Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari mengalami dua fase belajar di Tanah Haram. Pertama setelah menikah dengan Nyai Nafisah putri Kiai Ya’qub Siwalan Panji sampai sang istri dan sang putra, Abdullah meninggal. Kepedihan itu membuat Kiai Hasyim pulang ke tanah air.

Keberangkatan kedua terjadi saat beliau merasa rindu terhadap tanah suci. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu.

Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.

Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun, setelah pulang Kiai Hasyim sempat ingin berangkat lagi ke Mekkah al Mukarramah, namun urung terjadi. Apa gerangan penyebabnya? Ada kisah menarik mengenai keputusan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari untuk tetap tinggal di Indonesia (tidak menetap di Mekkah) yang tidak termuat dalam lembaran buku-buku sejarah. Berikut adalah sebagaimana yang pernah dituturkan oleh al-Habib Ahmad bin Abdullah Alattas Bojonegoro.

Alkisah setelah Kiai Hasyim Asy’ari lama belajar agama di tanah suci beliau pulang ke Indonesia. Namun setelah beberapa waktu tinggal di Indonesia, beliau merasa tidak kerasan dan ingin kembali ke tanah suci. Di sana majelis ilmu hidup, tiap hari bisa menimba ilmu langsung dari para ulama Allah yang mutafannin (ahli dalam berbagai bidang ilmu agama), bisa beribadah dengan pahala yang berlipat-lipat, bisa hidup bersama-sama ahli ibadah dan ahli ilmu.

Tentu saja, keadaan itu sangat menyenangkan para ahli ilmu dan ahli khair (kebaikan). Sangat bertolak-belakang dengan keadaan di Indonesia yang carut-marut, banyak maksiat dan sepinya majelis ilmu serta kurangnya keinginan orang-orang untuk bertafaqquh fiddin (mendalami dan mengamalkan ilmu agama). Apalagi pergolakan politik dan ekonomi yang berantakan akibat penjajahan Belanda yang super kejam.

Beliau lalu mengkabarkan ‘azamnya (keinginan) ini kepada keluarga dan teman-teman dekat beliau. Ketika berita ini didengar oleh al Habib Abdullah Alattas (ayah dari Habib Ahmad Alattas, beliau adalah sahabat dekat dari Kiai Hasyim Asy’ari), maka langsung saja sang habib berangkat ke Jombang bersama al- abib Ahmad (yang waktu itu masih kecil) menuju Tebu Ireng untuk menemui Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Al Habib Ahmad menuturkan bahwa pada saat itu, beliau tidak diperkenankan masuk oleh ayahandanya, tetapi disuruh menunggu di luar ruangan (namun beliau bisa melihat dan mendengar isi pembicaraan kedua ulama ini). Beliau melihat tas-tas yang sudah dikemas/diikat siap untuk dibawa pergi.

Pada saat itu al Habib Abdullah mengambil posisi duduk di hadapan Kiai Hasyim Asy’ari dengan kaki yang saling menempel sambil berkata (yang intinya), “Ya Syaikh, ilmu Njenengan (Anda) itu sangat diperlukan di sini. Kalau jenengan kembali ke Tanah Suci, di sana sudah banyak orang alim. Ilmu jenengan tidak begitu diperlukan di sana. Indonesia sangat butuh ulama seperti jenengan!”

Mendengar apa yang disampaikan oleh al-Habib Abdullah Alattas ini lalu KH. Hasyim Asy’ari menangis kemudian merangkul beliau dan mengurungkan keinginannya untuk kembali tinggal di tanah suci. Kalau saja sang habib tidak bertamu dan meminta beliau untuk tidak berangkat, Kiai Hasyim bisa jadi akan menjadi ulama besar di Mekkah, seperti halnya Syaikh Mahfudz Tremas. Dan tentunya tidak akan berdiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng. Wallahu A’lam.


Sumber: https://www.dutaislam.com/2017/10/ketika-mbah-hasyim-asyari-dicegah-habib-abdullah-alattas-tinggal-di-tanah-suci.html

Buku Profil Pesantren Tebuireng