rumah ibuku. Aku ingat betul, bagaimana engkau diam-diam menyelipkan uang di ranselku saat kau tahu kabar bahwa aku akan kembali ke kota seberang. Aku ingat betul, saat engkau membungkus kacang tanah dan jagung mentah agar aku bawa dan menjadi bekalku, katamu itu sebagai cemelan setiap malam sebagai temanku dalam menikmati sunyi sambil menulis cerita dan puisi.

Aku tersenyum sambil meneteska air mata, saat kau bilang “Aku hanya punya uang segini, semoga ayahmu selalu memberi yang lebih, sebagai penjagaanmu yang lebih baik di sana”, tak heran jika ibu dan kakakku akhirnya menangis pula. Ayah, yang benar telah pergi lebih dulu sudah menjadi kerinduan paling meraja di hati kami. Ayah, yang benar menjadi pujaan kita sudah benar menguasai ingatan kami untuk menenganngya menjadi kenangan terbaik sepanjang masa.

Tetapi aku tahu nek, sakit dan luka yang aku punya tak mampu menutupi sakit dan luka yang sudah menggerogoti usiamu. Kau lah yang selama ini menanggung luka kami. Sekali lagi, sebelum akhirnya aku menyesal karena tak mampu mlakukan apapun padamu seperti apa yang telah aku sesali saat ayah akhirnya pergi (karena tabrak lari). Berhentilah menangis, berhentilah menyelipkan uang di ranselku, berhentilah mendatangi rumah ibuku dengan langkahmu yang mulai kaku.

Kali ini, giliranku mendatangi rumahmu setiap waktu, biarkan aku yang sesekali menyalamimu dengan uang hasil jerih payahku meski tak sebanyak debu yang telah menutupi rumah tuamu. Ijinkan lah aku yang setiap pagi-siang-sore-malam, menemanimu hingga akhirnya kau tertidur pulas dengan mimpi-mimpi indah dari Tuhan. Nek, pada saat kau tertidur, dengan hati-hati aku akan memetik luka-duka-rindu dan segala yang membuatmu pilu, lalu ku buang jauh-jauh darimu.

Saat fajar menengok ke jendela rumahmu, kau akan terlihat lebih segar dan menatap alam seperti kala engkau masih muda dan ingin terbang dengan perasaan bahagia. Nek, terimakasih telah menciptakan banyak cerita tentang satu puisi yang retas dari rahimmu hingga akhirnya ia utuh menjadi seorang ayah untukku.


*Redaktur tebuireng.online

Penulis catatan harian di IG @sabdawaktu dan @aksara_sa selain itu pernah menulis 3 buku puisi dan cerpen.

SebelumnyaDILEMA
BerikutnyaPerpecahan dan Persatuan Umat