
Sebejat-bejat orang tua pasti tetap ingin menjadikan anaknya soleh. Serusak apa pun orang tua tetap menginginkan putra-putrinya menjadi putra yang bagus. Dalam hal ini putra putri yang shalih dan shalihah yang punya karakter Qur’ani. Karena gagasannya adalah berkarakter Qur’ani, maka mau tidak mau harus merujuk pada Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberikan isyarat bahwa membentuk anak yang berkarakter Qur’ani itu tidak saja ketika anak itu lahir, tapi sejak ia belum dilahirkan. Saat belum lahir pendidikan anak disalurkan melalui doa. Seperti yang dilakukan tertera di dalam Al-A’raf yang berbicara tentang bagaimana Sayyidina Adam a.s. dengan Ummuna Hawa. Kala itu Ibu Hawa sedang mengandung ringan.
فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِیفࣰا فَمَرَّتۡ بِهِ
Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan.
Yang dilakukan oleh Ibu Hawa yakni dengan melakukan jalan-jalan pagi. Hal itu oleh WHO disarankan karena dapat memperlancar proses kelahiran. Sangat jelas bahwa Al-Qur’an lebih mendahului dari pada WHO.
Ketika sudah hamil tua,
فَلَمَّاۤ أَثۡقَلَت دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنۡ ءَاتَیۡتَنَا صَـٰلِحࣰا لَّنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّـٰكِرِینَ
kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka (seraya berkata), “Jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentulah kami akan selalu bersyukur.”
Ibu Hawa tidak lagi melakukan kurikulum bumi, melainkan meningkatkannya menjadi kurikulum langit, yakni berdoa. Sayyidina Adam dan Siti Hawa mendownload situs langit untuk membentuk anaknya menjadi bagus. Dengan berdoa terhadap janin yang belum tahu apa-apa.
Maka dari itu, pendidikan anak berdasar Al-Qur’an dilakukan dua kurikulum, yakni kurikulum bumi yang didefinisikan oleh Al-Qur’an dengan kalimat فَمَرَّتۡ بِهِۦ. Ditambah kurikulum langit yang tergambarkan dengan redaksi دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنۡ ءَاتَیۡتَنَا صَـٰلِحࣰا. Lalu betulkah doa itu bisa ditangkap dan bisa pengaruh kepada janin?
Tahun 1975 seorang ilmuwan Perancis melakukan penelitian pendidikan prenatal (kandungan). Salah satu objek penelitiannya adalah masyarakat Jawa. Dia menemukan acara ritual yang tidak ada di Perancis, yaitu acara tingkepan. Dia mendapati bahwa acara tersebut bertujuan untuk mendoakan janin agar menjadi bagus, sehat, dan lain-lain. Sarjana Perancis yang membaca Tingkepan ini dengan rasionalitasnya, tentu saja langsung ingkar. “Ndak mungkin, kok mau membentuk anak bagus kok didoakan seperti itu”.
Ketika pulang menghadap ke dosen pengampu, ditanya apa yang baru kamu temukan di Indonesia? Dia mengatakan ada acara tingkepan. Justru guru besar itulah yang tertarik. Akhirnya sarjana itu disuruh memilih untuk melanjutkan penelitian di Indonesia atau meneliti di daerahnya sendiri. Sang sarjana ternyata malah memilih meneliti di daerahnya sendiri dengan sampling 20 ibu hamil. Ibu yang sedang hamil ini semuanya dikasih kurikulum prenatal. Waktu itu masih menggunakan tap recorder. Semuanya dikasih pendidikan prenatal.
Salah satu dari ibu itu diberikan pendidikan bahasa Inggris. Rekaman tap kecil itu diperdengarkan di perut ibu itu. Ada speaking, conversation, dan nyanyian yang serba Inggris. Begitu melahirkan semua data temuan dicatat dan dipantau hingga usia sekolah dasar. Ternyata anak tersebut nilai bahasa inggrisnya 10% lebih tinggi dari semua anak di kelasnya. Maka terbuktilah janin itu bisa mendengar, bisa menerima pelajaran, apalagi doa.
Dengan demikian apa yang akan kita lakukan jika ilmuwan sudah membenarkan bahwa janin yang masih dalam kandungan bisa dididik. Itu artinya sebelum kita mendidik secara zahir, maka didasari kurikulum langit itu bagus.
Khutbah ini memberikan pesan agar ketika hamil jangan sering-sering nongkrong di depan tv mendengarkan dangdutan, jogetan, dan lain-lain. Ketika dia akan dibentuk menjadi anak yang shalih, maka pendidikan diserahkan kepada lingkungan, ibu dan bapak, sekolahan. Silakan dibuat kurikulum yang bagus. Tetapi tetap saja menjadikan anak yang benar diarahkan kepada dua bahasa.
Ibrahim menggunakan dua bahasa ketika berdoa untuk anak-anaknya. Pertama menggunakan kata halim,
فَبَشَّرۡنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِیمࣲ
Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat benar. (Surat Ash-Shaffat: 101)
Halim itu anak yang benar. Sementara di ayat lain ia menggunakan kalimat ‘alim,
وَبَشَّرُوهُ بِغُلَـٰمٍ عَلِیمࣲ
mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim.
Jadi karakter anak yang sesuai dengan Al-Qur’an itu halim (benar) dan ‘alim (pintar). Keduanya sama-sama dibutuhkan. Andai saja orang tua itu disuruh milih satu. Antara anakmu itu pintar tapi ndak benar, atau benar tapi tidak pintar. Menurut arahan dari surah ini adalah lebih baik benar dari pada tidak pintar. Alasannya, benerno wong pinter itu jauh lebih sulit. Tapi kalau minterno wong bener itu mudah.
Para sahabat juga memberikan gambaran bagaimana mendidik anak. Salah satunya yakni Umar Ibn Khattab. Di rumahnya ada semacam cambuk kecil yang digantungkan di pintu. Gunanya untuk memecuti anaknya ketika sudah tidak memungkinkan dinasehati dengan berbagai cara. Cambuk itu bukan bentuk kekerasan, tapi untuk mendisiplinkan anak. Sekali lagi agar disiplin, bukan kekerasan.
Bagaimana Hadraturrasul menangani anak yang masih belum mengerti dan belum disiplin? Dan bagaimana Hadaturrasul di rumah tangganya sendiri bisa memproduk anak yang bagus? Ada seorang anak kecil yang disuruh oleh ibunya untuk mengirim hadiah anggur ke Hadraturrasul. Karena dia tergiur dengan kelezatan anggur yang dibawanya, oleh sang anak anggur itu dimakan sambil jalan.
Begitu disampaikan ke Rasul, beliau tahu bahwa anggurnya berkurang. Akhirnya ia disanksi fisik, dipegang tangannya sebagai bentuk teguran kedisiplinan. Bukan kekerasan, tapi disiplin. Sayyidana Anas sejak kecil mengabdi kepada Rasul, satu hari diminta membeli sesuatu, namun anehnya tidak lekas datang. Ternyata Anas kecil main bola dengan teman-temannya. Begitu melihat Anas, Rasul memegang telinga Anas sambil menegur. Bukan kekerasan, tapi disiplin.
Sayyidina Usamah ibn Zaid ibn Haritsah keponakan dari mantan budaknya. Pendidikan kepada cucu mantan budaknya ini dilakukan dengan disiplin. Di umur 18 Usamah sudah mempu menjadi panglima perang. Sahabat-sahabat besar ada, tapi saat itu Rasul ingin menunjukkan hasil dari pendidikannya sendiri, yaitu Usamah.
Dari sini jelas bahwa pendidikan anak Hadraturrasul itu berkarakter Qur’ani. Yang mengedepankan halim (benar) dari pada ‘alim (pintar).
*Tulisan ini disadur dari Khutbah KH. Musta’in Syafi’i di Masjid Al-Akbar. Ditranskip oleh Yuniar Indra Yahya (Mahasantri Tebuireng).