Oleh: Lu’luatul Mabruroh*
Bulan Dzulhijjah berasal dari dua kata yaitu Dzu (دو) yang amemiliki art pemilik dan Al-Hijjah ( الحجة) yang memiliki makna haji. Diberi nama demikian sebab sejak zaman jahiliyah orang-orang Arab melaksankan ibadah haji pada bulan tersebut sebagai bentuk pelestarian terhadap ajaran agama Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam.
Selain disebut sebgai bulan haji, bulan Dzulhijjah juga termasuk salah satu dari bulan-bulan haram. Penghormatan terhadap bulan-bulan haram telah berlangsung sejak zaman jahiliyah. Orang Arab Jahiliyah sangat mengagungkan bulan tersebut dan mengharamkan terjadinya peperangan di dalamnya.
Kemudian Islam datang mengukuhkan dan menguatkan penghormatan terhadap bulan tersebut. Islam memerintahkan untuk memuliakan bulan-bulan tersebut dengan meningkatkan ibadah, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Pada bulan Dzulhijjah, terdapat amalan-amalan yang apabila dikerjakan nilainya sangat luar biasa, bahkan jika dikerjakan dengan benar maka esensi haji juga dapat diraih sekalipun tidak menunaikan ibadah haji.
Amalan-amalan yang dikerjkan pada bulan haji akan mendapatkan pahala yang nyaris serupa dengan status yang dikerjakan oleh orang yang menunaikan ibadah haji, yaitu Mabruur. Allah menyebutkan dengan sumpah dalam Al-Qur’an untuk mengungkapkan kemulyaan dan pentingnya 10 hari pertama pada bulan tersebut pada Qs. Al-Fajr: 1-2
وَالْفَجْرِۙ
Artinya: Dan Demi Fajar
Dengan menggunakan redaksi sumpah menyiratkan bahwa Allah ingin menyampaikan seseuatu yang sangat penting, yaitu datangnya waktu fajar yang memiliki keistimewaan tertentu. Dalam Tafsir Ibnu Katsir. kata Fajar oleh beberapa Ulama ditasirkan sebagai fajar umum dan fajar khusus yang hanya muncul pada hari khusus dengan keutamaannya. Beberapa Ulama seperti Ikrimah berpendapat bahwa makna yang dimaksud adalah shalat fajar. Sedangkan Ali dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa makna yang dimaksud adalah fajar pada hari raya Idul Adha. Hal ini dapat ditemukan pada ayat selanjutnya yang berbunyi:
وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ
Artinya: Demi Malam yang sepuluh
Mengenai sepuluh malam, makna yang dimaksud adalah tanggal 10 bulan dzulhijjah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair dan beberapa ulama lain dari kalangan ulama salaf dan khalaf. Ayat tersebut merepresentasikan bahwa terdapat waktu istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun yang diawali oleh 10 hari sebelumnya, yaitu 10 hari awal dari bulan dzulhijjah.
Adapun keistimewaan yang bisa diraih dari 10 hari bulan dzulhijjah dapat diketahui dari hadits berikut:
“مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ” -يَعْنِي عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ -قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلًا خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ لَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ”
Artinya: Tiada satu haripun yang amal shaleh disukai oleh Allah padanya selain dari hari-hari ini. Yakni sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Mereka (para sahabat) bertanya: “Dan juga lebih utama dari berjihad di jalan Allah?” Rasulullah Saw menjawab. “Dan juga lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan membawa hartanya untuk berjihad di jalan Allah, kemudian tidak pulang selain dari namanya saja.”
Dalam menjalankan amal sholeh, seorang hamba akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dikerjakan. Namun dari hadits di atas, dapat ditemukan bahwa di antara keistimewaan bulan dzulhijjah, seseorang yang mengerjakan amal sholeh tidak hanya mendapatkan pahala saja, tetapi juga berpeluang mendapatkan cinta dari Allah meski dengan melakukan amalan singkat sekalipun. Sedangkan cinta dari Allah akan senantiasa diiringi dengan datangnya ampunan. Selain cinta dan ampunan, seseorang yang mengerjakan amal sholeh pada hari-hari tersebut berkesempatan mendapatkan pahala yang setara dengan orang yang sedang jihad di jalan Allah.
*Alumnus Pondok Pesantren Putri Walisongo.