Sumber gambar: http://www.tintahijau.com

Oleh: Rara Zarary*

Aku menatap jauh ke seberang, ada purnama Ramadan mengintip dari bilik kerinduan, kesendirian, dan kebisingan. Di halaman rumah jatuh reranting yang mengering, damar talpek tak menyala, dan rumah ini hanyalah petanda bahwa masih ada aku dan saudara-saudara yang bernafas dengan terbata-bata.

Sungguh, aku telah direnggut kenangan. Semua sejauh sejarah berpijak, kuhitung sejak 7 kali Ramadan tak kutemui jua seorang lelaki yang pergi tanpa sebuah permisi. Dan malam ini, aku melihat kesaksian rintihan-rintihan bocah yang tak pernah ditemui ayahnya, di antara rukuk sujud para tetua yang sudah kehilangan tenaga.

Aku ingin mengenang tanpa air mata tergenang. Aku ingin mendoa tanpa harapan lebih tinggi dari usaha dalam dada. Aku ingin, ingin segala menjadi bagian yang masih biru dan tak usah ada kabar tentang luka duka seperti hari-hari yang lalu. Sebab, aku merindukan surga yang pernah ia ciptakan di antara kami, di rumah sederhana yang berhias lafad-lafad Tuhan dan kekasihNya yang terus kami pandang dengan penuh air mata.

Tak ada yang berubah, selain sebuah harapan yang semakin hari menemukan kejenuhannya, tak ada yang kecewa kecuali ia yang setiap waktu berusaha dan tak pernah tahu mendapat hasilnya. Aku tidak dan belum pernah mengerti tentang hidup sejauh ini, aku tidak paham, ke mana dan pada siapa aku harus belajar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aku hanyalah bagian yang pernah menjadi saksi sebuah setia dalam keberadaan, bagian yang paling tak rela jika akhirnya ada yang pergi tanpa pesan atau sebuah ucap beberapa kata, karena bagiku, sejatinya hidup adalah datang dan pergi dengan sebuah tanda, bukan dengan kesia-siaan yang hanya akan membuat orang lain bertanya dan mencari keberadaannya yang barangkali memang sengaja pergi untuk meraih kebahagiaan sendiri.

Aku adalah seseorang yang kadang kurang mengerti pada sebuah impian yang sudah dipercaya tidak akan pernah menemukan jalan namun dipaksa untuk berjuang. Iya, berjuang untuk mendapatkan yang sudah hilang atau sudah terlanjur dimiliki orang.

Seperti seorang lelaki, yang dengan hormat kami panggil dengan sebutan ‘ayah’, telah memilih pergi ke rumah lain. Rumah seorang perempuan yang mungkin memiliki kebahagiaan lebih baik dari pada yang pernah ibu kami tawarkan, ibu usahakan, dan ibu perjuangkan. Begitulah semua hal yang dulu aku cintai kini menjadi sebuah kebencian yang benar-benar menguasasi isi hati.

Aku mencintai ayahku, pun adik-adikku yang masih merangkak dan mengeja aksara di bangku TK. Tak terlewat, cinta pada seorang ibu yang dengan darah memperjuangkan kami untuk hidup meski tak mewah. Kami adalah keluarga kecil, sederhana, tetapi penuh cinta dan bahagia. Hingga entah apa, yang akhirnya membuat seorang ayah memilih pergi dari kami, pergi di subuh gelap, pergi saat kami semua tertidur pulas dan bangvun dengan mimpi terburuk sebuah kehilangan atas pengkhianatan.

Ibu tak pernah mencari lagi setelah ia tahu bahwa ayah pergi karena perempuan lain, kami tak pernah ingin pergi menemui. Yang bisa kami lakukan hanyalah menangis setiap kali Ramadan datang dan Idul Fitri dengan kumandang takbir bersambutan. Sebab, di hari itu, kami telah merasa berbeda dengan keluarga yang lain, dengan kehidupam orang lain. Barangkali di antara tangis yang tumpah, di sana ayah kami tertawa penuh rekah. Doa kami pada Tuhan, “Semoga ayah terus bahagia dengan apa yang dipilihnya.”

Ibu tak pernah mengajarkan kami soal kebencian, ibu malah dengan lapang dada penuh ikhlas membiarkan, menyuruh kami untuk menerima nasib buruk ini sebagai sebuah ujian dan teguran dari Tuhan. Dengan lembut, kebencian kami pada ayah ibu obati dengan pelukan yang tak pernah lekang dan terus dengan doa baik yang ruah.

Aku semakin mencintai ibuku. Sejak saat itu, aku tahu, pada siapa dan ke mana aku harus belajar tentang kehidupanku. Untuk siapa aku harus berjuang dan yakin mendapatkan hasil dari usaha-usaha yang telah aku lakukan untuk dipersembahakan pada ibu.

Aku tahu, bahwa membenci hanya akan membuat rusak hati. Dan aku, tak mau cintaku pada ibuku dirusak oleh rasa lain yang akan membuat kami jauh dari kebahagiaan hakiki.

Untuk ibu,

Terima kasih telah mengajarkan banyak hal dalam kehidupan ini. Terima kasih terus memeluk kami dengan cinta, mengajarkan kami tentang kelembutan dan ikhlas serta harus terus berlapangdada. Aku tahu ibu, bahwa yang paling berat menerima kenyataan ini adalah kamu. Yang dikhianati oleh seorang lelaki yang pernah mengikat janji. Aku tahu, yang berhak mengangis adalah kamu, tetapi kau memilih tersenyum dan tetap menjaga agar kami terus baik-baik saja.

Untuk yang terhormat, lelaki yang kami sebut ayah,

Terima kasih telah pernah menciptakan surga di antara kami. Telah pernah menjadi bagian paling berarti. Telah berhasil mengajari aku berhitung hingga mengendarai sepeda ontel untuk bisa mandiri berangkat sekolah, hingga katamu, suatu saat aku bisa menjadi lelaki tangguh yang lebih dari apa yang pernah terjadi padamu. Terima kasih, untuk semua yang pernah ada dan kau berikan. Selebihnya, biar Tuhan yang menghakimi apa yang sudah engkau lakukan pada kami di sini. Berbahagialah dengan orang-orang terpilih yang kau sebut sebagai surga baru di dunia ini.

Sekali lagi Tuhan, “Jagalah baik-baik ayah kami.”


*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura. Menulis antologi puisi dan cerpen dalam beberapa buku: Menghitung Gerimis, Hujan Terakhir, Hujan & Senja Tanah Rantau.