prof-ali-mahsan-mosa-2tebuireng.online—Dalam kesempatan menyampaikan materi tentang Ke-Aswaja-an kepada para Peserta Diklat Kader Pesantren Tebuireng, Sabtu (01/10/2016) di Jombok Ngoro Jombang, Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa membahas tentang makna “Islam Kaffah”. Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur tersebut menganggap bahwa Islam Kaffah adalah bersifat personal, bukan sistem kenegaraan.

Hal itu beliau ucapkan sebagai bantahan atas paham radikal yang mengatakan bahwa Islam Kaffah tidak hanya masuk pada bidang akidah dan akhlak melainkan juga syariah. Bagi mereka, lanjut beliau, Islam Kaffah adalah membentuk sistem kenegaraan yang berdasarkan syariah, tidak hanya mengimani dan beribadah saja.

Menurut beliau, makna Islam Kaffah yang tepat adalah menjadi pribadi muslim yang taat secara personal, sedangkan sistem kenegaraan tidak harus menerapkan syariah secara total. Ayat mengenai perintah menjadi muslim Kaffah memiliki mukhatab (sasaran ayat) “orang” bukan “negara”. Di dalam kitab-kitab tafsir yang beliau baca, tidak ada satupun yang mengatakan bahwa ayat tersebut menunjukkan “negara” melainkan “kamu” dalam arti orang atau manusia.

“Yang Kaffah secara totalitas itu orangnya, maka tidak ada hubungannya dengan syariat, hubungannya pada aqidah dan akhlak,” jelas Guru Besar Psikologi Unair itu. Beliau menegaskan jika yang dimaksud dengan udkhulu fi silmi kaffah pada surat al Baqarah ayat 208 adalah masuk agama Islam dengan menuhankan Allah, maka haram untuk menduakan-Nya atau disebut dengan perbuatan syirik.

Hal itu selaras dengan tiga prinsip dasar keislaman, yaitu tawasuth, i’tidal, dan tawazun. Tawasuth adalah bersikap tidak esktrim dan tatharuf (keras), atau disebut dengan ummatan wasathan, umat yang moderat. Menurut beliau islam itu bersikap wajar, tidak berlebihan dan tidak berkekurangan, atau disebut dengan tawazun, seimbang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketika ditanya soal tantangan Aswaja di era globalisasi, beliau mengatakan bahwa perosalan utamanya adalah keengganan untuk mewariskan Aswaja kepada anak cucu. Beliau menyayangkan banyak tokoh NU yang anaknya kurang didik secara pesantren, karena bagi beliau NU adalah sebuah pesantren besar. Beliau mengutip kata mutiara Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, “Siapa yang mengurus NU, maka dia adalah santriku”. (Abror)