niat puasa sebulan penuh
ilustrasi anak puasa

Dalam ranah pendidikan Islam, terdapat beragam pandangan mengenai metode terbaik dalam mendidik anak, termasuk dalam menjalankan ibadah seperti puasa. Salah satu pendapat yang sempat menjadi sorotan ialah pernyataan Ustadz Khalid Basalamah, yang menegaskan bahwa dalam syariat Islam tidak ada ketentuan yang membolehkan mengajarkan anak berpuasa hanya setengah hari. Beliau menyatakan bahwa istilah “puasa setengah hari” tidak dikenal dalam syariat, sehingga mengajarkan anak dengan konsep tersebut dianggap kurang tepat. Namun, pendapat ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Dalam praktiknya, banyak ulama dan orang tua membiasakan anak berpuasa secara bertahap sebagai bentuk latihan sebelum mereka baligh dan diwajibkan berpuasa penuh. Metode ini bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan strategi pendidikan yang selaras dengan prinsip tarbiyah Islamiyah, yaitu mendidik anak secara bertahap sesuai dengan kemampuan mereka. Bahkan dalam sejarah Islam, para sahabat juga membiasakan anak-anak mereka berpuasa dengan memberi mereka hiburan agar tetap semangat hingga waktu berbuka. Hal ini bisa kita lihat dari kisah yang terkandung dalam hadis berikut:

عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ: «مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ»، قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ

Dari Rubai’ binti Mu’awwidz, ia berkata: Pada pagi hari Asyura, Nabi ﷺ mengirim utusan ke perkampungan Anshar untuk menyampaikan, “Barang siapa yang di pagi hari dalam keadaan tidak berpuasa, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa harinya. Dan barang siapa yang di pagi hari dalam keadaan berpuasa, maka hendaklah ia terus berpuasa.” Ia (Rubai’) berkata: “Sejak saat itu, kami pun berpuasa pada hari Asyura dan membiasakan anak-anak kami untuk berpuasa. Jika salah satu dari mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan dari wol agar mereka terhibur sampai waktu berbuka.” (HR. Bukhari)[1]

Ibn Batthal ketika memberikan komentarnya kepada hadis di atas menuturkan, bahwa dalam ajaran Islam, kewajiban menjalankan ibadah dan syariat baru diberlakukan ketika seseorang mencapai usia baligh. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama yang didasarkan pada prinsip bahwa taklif (pembebanan hukum) dalam Islam hanya berlaku bagi mereka yang telah memiliki kecakapan akal dan fisik untuk menjalankannya. Meskipun demikian, banyak ulama menganjurkan agar anak-anak dilatih sejak dini dalam menjalankan ibadah, seperti puasa dan shalat. Tujuan dari latihan ini bukan sekadar membiasakan mereka dengan kewajiban syariat, tetapi juga untuk mendatangkan keberkahan dalam kehidupan mereka. Dengan latihan bertahap, anak-anak akan lebih siap dan mudah dalam menjalankan ibadah ketika kewajiban itu telah berlaku bagi mereka.[2]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berdasarkan pernyataan Ibn Batthal, dapat disimpulkan bahwa kewajiban berpuasa bagi seorang anak baru berlaku ketika ia telah mencapai usia baligh. Sebelum itu, anak-anak belum dibebani kewajiban syariat apa pun (taklif). Oleh karena itu, penggunaan istilah “puasa setengah hari” dalam konteks melatih anak berpuasa bukanlah bentuk mengada-ada dalam syariat. Sebab, anak-anak yang menjalankan praktik ini belum memiliki kewajiban syariat, sehingga hal tersebut lebih bersifat sebagai proses pembelajaran bagi mereka.

Dalam pembahasan tentang latihan berpuasa bagi anak-anak, para ulama memberikan perhatian khusus terhadap hadis yang menyebutkan bagaimana anak-anak di masa Nabi ﷺ diajarkan untuk berpuasa. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa kandungan hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya melatih anak-anak dalam ibadah puasa. Meskipun mereka belum mencapai usia taklif (kewajiban syariat), latihan ini bertujuan untuk membiasakan mereka dengan kewajiban agama sejak dini. Dalam kitabnya beliau menyatakan:

وفي الحديث حجة على مشروعية تمرين الصبيان على الصيام كما تقدم لأن من كان في مثل السن الذي ذكر في هذا الحديث فهو غير مكلف وإنما صنع لهم ذلك للتمرين وأغرب القرطبي فقال لعل النبي صلى الله عليه وسلم لم يعلم بذلك ويبعد أن يكون أمر بذلك لأنه تعذيب صغير بعبادة غير متكررة في السنة

Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya melatih anak-anak untuk berpuasa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Sebab, anak-anak yang berusia seperti yang disebutkan dalam hadis ini belum memiliki kewajiban (taklif). Mereka hanya dibiasakan berpuasa sebagai latihan. Namun, Al-Qurthubi mengemukakan pendapat yang ganjil dengan mengatakan bahwa mungkin Nabi ﷺ tidak mengetahui hal itu, dan kecil kemungkinan beliau yang memerintahkannya. Sebab, hal tersebut merupakan penyiksaan terhadap anak kecil dengan suatu ibadah yang tidak berulang sepanjang tahun.[3]

Jika ditelusuri lebih dalam, alasan Ustadz Khalid Basalamah menolak penggunaan istilah “puasa setengah hari” bagi anak-anak didasarkan pada pandangannya bahwa hal tersebut merupakan bentuk bermain-main dalam ibadah serta menciptakan ibadah baru yang tidak diajarkan dalam syariat. Namun, pemahaman ini kurang tepat. Sebab, puasa setengah hari yang diajarkan kepada anak-anak sejatinya hanyalah bentuk latihan, bukan ibadah yang memiliki ketentuan khusus dalam syariat. Tujuannya semata-mata untuk membiasakan anak berpuasa secara bertahap hingga mereka mampu menjalankan kewajiban puasa secara penuh ketika sudah baligh.

Kebolehan Anak Kecil Puasa Setengah Hari untuk Latihan

Melakukan suatu bentuk ibadah tanpa niat untuk benar-benar menjalankannya sebagai ibadah hukumnya tetap diperbolehkan, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam ibadah tersebut. Contohnya dapat kita lihat dalam kebiasaan mengajarkan anak kecil gerakan shalat, meskipun mereka belum berwudhu. Hal ini tetap diperbolehkan karena tujuannya hanyalah latihan, bukan pelaksanaan ibadah yang sebenarnya. Oleh karena itu, anak-anak yang diajarkan gerakan shalat tanpa wudhu tidak dianggap bermain-main dalam ibadah, melainkan sedang dalam proses belajar.

Contoh lain yang bisa kita lihat ialah dalam hal mandi besar bagi wanita yang sedang haid. Jika seorang wanita mandi besar dengan niat menghilangkan hadas sementara darah haidnya masih keluar, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, bahkan bisa menjadi dosa karena dianggap bermain-main dalam ibadah. Namun, jika ia mandi hanya dengan tujuan membersihkan badan tanpa niat untuk bersuci dari hadas, maka hal tersebut diperbolehkan. Hal ini sejalan dengan penjelasan Imam Nawawi mengenai perbedaan antara mandi sebagai ibadah dan mandi sebagai bentuk kebersihan.[4] Dengan begitu praktik pembelajaran puasa setengah hari yang biasanya diajarkan orang tua kepada anak-anaknya yang masih kecil semata-mata hanya bentuk pembelajaran dalam melakukan ibadah dan bukan bertujuan melakukan ibadah sebenarnya.

Untuk mendukung kebolehan penggunaan istilah “puasa setengah hari” dalam rangka melatih anak berpuasa, penulis akan memberikan contoh lain dengan metode ilhakul masail (penyamaan suatu kasus). Yang mana dalam beberapa kasus fiqh dijelaskan bahwa jika seseorang melakukan suatu bentuk ibadah tetapi belum memenuhi syarat untuk legalitas melaksanakannya, maka hal tersebut tetap diperbolehkan selama yang diniatkan adalah sekadar melakukan bentuk ibadahnya, bukan menjalankannya sebagai suatu kewajiban secara khusus. Sebagaimana yang dicontohkan Syekh Nawawi Al-Bantani berikut

قد يجوز فعل صُورَة الصَّلَاة مَعَ هَذَا الْحَدث كَمَا قد يَقع للشَّخْص فِي بعض الأحيان أَنه ينَام فِي مَكَان فِيهِ نسَاء أَو أَوْلَاد مرد ويحتلم ويخشى على نَفسه من الْوُقُوع فِي عرضه إِذا اغْتسل فَهَذَا عذر مُبِيح للتيمم لِأَنَّهُ أشق من الْخَوْف على أَخذ المَال لَكِن قبل التَّيَمُّم يغسل مَا يُمكنهُ غسله من بدنه وَيُصلي وَيُعِيد لِأَن هَذَا مثل التَّيَمُّم للبرد هَذَا إِذا سهل لَهُ فعل ذَلِك وَإِلَّا أَتَى بِأَفْعَال الصَّلَاة بِغَيْر نِيَّة وَلَا حُرْمَة عَلَيْهِ

Dalam keadaan tertentu, seseorang tetap boleh melakukan gerakan shalat meskipun berada dalam keadaan hadas besar. Misalnya, jika seseorang tidur di tempat yang ada wanita atau anak laki-laki yang belum baligh, lalu ia mengalami mimpi basah, tetapi ia khawatir bahwa mandi junub bisa membahayakan kehormatannya, maka dalam kondisi ini ia diperbolehkan bertayamum. Sebab, kesulitannya lebih besar dibandingkan sekadar takut kehilangan harta. Sebelum bertayamum, ia dianjurkan untuk mencuci bagian tubuh yang bisa dibersihkan, lalu melaksanakan shalat. Namun, ia tetap harus mengulang shalatnya nanti. Situasi ini mirip dengan orang yang tayamum karena cuaca sangat dingin. Jika ia masih mampu melakukan cara ini, maka ia harus melakukannya. Tetapi jika benar-benar tidak memungkinkan, ia cukup melakukan gerakan shalat tanpa niat, dan dalam kondisi ini, tidak ada dosa baginya.[5]

Berdasarkan penjelasan Syekh Nawawi di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang boleh melakukan suatu bentuk ibadah tanpa meniatkannya sebagai ibadah secara khusus, meskipun ia belum memenuhi syarat dan rukunnya. Dari sini, kita juga bisa memahami bahwa penggunaan istilah “puasa setengah hari” dalam rangka melatih anak-anak berpuasa tidak bertentangan dengan aturan ibadah. Sebab, praktik ini hanya bertujuan sebagai bentuk pembelajaran, bukan sebagai ibadah puasa yang sebenarnya, yang memiliki syarat dan ketentuan tertentu, baik dalam hal waktu maupun aturan lainnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah “puasa setengah hari” tetap diperbolehkan selama tujuannya adalah untuk melatih dan membiasakan anak dalam beribadah.

Baca Juga: Puasa Ramadhan dan Manfaat terhadap Kesehatan


[1] Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. Al-Jami‘ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulullah ﷺ wa Sunanihi wa Ayyamihi (Shahih al-Bukhari). (Beirut: Dar Tawk al-Najat, 1422 H). Juz 3, Hlm 37.

[2] Ibn Bathal, Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik. Syarh Shahih al-Bukhari li Ibn Bathal )Riyadh, Arab Saudi: Maktabah al-Rushd, 1423 H/2003 M(. Juz 4, Hlm 107.

[3] Ibn Hajar al-‘Asqalani. Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari. (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379 H). Juz 4, Hlm 201.

[4] Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Fikr. Tanpa Tahun), Juz 2, Hlm 349.

[5] Nawawi al-Jawi, Muhammad bin Umar. Nihayat al-Zain fi Irshad al-Mubtadi’in. (Beirut: Dar al-Fikr). Hlm 33.


Penulis: Ma’sum Ahlul Choir, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari