Oleh : Nur Indah Naailatur Rohmah*

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak tradisi yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Sebagai negara dengan pemeluk agama Islam paling banyak, tradisi yang dipraktikkan ini disisipkan dengan nilai-nilai keislaman. Sehingga praktik tersebut diistilahkan sebagai tradisi Islam masyarakat lokal. Setiap tradisi keislaman yang dipraktikkan di setiap daerahnya memiliki keunikan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan spirit agama kita adalah plural.

Salah satu tradisi yang unik dapat kita dapati di kepulauan Madura, Jawa Timur. Saat tiba malam ke-21 dan ke-27 atau kalau dalam penamaanya di Madura disebut “malem selekoran & petho’ lekoran” di bulan Ramadhan, pada malam ke-21 masyarakat pedesaan di Madura berbondong-bondong membuat kue semacam serabi dan dadar gulung yang kemudian disiram dengan kolak pisang atau ubi di dalamnya.

Dan untuk malam ke-27, masyarakat pedesaan pada umumnya juga tak jauh beda dengan malam ke-21 sebelumnya, hanya saja serabi itu diganti dengan beras ketan. Setelah hidangan pun jadi, maka hidangan tersebut akan dibawa ke masjid terdekat dari rumahnya yang kemudian akan dibagikan kepada masyarakat sekitar lagi ketika seusai shalat tarawih dan tadarus.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari situlah kita dapat mencicipi hidangan dari tetangga sekitar, dan secara tidak langsung juga akan ada bentuk toleransi sesama umat Islam, karena yang seperti kita ketahui bersama rasa toleransi itu timbul bukan hanya antar umat beragama tetapi juga sesama umat Islam itu sendiri. Kita bisa menghargai antar hidangan tetangga, dan dari situ maka timbul juga rasa saling berbagi antar sesama dengan mengantarkan hidangan untuk dinikmati bersama jamaah di masjid.

Entah bagaimana pemaknaan dalam menu kolak serabi dan ketan pada malam selikuran tersebut, menurut ergumentasi penduduk setempat, tradisi serabi menyambut malam selikuran ini sudah berjalan turun temurun dengan maksud menyambut malam mulia Lailatur Qadar yang jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Malam selikur menjadi sejarah yang mengingatkan umat Islam pada peristiwa turunnya Nabi Muhammad SAW dari gua Hira di Jabal Nur setelah wahyu pertamanya dari malaikat Jibril pada malam 17 Ramadan yang dikenal dengan Nuzulul Quran.

Pada malam 21 turunnya Nabi dari gua Hira ini, para sabahat menggunakan obor untuk menerangi Nabi sepanjang jalan menuju rumah. Hal ini oleh sebagian masyarakat diperingati dengan cara kirab obor di malam selikuran.

Sedangkan kue serabi sebagai ungkapan syukur menyambut Lailatul Qadar sebagaimana yang dilakukan para sahabat yang menyediakan makanan untuk Nabi sepulang dari Jabal Nur. Sehingga sampai saat ini, tradisi kue serabi masih dilestarikan di berbagai daerah di Madura.

Sisi lain yang dapat kita petik dalam pelaksanaan tradisi tersebut adalah bentuk cinta kedamaian antar bertetangga sebagai umat islam rahmatan lil ‘alamiin.

Itulah kekhasan tradisi Islam lokal yang dipraktikkan tepat pada malam ke-21 dan ke-27 pada bulan Ramadhan di pulau Madura. Tradisi ini cukup unik karena merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari