
Oleh: Rizka M*
Yang kita tahu bahwa pada masa kekhalifahan Abbasiyah adalah masa emas ilmu pengetahuan Islam. Namun berbeda dengan pandangan para sufi, menurutnya masa emas ilmu agama itu justru terdapat pada masa-masa awal yakni masa tabi’in, sahabat, dan ulama-ulama salaf. Karena pada masa itu ilmu agama masih dilakukan secara murni sebagai tuntutan hidup untuk meraih kebahagiaan di akhirat.
Pada masa selanjutnya, ilmu agama mulai dipahami dan diamalkan dengan salah, ilmu agama lebih diperuntukkan untuk alat untuk mencapai suatu kepentingan dunia. Hal itu telah melenceng dengan tujuan sendiri mempelajari ilmu agama yang menjadi tuntutan hidup untuk menuju kebahagiaan di dunia.
Dalam perkembangannya sendiri, ilmu agama juga mengalami pergeseran makna dan juga subtansi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ menjelaskan tentang pergeseran makna itu dengan sangat panjang dengan judul (bayanu maa buddila min alfadzil ulum)
Dan juga ada istilah masyhur pada masa ulama salaf yang digunakan untuk maksud berbeda pada masa setelah mereka sehingga umat Islam salah pemahaman, mana disiplin ilmu terpuji dan juga mana disiplin ilmu yang tidak terpuji. Seperti ilmu fikih dan tauhid yang terdapat pergeseran makna, yang sebelumnya menjadi tuntutan akidah amaliyah halqiyah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bisa mengatur hukum Allah, malah menjadi wacana-wacana kering di meja debat.
Namun karena itu juga sekarang para aktivis meja diskusi menyampaikan tujuan mereka untuk mencari kebenaran dan saling membahu untuk merumuskan agama, namun pada hasilnya para aktivis ilmu agama itu tidak menunjukan indikasi ketulusan hati mereka dalam mencari dan menampakan kebenaran.
Imam Al-Ghazali sendiri menyebutkan delapan indikator yang bisa dipakai untuk melihat dan mengukur perdebatan itu benar-benar tulus atau hanya sekedar menjadi muka dan juga ketenaran di balik topeng kebenaran. Di antara 8 indikator ada beberapa indikator yang sering dilanggar oleh para aktivis dan pendakwah:
Pertama: harusnya mendahulukan kewajiban fardu ‘ain dari pada debat yang notabenya berhukum fardu kifayah.
Pada zaman sekarang, banyak aktivis agama yang semangat menyiapkan dakwah ke sana ke sini namun sering keteteran dan asal-asalan untuk melaksanakan shalat wajib. Hal tersebut adalah indikator bahwa motivasi mereka sepenuhnya bukan untuk mencari pahala, namun karena faktor-faktor lain yang berhias seolah-olah untuk akhirat.
Kedua: menjadikan lawan bicaranya sebagai mitra mencari kebenaran, bukan sebagai musuh yang harus dikalahkan. Karena sekarang yang banyak sekali malu dan gengsi ketika kalah berdebat, namun seharusnya senang dan berterimakasih karena lawan debatnya dapat meluruskan kesalahannya.
Ketiga: lebih memilih diskusi terbuka dari pada diskusi tertutup. Dengan diskusi tertutup bisa membuat pikiran menjadi utuh, dan jenih dalam memahami kebenaran, sedangka yang beredar sekarang yang melakukan diskusi terbuka, karena itu banyak sekali pamer kemampuan dan membabi buta dalam membela pendapat yang kurang benar.
Keempat: berharap untuk mendapatkan ilmu dari lawan debat. Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah banyak yang menghindari lawan berdebat yang lebih rendah kemampuanya, hanya karena ingin mendapatkan pengakuan dan juga agar bisa menang.
Wallahua’lam bi showab
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari