
Setiap manusia pasti pernah disakiti. Baik oleh ucapan, tindakan, maupun perlakuan tidak adil. Perasaan kecewa, marah, dan terluka pun menjadi hal yang wajar. Namun, ketika luka itu tidak disembuhkan dan malah dipelihara dalam hati, maka muncullah satu sikap yang sangat berbahaya yakni dendam.
Dendam adalah keinginan kuat dalam hati untuk membalas perlakuan buruk atau menyakiti orang yang telah mendzalimi kita. Ia adalah emosi yang tidak sekadar kecewa, tapi juga mengandung niat untuk mencelakai balik, bahkan meski waktunya sudah lama berlalu. Dendam bukan hanya rasa benci biasa. Ia seperti bara api yang terus menyala dalam dada. Dan seperti api, dendam tidak hanya membakar orang lain, tapi lebih dulu membakar orang yang menyimpannya.
Berbagai penelitian psikologi menyebutkan bahwa menyimpan dendam dapat memicu stres kronis, gangguan kecemasan, bahkan depresi. Tubuh menjadi lelah, pikiran terus dihantui bayang-bayang masa lalu, dan hati sulit merasakan damai.
Baca Juga: Bahaya dan Kerugian Balas Dendam
Dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulletin (2001), disebutkan bahwa orang yang menyimpan dendam cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi dan detak jantung yang meningkat, terutama saat mengingat pengalaman buruknya. Ini artinya, dendam bukan hanya menyakiti batin, tapi juga berdampak langsung pada tubuh.
Ketika seseorang menyimpan dendam, fokus hidupnya berubah. Ia tidak lagi mencari makna, tidak lagi berusaha tumbuh, tetapi hanya terpaku pada balas dendam. Hidup pun terasa berat, penuh kecurigaan, dan tidak pernah tenang. Kebahagiaan menjadi hal yang mustahil didapat jika hati terus dipenuhi amarah masa lalu.
Bayangkan berapa banyak waktu yang kita habiskan hanya untuk merancang “balasan” atas apa yang orang lain lakukan? Padahal waktu itu bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif: belajar, bekerja, atau membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Energi yang seharusnya digunakan untuk membangun masa depan, justru habis untuk mengutuk masa lalu.
Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, pemaafan, dan ketenangan jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah dengan tegas menyampaikan bahwa memaafkan jauh lebih mulia daripada membalas dendam. ”Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim” (Asy-Syura ; 40).
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang memang memiliki hak untuk membalas kezaliman. Namun, Allah memuji orang yang mampu memaafkan dan justru membalas kejahatan dengan kebaikan, bahkan menjanjikan pahala bagi mereka. Ini bukan berarti kita lemah, tetapi justru menunjukkan kekuatan hati dan iman.
Rasulullah adalah teladan terbaik dalam hal memaafkan. Beliau pernah disakiti dengan lemparan batu saat berdakwah di Thaif, hingga tubuh beliau berdarah. Tapi ketika malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menghancurkan kota itu sebagai balasan, Rasulullah menolak. “Hai Malaikat penjaga Gunung, aku datang kepada mereka karena berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah)”.
Islam adalah agama perdamaian. Jika dendam dibiarkan tumbuh, ia akan melahirkan kebencian yang lebih besar dan berujung pada kekerasan. Inilah yang sering kita lihat dalam konflik berkepanjangan antar individu, bahkan antarkelompok. Islam menginginkan pemeluknya menjadi pembawa rahmat, bukan pembawa balas dendam.
Baca Juga: Seni Memaafkan Kala Raga Mampu Membalas
Dendam menggerogoti hati hingga tidak lagi bisa membedakan kebaikan dan keburukan. Bahkan, dalam keadaan tertentu, do’a orang yang menyimpan dendam bisa tertahan karena hatinya tidak bersih.
Jika kita ingin diampuni oleh Allah, maka kita pun harus bisa mengampuni orang lain. Bagaimana mungkin kita berharap Allah mengampuni dosa kita, sementara kita sendiri enggan memaafkan kesalahan orang lain?
Memaafkan bukan berarti melupakan atau membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Memaafkan adalah bentuk pengendalian diri. Kita boleh mengambil pelajaran dari peristiwa yang menyakitkan, tapi jangan menjadikannya alasan untuk terus menaruh dendam.
Memaafkan adalah keputusan untuk membebaskan diri dari penjara emosi negatif. Rasulullah bersabda: “Orang kuat bukanlah orang yang sering menang berkelahi, akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ketika marah.” (Hadits dari Abu Hurairah dengan derajat Muttafaq ‘alaih)
Menahan diri dari amarah dan dendam adalah bentuk kekuatan yang sesungguhnya. Islam tidak menuntut kita untuk menjadi manusia sempurna, tapi Islam mengajarkan bahwa menjadi pemaaf adalah salah satu cara untuk menyucikan hati dan meraih ketenangan hidup.
Dendam hanyalah ilusi kemenangan. Ia mungkin terasa menyenangkan di awal, tapi berujung pada kehancuran jiwa. Islam mengajarkan bahwa memaafkan adalah jalan menuju kemuliaan. Jika kita ingin hidup tenang, bahagia, dan diridhai Allah, maka lepaskanlah dendam. Biarkan hati ringan, pikiran jernih, dan langkah kita tidak lagi dibebani masa lalu.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary