
Shalat merupakan ibadah yang dilakukan oleh seseorang yang sudah mukallaf (berakal dan baligh). Sebab hukum shalat berstatus wajib, yang dalam disiplin ilmu ushul fikih, wajib adalah sebagian dari hukum taklifi atau titah Tuhan yang selalu behubungan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf secara tegas.
Terlepas dari perbincangan shalat dalam kacamata ushul fikih, shalat sendiri dalam praktiknya terdapat beberapa syarat yang mesti terpenuhi sebelum kita melaksanakannya. Karena syarat merupakan entitas penentu keabsahan ibadah shalat itu sendiri, meskipun syarat tidak termasuk dalam bagian shalatnya.
Dalam kitab Fathul Qorib al-Mujib karya Syeikh Ibnu Qosim al-Ghazi, terdapat lima syarat yang harus terpenuhi sebelum kita melaksanakan shalat. Salah satunya adalah sucinya anggota badan dari hadats, baik kecil atau besar serta suci dari najis yang tidak bisa ditolerir (ma’fu) ketika terdapat dalam badan, pakaian dan atau suatu tempat.
Sehingga konsekuensi logisnya, ketika seseorang melaksanakan shalat dalam keadaan hadats, kecil ataupun besar, atau dengan shalat yang membawa najis dalam badan, pakaian atau tempatnya, maka shalat tersebut tidak bisa dikatakan sah. Sebab, sesuatu yang menentukan keabsahannya shalat, yaitu syarat (suci dari hadats dan najis) belum juga terpenuhi.
Namun pada bab sebelumnya yang menerangkan tentang najis, Syeikh Ibnu Qosim al-Ghazi menjelaskan najis yang dapat ditolerir (ma’fu), seperti sedikitnya darah, atau nanah dalam pakaian. Sehingga shalat dalam keadaan tersebut dapat dikatakan sah, sebab ditolerirnya najis tersebut karena sedikit. Begitu juga ditolerirnya bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya ketika jatuh (dengan sendirinya) dalam sebuah wadah.
(ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم والقيح)؛ فيعفى عنهما في ثوب أو بدن، وتصح الصلاة معهما، (و) إلَاّ (ما) شيء (لا نفس له سائلة) كذُباب ونمل (إذا وقع في الإناء ومات فيه، فإنه لا ينجسه).
Artinya: “tidak bisa ditolerir sesuatu apapun yang najis, kecuali sedikitnya darah dan nanah, maka sedikit dari keduanya pada pakaian atau badan dapat ditolerir, dan shalat yang dikerjakannya dapat dikatakan sah. Begitu juga bangkai hewan yang tidak terdapat darah yang mengalir, seperti lalat dan semut, ketika jatuh di dalam wadah lalu mati di dalamnya, maka hal itu tidak menajiskannya.” (Syeikh Ibnu Qosim al-Ghazi, Fathul Qorib al-Mujib, Maktabah Syamilah, Lebanon: 2005, hlm 57.)
Secara tekstual dapat kita pahami antara sedikitnya darah dan nanah merupakan najis yang dapat ditolerir, sehingga shalat (dengan membawa keduanya) yang dijalankannya tetap dikatakan sah. Namun dalam teks yang menyampaikan ditolerirnya bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya ketika jatuh dalam suatu wadah, apakah dapat disamakan hukumnya seperti hukum sedikitnya darah dan nanah. Sehingga shalat yang dilaksanakan dengan membawa bangkai semut, dapat dikatakan sah?
Menurut hemat penulis, dalam ibarot yang disampaikan oleh Syeikh Ibnu Qosim al-Ghazi tersebut, mengisyaratkan adanya dikotomi najis yang ditolerir pada pakaian atau badan saja, dan najis yang hanya ditolerir ketika terjatuh dalam air. Seperti yang disampaiakan oleh Imam as-Syarqowi dalam Hasyiyahnya:
واعلم ان النجاساتا اربعة اقسام قسم لايعفى عنه مطلقا وهو معروف وقسم عكسه وهو مالايدركه الطرف و قسم يعفى عنه فى الثوب دون الماء وهو قليل الدم لسهولة صون الماء عنه……الى…….وقسم عفى عنه فى الماء دون الثوب وهو الميتة التى لادم له سائل حتى لو حملها فى الصلاة بطلت.
Dapat disimpulkan bahwa klasifikasi najis, menurutnya terbagi menjadi empat bagian. Pertama, najis yang tidak ditolerir secara mutlak, seperti setiap sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur terkecuali air mani. Kedua, lawan dari yang pertama yakni najis yang tidak bisa dilihat oleh panca indra. Ketiga, najis yang dapat ditolerir hanya pada pakaian dan tidak ditolerir pada air, seperti darah atau nanah yang sedikit. Keempat, najis yang bisa ditolerir hanya pada air saja, dan tidak bisa ditolerir ketika najis tersebut terdapat dalam pakaian, seperti bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya.
Sehingga, katakanlah ketika seseorang melaksanakan shalat dan di dalam pakaiannya terdapat bangkai semut, maka sesuai ibarot di atas, batal shalatnya. Sebab semut termasuk dalam klasifikasi najis yang keempat, yang hanya ditolerir ketika terdapat pada air saja.
Sementara itu, shalat tetap dihukumi sah karena bangkai semut (nyamuk,lalat, kupu-kupu) termasuk dalam kategori najis yang dimakfu asal tidak sengaja. Ini berdasarkan pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani seperti dikutip Al-Bakri dalam Ianah At-Tolibin, hlm. 1/108:
وأفتى الحافظ ابن حجر العسقلاني بصحة الصلاة إذا حمل المصلي ميتة ذباب إن كان في محل يشق الاحتراز عنه
Artinya: Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berfatwa sah shalatnya orang yang membawa bangkai lalat apabila berada di tempat yang susah menghindarinya.
Fatwa Ibnu Hajar di atas secara tersirat mensyaratkan apabila adanya bangkai semut(nyamuk,lalat, kupu-kupu) di baju kita saat shalat itu tidak sengaja maka shalat tetap sah. Wallahu A’lam Bi Showwab.
Baca Juga: Fikih Dharurat: Batasan-batasan atas Kondisi Tidak Ideal
Penulis: Muhammad Asyrofudin, PP Al-Musthofa Ngeboran, Sawit, Boyolali Jawa Tengah.