
Oleh: Inggar Saputra*
”Hidup itu jangan apa-apa emosi. Hatimu nanti mudah panas. Selesaikan masalah dengan kepala dingin” Kata seorang teman. Di kesempatan lain, seorang sahabat mengingatkan ”Awas jangan dekat-dekat sama orang itu. Dia pribadi yang emosi(onal).”
Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaan lahir dan batin. Kita diberikan banyak nikmat, salah satunya emosi. Marah, senang, sedih, takut, kecewa, takjub, cemburu, benci adalah sebagian dari emosi. Semua itu ada dalam diri manusia, tumbuh bersama kepribadian yang dalam hidupnya.
Seorang psikolog Amerika Serikat, Daniel Goleman (1995) menyebut emosi sebagai dorongan untuk bertindak. Emosi muncul dalam tubuh kita, bersifat spontanitas dan sebuah sikap yang wajar. Manusia bersyukur diberikan emosi, sebab tanpa emosi kita mudah kehilangan arah hidup.
James Gross (1998) menyebut regulasi emosi, sebab emosi bisa menuntun manusia ke arah yang salah dan benar. Kita harus mengendalikan, mengevaluasi dan memodifikasi emosi agar tidak berdampak negatif dan menghilangkan logika. Seorang yang mampu meregulasi emosi akan mengubah sedih menjadi bahagia, pesimisme menjadi optimisme.
Emosi sebenarnya bagaikan pisau, dia bisa tajam dan tumpul. Emosi yang tajam membuat kita gagal mengontrol diri dan berlaku kasar. Jika ditahan dalam hati, emosi yang berlebihan mengakibatkan balas dendam tak berkesudahan. Seringkali dendam membawa dampak buruk bagi diri dan masyarakat sekitar.
Tetapi emosi bisa terasa tumpul, dan membuat kita jadi pribadi yang mulia. Ketika mendengar kabar gembira, kita tersenyum kemudian memuji Allah. Mulut kita akan mengucap tasbih, tahmid dan takbir. Semua datang dari Allah, maka emosi gembira membuat kita menundukkan hati dan bersujud.
Dalam kajian psikologi, emosi adalah sesuatu yang sangat kompleks. Ada pengalaman hidup, perilaku, pikiran, tindakan dan sisi fisiologis yang terlibat di dalam emosi manusia. Kita misalnya mudah tersenyum melihat tingkah anak kecil. Seketika wajah kita bisa ikutan marah ketika anak dipukul ibunya karena berbuat salah.
Islam mengajarkan kita sebuah cara mengendalikan emosi. Sebagai contoh, jika marah, maka kita disuruh beristigfar. Kemudian mengingat hadits Rasulullah, ”Janganlah marah, bagimu syurga” (HR. Ath-Thabrani) Marah datangnya dari setan, setan terbuat dari api yang panas. Jika masih marah, maka berwudhulah dengan air. Kemudian duduk dan tidurlah, jika hati masih dilanda rasa marah.
Betapa bijaksana ajaran Islam, mulia sekali Rasulullah membawa pesan damai. Emosi marah merupakan sesuatu yang wajar dalam merespons lingkungan sekitar. Kita marah ketika ada tindakan yang merugikan dan provokasi yang berlebihan. Ini membuat marah seringkali dimaknai negatif, tetapi ada solusinya dalam Islam.
Tak kalah menarik, Islam memiliki surat Yusuf yang menjelaskan konsep manajemen emosi dalam kehidupan seorang muslim. Nabi Yusuf dikenal sebagai pribadi unik, mampu mengubah kehidupan yang pahit menjadi kebahagiaan yang manis. Sebagai hamba Allah, nabi Yusuf hidup dan berfikir dengan konsep Islami, sehingga hati dan jiwanya tenang, pikirannya rasional.
Alim Sofyan (2017) menjelaskan bagaimana ekspresi nabi Yaqub yang sedih. Kepergian Yusuf dan saudara-saudaranya membuat sang ayah sedih dan takut. Air mata menetes, khawatir kepergian mereka membuat Yusuf dimakan serigala. Kondisi ini wajar, bagaimanapun orang tua ingin anaknya selalu dalam kondisi terbaik, sehat walafiat.
Ketakutan itu berubah menjadi amarah, rasa khawatir itu terbukti setelah Yusuf mengalami kecelakaan. Dengan sedih, saudaranya mengadu kepada sang ayah mengenai nabi Yusuf yang meninggal dimakan binatang buas. Padahal Nabi Yusuf dibuang ke sumur oleh saudaranya.
Dalam kisah selanjutnya, Nabi Yusuf diselamatkan pedagang yang lewat sumur tersebut. Dijual di kota, kemudian ada yang membelinya. Masuk istana, digoda Zulaikha dan masuk penjara akibat fitnah kepadanya. Setelah bebas, cerita berakhir bahagia, sebab nabi Yusuf diangkat jadi pejabat di istana.
Pertanyaan dasarnya, apakah Yusuf dendam kepada saudaranya? Inilah uniknya manajemen emosi Nabi Yusuf. Ketika amarah masuk ke dalam tubuhnya, beliau membiasakan dzikir kepada Allah. Emosi turun, kemudian masuk tahap memaafkan kesalahan saudara-saudaranya. Ketika maaf sudah hadir, kesabaran muncul dan membuat namanya harum sepanjang zaman.
Apa yang dialami Nabi Yusuf, kita dapat mengambil hikmahnya. Bagaimana mengingat Allah dengan dzikir, membuat hati menjadi tenang. Maaf adalah jalan terbaik menghapus sakit hati, perasaan yang terluka dan amarah. Sabar menjadi sarana terbaik agar kita tidak terbawa emosi negatif yang merugikan kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya.
*Penggiat Literasi Rumah Produktif Indonesia.