tebuireng.online – Pertanyaan: Asalamualaikum. Pak kyai yang saya hormati. Sering sekali ketika kita mendengarkan guru-guru atau da’i berceramah, mereka melantunkan ayat “yarfaillahulladzina aamanuu minkum walladzina uutul ilma darojaat” apakah benar sebelum belajar lebih jauh, agar derajat kita diangkat oleh Allah Swt harus beriman terlebih dahulu, atau bagaimana kita memahami kalimat “alladzina aamanu” tersebut, atas jawaban kyai saya haturkan terima kasih.
Jawab:
Agar memperoleh pemahaman lebih utuh, ngaji al-Mujadalah:11 ini sebaiknya ditelisik juga latar belakang historiknya. Itu soal etika berhalaqah, ngaji bareng, sama-sama menimba ilmu dari Rasulullah Saw. Orang beriman dituntut memberi kesempatan orang lain bergabung. Berilah tempat duduk (tafassahu fi al-majalis), meski agak berdesakan dan servis lain yang dibutuhkan seperlunya. Tuhan bakal mengangkat derajat orang beriman dan orang yang berilmu. Soal apa benar harus beriman dulu, lalu berilmu, baru derajat diangkat ?. Pada ayat ini, ada dua bahasan
Pertama, soal memberi kesempatan orang menuntut ilmu. Menanggapi santri baru yang membludak, ada dua madzhab: Pertama, diterima saja. Desek-desekan dikit nggak apa-apa, kalau mau. Lah wong mencari ilmu kok ditolak. Mereka berdalil ayat ini (11). Biasanya pesantren salaf yang mengandalkan barakah cenderung ini. Konsekuensinya, pasti susah mencapai hasil pendidikan yang berkualitas dan merata. Tapi masukan banyak. Kedua, harus ditolak karena sudah melebihi batas kemampuan. Mereka berdalil al-Baqarah: 286. Mereka kuatir tidak bisa menunaikan amanah pendidikan secara baik, di samping takut menzalimi santri karena tak bisa memberi layanan yang baik. Orientasi mereka kualitas dan bukan kuantitas. Lembaga moderen memilih ini. Buat keduanya, Penulis ucapkan :” Barakallah fik”.
Kedua, soal derajat ditinggikan. Penulis melihat huruf “waw” adalah ‘athaf (kata sambung) yang menunjuk “tafriq”, makna beda. Misalnya : Ja’a Zaid wa Khalid. Antara Zaid dan Khalid adalah dua sosok yang berbeda. Zaid bukan Khalid dan Khalid bukan si Zaid. Jadi, orang beriman (al-ladzin amanu) dan orang berilmu (al-ladzin utu al-‘ilm) itu berebada. Ada orang yang beriman, tanpa berilmu dan ada orang yang berilmu tanpa beriman. Meski bisa terjadi pada satu pribadi. Keduanya sama-sama diangkat derajatnya oleh Allah Swt menurut disiplin masing-masing. Tentu saja, derajat orang beriman tidak sama dengan derajat orang berilmu. Derajat keimanan banyak berorientasi ukhrawi, sedangkan ilmu cenderung duniawi.
Semisal Thomas Alfa Edison, penemu listrik. Tentu derajat di bidangnya sangat terhormat. Andai muslim, pasti pahalanya mengalir terus dan abadi, karena dunia memanfaatkan temuannya. Juga ilmuwan lain, semisal Albert Einstin, Isac Newton, Galileo, Ibn Batuta, Ibn Haitsam, al-Kindi, al-Khawarizmi dll. Jangankan ilmu, keterampilan saja punya derajat tersendiri. Pemusik, artis, bahkan pesepakbola.
Oleh karena itu, bila Anda menginginkan derajat ganda, maka jadilah pribadi yang berkelengkapan ganda. Punya iman dan punya ilmu. itulah yang dituntut ayat ini. Soal mengapa derajat orang berilmu lebih nampak dan lebih terservis ketimbang yang sekedar beriman ?.
Ya, karena iman itu mudah diraih, meski minim. Lagian sifatnya pribadi dan tak terlihat. Tapi kalau ilmu dan keahlian, maka sungguh dibutuhkan perjuangan totalitas dan panjang. Hadana Allah.