
Namanya Zahra, santri putri dari sebuah pondok di Jawa Timur. Ia tenang, pintar, dan pandai menyembunyikan luka. Pernah suatu hari, saat ikut lomba tahfidz tingkat provinsi, ia duduk di barisan depan, menunggu giliran dengan tenang. Di situlah, tanpa sengaja, matanya bersitatap dengan seorang peserta laki-laki. Lelaki itu membawa mushaf dengan sampul kulit dan tasbih kayu cendana di tangannya. Mereka hanya bertukar senyum ringan, tak menyangka bahwa pertemuan singkat itu akan menjadi takdir panjang.
Beberapa tahun berselang, pesantren mereka mengadakan program taaruf santri senior. Zahra hampir menolak ikut, namun nama seorang ikhwan mendadak membuatnya diam: Ridwan Al-Ashary. Ia tak pernah lupa nama itu. Nama yang disebut sebagai juara pertama lomba tahfidz—lelaki dengan tasbih cendana dan suara merdu yang dulu pernah sekilas hadir dalam hidupnya.
Dan benar saja, setelah proses yang singkat namun berlandaskan istikharah dan restu para guru, Zahra dinikahkan dengan Ridwan.
Malam pertama pernikahan mereka bukan di hotel mewah, melainkan di kamar sederhana di rumah keluarga Ridwan. Tapi malam itu penuh tawa, penuh cerita tentang masa-masa nyantri, tentang lomba tahfidz, dan diam-diam Ridwan mengeluarkan selembar kertas, lusuh tapi penuh makna.
Surat tangan Ridwan, ditulis rapi dalam tulisan Arab Pegon:
“Zahra, aku ingin menjadi lelaki yang bisa kamu ajak ngobrol tentang ayat cinta dan rute pendakian. Bila kelak hidup ini mendaki bersama lelah, aku siap jadi tongkatmu. Bila kau ingin ziarah ke makam-makam wali, mari kita bertawasul bersama. Bahkan kalau kamu pengin ikut aku masak di dapur, ayo, kita tumis cinta ini di penggorengan doa. Terimalah, bukan hanya aku, tapi hidup bersamaku.”
— Ridwan, 12 Rabiul Awal
***
Hari-hari setelah itu seperti puisi. Mereka sering ndaki ke bukit kecil di belakang pondok, membawa bekal seadanya dan mushaf di tas carrier mereka. Kadang malam-malam mereka ziarah ke makam ulama, tangan Zahra menggenggam tangan suaminya erat-erat sambil membaca tahlil. Di dapur, Ridwan suka bereksperimen, memasak nasi goreng rempah sambil Zahra tertawa karena kecapnya sering tumpah.
Suatu kali mereka bercita-cita ke Mekkah bareng. “Kalau Allah takdirkan,” kata Ridwan, “aku ingin sujud di depan Ka’bah bersamamu, membaca surah Yusuf ayat terakhir.” Zahra hanya mengangguk, memeluknya dengan doa panjang yang tak ia tahu sedang ia kirimkan untuk sebuah kehilangan.
Namun ada satu kejadian yang tak akan pernah dilupakan Zahra. Pada pagi itu, sebelum berangkat ke seminar tahfidz, Ridwan meminta izin untuk mampir ke toko emas. Ia mengatakan, “Aku ingin membeli sesuatu untukmu, Zahra. Sebagai hadiah ulang tahunmu yang sebentar lagi datang.” Zahra hanya mengangguk, tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi hari terakhirnya bersama Ridwan.
Ridwan membeli sebuah cincin emas cantik yang tertutup dalam kotak kecil yang elegan. Ia membelinya dengan penuh kebahagiaan, seolah tahu bahwa hadiah itu akan menjadi kenangan terakhir untuk Zahra. Setelah itu, Ridwan melanjutkan perjalanannya untuk menghadiri seminar tahfidz, tetapi tak lama setelah itu, kecelakaan tragis menimpa dirinya. Mobilnya ditabrak truk dari arah berlawanan, dan Ridwan tak sempat mengucapkan selamat tinggal.
Zahra datang terlambat. Ia hanya melihat tubuh suaminya tertutup kain putih, wajah yang dulu membaca ayat-ayat cinta kini sunyi, damai. Namun saat tangannya menyentuh tas suaminya yang tergantung di sisi tempat tidur rumah sakit, ia menemukan kotak emas itu, terjatuh dan terbuka. Cincin emas di dalamnya berkilauan, namun bukan itu yang membuat hatinya terhenti. Di bawah cincin itu, ada sebuah surat kecil dari Ridwan.
“Zahra, maafkan aku karena tidak bisa merayakan ulang tahunmu bersamamu. Aku ingin kau tahu bahwa meskipun dunia ini sementara, cintaku padamu akan kekal. Ini bukan hanya hadiah, ini adalah doa dan harapanku, semoga kau selalu bahagia di dunia dan akhirat. Jika Allah takdirkan kita berpisah lebih cepat, semoga cintaku akan mengiringi langkahmu sampai kita bertemu lagi.”
Tetes air mata Zahra jatuh, menetes di atas surat itu. Suaminya telah pergi, namun cintanya tetap hidup dalam kenangan dan hadiah yang terbungkus dalam kotak emas itu. Saat itu, Zahra tahu bahwa cinta mereka tak akan pernah hilang. Ia masih akan mendaki, masih akan berziarah, dan meskipun sendirian, ia tahu Ridwan selalu ada dalam setiap langkahnya.
Penulis: Wan Nurlaila Putri