Ilustrasi seseorang yang bermuka dua (sumber: wahananews)

Dalam dunia remaja yang penuh gejolak pencarian jati diri, pertemanan menjadi salah satu bagian paling penting. Kita tumbuh bersama orang-orang yang kita anggap sahabat: saling berbagi rahasia, tawa, hingga luka. Dari ruang kelas hingga grup WhatsApp, dari bangku kantin hingga video call tengah malam, kita membangun koneksi yang kita percaya akan bertahan lama. Tapi ada satu kenyataan pahit yang sering kita temui teman yang terlihat manis di depan, tapi menusuk dari belakang. Kita menyebutnya: teman bermuka dua.

Istilah ini bukan lagi hal baru. Tapi yang mengkhawatirkan, ia telah menjadi semacam “normalitas sosial”, terutama di kalangan remaja. Banyak dari kita merasa lebih aman berpura-pura baik daripada mengungkapkan isi hati sebenarnya. Kita memilih untuk menjadi “baik di permukaan” demi menjaga relasi, walau harus mengorbankan kejujuran. Kita sering kali membohongi diri sendiri demi mempertahankan hubungan yang sebenarnya sudah tidak sehat.

Apakah ini hanya sekadar fase tumbuh dewasa? Tidak sepenuhnya. Ini adalah gejala dari sesuatu yang lebih dalam: ketakutan untuk ditolak, rasa haus akan penerimaan, dan kurangnya keberanian untuk menjadi otentik. Menariknya, individu bermuka dua sering kali kesulitan menunjukkan empati yang tulus. Empati mereka tampak seperti formalitas sosial kata-kata manis yang tak memiliki jiwa. Fokus utama mereka biasanya pada kepentingan diri sendiri, bukan pada perasaan atau kesejahteraan orang lain.

Baca Juga: Mengapa Orang-orang Takut Dewasa?

Remaja yang menjadi korban perilaku seperti ini tidak hanya merasakan sakit hati biasa. Mereka bisa mengalami kecemasan sosial, rasa tidak aman, bahkan trauma relasi di masa depan. Bagaimana tidak? Teman yang dulunya kita percaya, ternyata mengkhianati kita dengan gosip, fitnah, atau sekadar ikut tertawa saat kita dijatuhkan orang lain. Luka seperti ini tak selalu tampak, tapi meninggalkan jejak yang dalam: membuat kita ragu membuka hati lagi, membuat kita mempertanyakan nilai diri sendiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lebih menyakitkan lagi, pengkhianatan semacam ini sering kali dibungkus dalam kedok humor. Kita mendengar, “Ah, Cuma bercanda,” atau “Kamu baper banget sih.” Padahal di balik candaan itu, ada niat menusuk. Normalisasi ejekan dan gosip di antara teman menjadi budaya yang beracun, yang sulit dibongkar karena dibalut dengan tawa dan kebersamaan palsu.

Fenomena ini juga diperparah oleh budaya media sosial. Di Instagram, TikTok, atau WhatsApp, kita saling melempar emoji hati, komentar manis, dan story repost bertema “sahabat selamanya”. Tapi di balik layar, ada grup lain tempat nama kita dibicarakan dengan sinis. Dunia maya menciptakan ruang yang ideal untuk bersikap palsu tanpa harus bertanggung jawab langsung. Semua jadi topeng. Semua jadi akting.

Media sosial menjadikan pertemanan sebagai pertunjukan visual. Yang penting bukan lagi kedalaman relasi, tapi seberapa sering kita muncul di story orang. Banyak yang lebih takut tidak diajak foto bareng, daripada takut disakiti secara emosional. Ketulusan menjadi barang langka, karena semua berlomba membangun citra, bukan hubungan.

Mengapa kita bisa terjebak di dalamnya? Karena kita takut berbeda, kita takut sendirian. Kita khawatir jika bersikap terlalu jujur, kita akan kehilangan “teman”. Padahal, apa gunanya punya banyak teman jika di antara mereka, kita tak tahu siapa yang tulus?

Sering kali kita diajarkan untuk “jaga perasaan orang lain”. Tapi ironisnya, ajaran ini disalahgunakan untuk membenarkan sikap bermuka dua. Kita bilang “demi kebaikan”, padahal yang sebenarnya kita jaga adalah zona nyaman dan citra diri kita sendiri. Jujur bukan berarti kasar. Justru, jujur adalah bentuk tertinggi dari penghormatan terhadap orang lain.

Dari pengalaman pribadi, saya pernah punya sahabat dekat yang ternyata justru menjadi sumber gosip tentang saya di belakang. Ia tahu semua tentang saya, dan itulah senjatanya. Awalnya saya merasa bodoh karena terlalu percaya, tapi akhirnya saya belajar satu hal penting: kepercayaan adalah mata uang paling mahal dalam pertemanan. Sekali rusak, sulit diperbaiki.

Baca Juga: Selain Pandai Bicara, Baiknya Belajar Mendengarkan

Tapi dari situ juga saya belajar memilah. Bahwa sahabat sejati bukan yang selalu ada di dekat kita, tapi yang tetap menjaga nama kita saat kita tidak ada. Bahwa lebih baik kehilangan teman palsu, daripada mempertahankan relasi yang membuat kita lelah berpura-pura.

Setiap remaja harus menyadari bahwa menjadi tulus itu tidak harus berarti disukai semua orang. Justru, saat kita jujur dan tidak bermain dua peran, orang-orang yang tulus akan tetap bersama kita dan yang palsu akan tersingkir dengan sendirinya. Kita tidak butuh banyak teman untuk bahagia. Kita hanya butuh sedikit teman yang benar-benar bisa dipercaya.

Mari hentikan budaya ini. Mulailah dari diri sendiri. Jika tidak suka, sampaikan baik-baik. Jika kecewa, bicarakan langsung. Jangan menjadi “aktor sosial” yang hebat memainkan peran, tapi lupa bagaimana rasanya jadi manusia yang jujur.

Bukan banyaknya teman yang akan menyelamatkan kita, tapi kualitas keaslian hubungan yang kita miliki. Dan keaslian itu hanya mungkin tumbuh jika kita berani menjadi diri sendiri dengan satu wajah, bukan dua.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary