ilustrasi slametan

Apapun event-nya, bahagia maupun duka, acaranya tetap sama, slametan. Ya, begitulah orang Jawa. Slametan merupakan perjamuan yang dibuka dengan pembacaan doa. Orang Jawa melakukan itu dalam rangka bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menjadi simbol keikhlasan untuk melepas kematian seseorang.

Selain itu, slametan juga menjadi corak kesatuan spiritual dan sosial. Rangkaian acaranya mengandung unsur gotong royong (rewang, mbiyodo), doa, dan sedekah. Slametan mengajarkan seseorang untuk tidak pamrih dalam memberi. Oleh karena itu, orang Jawa menganggap budaya tersebut bernilai positif dan wajib untuk dilestarikan.

Melihat dari rangkaian acaranya, slametan memang budaya yang positif. Bahkan dianjurkan dalam syariat. Banyak ayat atau hadis yang menjelaskan anjuran menjamu orang, sedekah, gotong royong, apalagi berdoa.

Kritik Rangkaian Acara Slametan

Perjamuan

Kalau bicara slametan, pertama kali yang terlintas di benak orang Jawa adalah makan-makan. Maklum karena budaya tersebut sangat identik dengan perjamuan. Misal, Mitoni (slametan saat janin berusia 7 bulan), Neloni (slametan saat janin berusia 3 bulan) dan Brokohan (slametan bayi yang baru lahir).

Perjamuan yang menjadi salah satu rangkaian slametan akan menjadi permasalahan bagi mereka yang kurang mampu. Padahal bagi mereka slametan sangatlah penting. Bahkan sebagian menganggap mengabaikan slametan akan mendatangkan bencana. Alhasil demi slametan mereka rela terlilit hutang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maka, sebaiknya rangkaian slametan tidak wajib ada perjamuan. Itu untuk menghindari kesenjangan budaya antara yang kaya dan yang miskin. Toh, kalau melihat dari latar belakang slametan sebagai simbol bersyukur dan keikhlasan, kiranya cukup tanpa adanya perjamuan. Imam Baghawi mengatakan:

يَعْنِي وَاشْكُرُوا لِي بِالطَّاعَةِ وَلَا تَكْفُرُوْنِي بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِنَّ مَنْ أَطَاعَ اللهَ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ عَصَاهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Artinya: “Maksud (ayat syukur), adalah: ‘Bersyukurlah kepada-Ku dengan ketaatan, dan janganlah kalian ingkar kepada-Ku dengan maksiat’. Sungguh orang yang taat kepada Allah maka ia sudah bersykur, dan orang yang bermaksiaat kepada-Nya maka ia telah ingkar.” (Baghawi, Tafsîrul Baghawi, (Dâruth Thayyibah: 1997) juz. 1 hal. 168)

Bentuk ketaatan tidak hanya dengan menjamu orang. Bisa dengan zikir dan membaca doa. Bahkan itu akan lebih relevan, demi menghemat waktu dan tidak merepotkan. Menimbang orang yang datang tidak semua waktunya luang.

Begitupula dengan ikhlas. Orang dikatakan ikhlas sebenarnya tidak perlu disimbolkan dengan perjamuan. Ikhlas perihal rela. Para dai biasanya menggambarkan ikhlas seperti orang yang buang air. Setelah buang air, seseorang tidak akan ingat dan mengungkit berapa banyak kotoran yang ia buang.

Menghilangkan perjamuan bukan berarti menghilangkan budaya slametan. Itu karena fungsinya sebagai ungkapan rasa syukur dan ikhlas tetap ada. Merubah sistem bukan berarti menghilangkan progam.

Diadakan di Jalan Umum

Slametan lumrahnya dilakukan di rumah orang yang mengadakan. Namun tidak menutup kemungkinan dilakukan di tempat lain seperti mushola dan masjid, lantaran lokasi yang kurang memadai.

Yang perlu diperhatikan adalah acara slametan yang sampai memakan tempat umum, seperti jalan raya, sehingga menggangu lalu lintas. Sebagai mana terjadi di kawasan Kembangan, Jakarta Barat.

Benar slametan adalah hal yang positif, tapi kalau dilakukan dengan cara yang salah maka itu tidak bisa dibenarkan. Imam Jalaludin As-Syuyuti dalam kita Asbah Wa Nadhoir menyebutkan kaidah fikih yang berbunyi:

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

Menghindari kerusakan lebih baik daripada menarik kemaslahatan.”

Hal itu sesuai hadis Nabi Muhammad saw.:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ» قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ(رواه البخاري و مسلم)

Artinya: “Dari  Abu  Sa’id al-Khudri ra., Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi duduk-duduk di pinggir jalan. Para Sahabat berkata: “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap”. Rasulullah SAW berkata: “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan”. Sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)”  (Hadits  di atas diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Isti’dzan bab Bad’u Salam no. 6229 dan Muslim dalam kitab Salam bab Min Haqqi Julus ‘Ala Thariqi Raddi Salam no. 2161)

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa meninggalkan duduk di pinggir jalan umum diutamakan karena menimbulkan mafsadat (permasalahan) berupa; mencegah lalu lintas. Meskipun dengan duduk dipingir jalan membicarakan ilmu. (Al-‘Usaimin, Sarh Al-Mumta’ Ala Zadil Mustasfa’ (Sameela) hal. 255)

Sound System yang Tidak Ramah

Beberapa acara slametan ada yang melibatkan sound system, seperti tahlilan memperingati kematian sesorang. Terkadang sound system tersebut begitu keras sampai menggagu orang lain. Apalagi kalau ada tentangga yang non muslim. Hal tersebut tidak dibenarkan meskipun apa yang dibaca ada doa atau ayat suci Al-Quran.

Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin menjelaskan:  

لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء

Artinya: “Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dihentikan. Sama halnya adengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang sembahyang. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya.” (Ba’alawi, Sayyid Abdurrahman, Bughyatul Mustarsyidin, (Beirut: Darul Fikr:1994), hal. 108)

Demikian ulasan singkat tentang kritik pelaksanaan slametan. Jika ingin berbenah, maka kurangilah mafsadah. Salah satu jalan terbaik bisa dengan musyawarah dengan Masyarakat dalam menyelesaikan problem di atas.

Ditulis oleh Achmad Bissri Fanani, Mahasantri Mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2