
Keberadaan dan kemasifan teknologi membawa angin segar dalam banyak lini kehidupan, salah satunya dibidang informasi, Pendidikan, bisnis, dakwah, serta banyak hal lain yang memudahkan. Namun juga tidak lupa kita mengakui, di balik tawaran menggemaskan itu, kita juga dihadapkan pada hal-hal yang mengancam, termasuk dalam keamanan pribadi hingga psikologis seseorang.
Kemudahan yang membawa sisi gelap yang semakin mencemaskan, salah satunya meningkatnya kasus pelecehan digital. Bentuknya beragam, dari komentar bernada seksis, body shaming, hingga penyebaran konten intim tanpa izin. Ironisnya, ruang yang seharusnya memberdayakan justru kerap menjadi ladang subur kekerasan berbasis gender dan kekuasaan sosial.
Fenomena ini tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan individu, tetapi perlu ditelaah dalam kerangka sosial yang lebih luas. Dengan menggunakan pendekatan teori-teori sosial seperti Teori Konstruksi Sosial (Berger dan Luckmann) dan Teori Kekuasaan (Michel Foucault), kita dapat memahami bahwa perilaku online bukan semata-mata refleksi dari kepribadian pribadi, tetapi merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh norma, struktur kekuasaan, dan ketimpangan relasi dalam masyarakat.
Baca Juga: Tebuireng sebagai Pelopor Literasi Digital Berbasis Pesantren
Mau tidak mau kita menyadari, bahwa media sosial adalah panggung digital yang terbuka, namun minim regulasi dan etika. Ketiadaan batas fisik membuat banyak orang merasa bebas dari konsekuensi hukum dan sosial atas tindakannya. Barangkali inilah yang disebut salah satu sosiolog, sebagai “panoptikon terbalik” orang tidak merasa diawasi, tetapi justru merasa bebas mengawasi dan menghakimi yang lain.
Dalam konteks ini, pelecehan digital sering kali dilanggengkan oleh relasi kuasa antara yang merasa memiliki otoritas sosial (pria terhadap perempuan, mayoritas terhadap minoritas, selebritas terhadap penggemar, dan seterusnya). Kekuasaan dalam dunia digital bukan lagi berbasis status formal, tetapi pengaruh (followers, likes, komentar), sehingga banyak pelaku merasa memiliki “kuasa” atas korban hanya karena memiliki akses terhadap ruang publik.
Menurut teori konstruksi sosial, segala bentuk realitas sosial merupakan hasil interaksi sosial yang terus menerus, termasuk perilaku kekerasan. Dalam banyak kasus, tindakan pelecehan di media sosial diremehkan atau bahkan dianggap “wajar”. Misalnya, perempuan yang mengunggah foto dianggap “mengundang”, atau seseorang dari minoritas agama yang bersuara dianggap “pantang bicara”.
Inilah bentuk dari normalisasi kekerasan digital. Masyarakat secara kolektif membentuk justifikasi dan pembenaran yang membuat pelaku merasa tidak bersalah, bahkan merasa didukung oleh komunitas. Lebih parah lagi, korban kerap mendapatkan stigmatisasi, menyalahkan diri sendiri, atau bahkan memilih keluar dari ruang publik digital sebagai bentuk perlawanan pasif.
Lemahnya Regulasi dan Minimnya Literasi Digital
Salah satu faktor penyumbang suburnya pelecehan di media sosial adalah lemahnya regulasi dan minimnya literasi digital. Banyak korban tidak tahu ke mana harus melapor, atau justru tidak percaya pada sistem hukum yang ada. Di sisi lain, pelaku merasa terlindungi oleh anonimitas dan sulit dilacak secara hukum.
Baca Juga: Semangat Dakwah, Santri Harus Paham Literasi Digital
Hukum di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih belum mampu mengejar cepatnya transformasi digital. UU ITE misalnya, lebih sering digunakan untuk membungkam kritik dibanding melindungi korban pelecehan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara perkembangan teknologi dan kesiapan sistem sosial-politik dalam menanggulangi efek negatifnya.
Dampak pelecehan digital tidak kalah berat dibanding pelecehan fisik. Banyak korban mengalami gangguan kecemasan, trauma, penurunan harga diri, hingga depresi berat. Sayangnya, karena sifatnya yang “tidak fisik”, pelecehan digital sering diabaikan dan diremehkan.
Secara sosial, pelecehan digital juga berdampak pada demokratisasi ruang publik. Ketika suara-suara perempuan, kelompok minoritas, atau aktivis dibungkam lewat kekerasan verbal dan psikologis, maka ruang digital kehilangan fungsi dasarnya sebagai arena dialog yang setara dan sehat. Ketimpangan ini membuat media sosial menjadi arena konflik, bukan kolaborasi.
Pelecehan di media sosial adalah gejala dari masyarakat yang masih belum sepenuhnya sehat dalam memandang perbedaan, kuasa, dan kebebasan berekspresi. Teknologi bukan penyebab utama, tetapi menjadi medium yang memperbesar masalah yang sudah ada di dunia nyata.
Baca Juga: Menyoal Literasi Digital di Pesantren
Oleh karena itu, solusi tidak hanya bergantung pada teknologi atau negara, tapi pada kesadaran kolektif kita sebagai pengguna media sosial. Kita harus mampu menciptakan ruang digital yang lebih inklusif, empatik, dan adil. Membungkam pelaku bukan berarti menghilangkan kebebasan berekspresi, justru kita sedang menjaga kebebasan itu agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Jika media sosial adalah cermin masyarakat, maka pelecehan digital adalah retakan yang harus segera kita perbaiki, bersama-sama.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary