Ilustrasi (sumber: republikaco)

Terdapat salah satu kitab yang menjadi primadona di kalangan santri pondok pesantren yang ada di Indonesia. Kitab tersebut adalah Nadham Alfiyah Ibn Malik, yang mana kitab tersebut adalah satu dari sekian banyak kitab yang menjadi materi wajib pelajaran bagi para santri yang hendak menguasai gramatika Arab untuk penunjang keahlian membaca kitab kuning.

Nama kitab tersebut, sejatinya diambil dari nama sang pengarang yakni Syaikh Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik, yang merupakan seorang ulama terkemuka ahli gramatika bahasa Arab dan berasal dari Negara Andalusia (saat ini Spanyol).

Baca Juga: Keutamaan Ilmu Nahwu dalam Khazanah Keilmuan Islam

Kitab Alfiyah ibn Malik sendiri merupakan ringkasan dari kitab al-Kafiyah asy-Syafiyah yang mendapatkan banyak sekali pujian dari para ulama. Selain itu Syaikh Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî, dalam penyusunan kitab Alfiyah ini memiliki sebuah cerita yang cukup menarik, yang mana sebelumnya Syaikh ibn Malik memiliki rasa percaya diri bahwa karyanya memiliki keunggulan dari karya Alfiyah Ibn Mu’thi, yang mana karya ini lebih dahulu terbit sebelum karya Alfiyah ibn Malik itu sendiri, hal tersebut bisa dilihat dari nadzham di bawa ini;

وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat

 وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi

Baca Juga: Nadzom: Tradisi dan Metode Pembelajaran Ala Pesantren

Pada bait yang di atas, Syaikh Ibnu Malik ingin menjelaskan kepada pembaca bahwasanya karya yang ditulis oleh beliau lebih unggul dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thî ibn Abdin Nur Az-Zawâwi al-Maghribi atau Ibnu Mu’thi. Dalam kitab Hasyiyah al-‘Allâmah Ibnu Hamdûn ‘ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait:

…….. فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ

Mengunggulinya “karya Ibnu Mu’thi” dengan seribu bait,…….

Belum saja sempurna saat memasuki bait tersebu selesai ditulis, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik berhenti secara spontan. Ide dan inspirasi gagasanya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia tertidur, dan dalam tidurnya beliau ditemui oleh seseorang. Dalam mimpinya terjadi sebuah percakapan yang sebelumnya tidak dikira oleh Imam Ibn Malik.

“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?” tanya seseorang yang hadir di dalam mimpinya

“Betul,” sahut Ibnu Malik.

“Sampai di mana?”

Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”

“Apa yang membuatmu berhenti menyelesaikan bait ini?”

“Tiba-tiba saja aku tak memiliki daya selama beberapa hari,”ungkapnya lagi.

“Apakah kamu ingin menyelesaikannya?”

“Ya aku ini bisa menyelesaikannya.”

Kemudian orang yang di dalam mimpinya tersebut menyambung bait فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ

Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati”.

Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah karya milikinya yang dianggap lebih bagus dan sempurna dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Baginya iti adalah sebuah tamparan keras yang menghantam perasaan seorang  pengarang Alfiyah. Seusai mendengar untaian bait tersebut Ibnu Malik bertanya sembari mengonfirmasi,

“Apakah kau Ibnu Mu’thi?”

“Betul.”

Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pada pagi harinya sontak saja ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:

 وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah.”

 وَااللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat”.

Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya.

Baca Juga: Dari Peserta Jadi Penggerak, Perjalanan Alfiyah Membawa Delegasi Indonesia ke Malaysia

Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat). Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang terus memancar hingga sekarang.

Selain kisah yang telah disebut di atas, dalam Kitab Alfiyah ibn Malik memiliki satu bait yang sangat luar biasa. Bait tersebut mengajarkan seseorang siapapun itu untuk tidak menyerah dalam menghadapi persoalan. Bait berada di nomor 309 yang berbunyi;

لَاأَقْعُدُ الجُبْنَ عَنِ الهَيْجَاءِ *  وَلَوْتَوَالَتْ زُمَرُ الْاعْدَاءِ

“Sungguh aku tidak akan pernah menyerah dari pertempuran yang sedang berkecamuk, walaupun musuh datang berbondong-bondong”.

Potongan bait memberikan isyarat dan motivasi kepada para santri-santri atau siapapun yang hendak menghafal kitab Alfiyah untuk tidak mudah menyerah, meskipun baru memasuki bait yang ke-300 dan harus melampui 900 bait lagi untuk dapat selesai dan sempurna dalam menyelesaikan hafalan kitab Alfiyah ibn Malik.



Penulis: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary