Ilustrasi: ayah dan gadis kecilnya. (sumber: github.io)

Oleh: Putri Aurora*

Surat untuk lelaki hebatku, di bawah perlindungan Tuhan. Salam rindu…

Assalamualaikum… Apa kabar? Semoga engkau bahagia dan sehat selalu. Seperti itulah doa yang selalu kubisikkan kepada Tuhan setiap waktu untukmu. Doa yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Doa yang hanya itu satu-satunya kupunya untuk tetap percaya, kau baik-baik saja dan kelak kita akan bersua. Doa yang menguat-tumbuhkan aku dari beragam air mata.

Jika surat ini sudah sampai, dan jika mungkin engkau mulai membaca surat ini, engkau akan bertanya-tanya dari siapa surat ini? Siapa aku? Bagaimana surat ini ditulis begitu tulus untukmu? Maka, masih ingatkah engkau tentang gadis kecil berusia 1 tahun yang dulu engkau tinggal begitu saja?

Masih ingatkah untuk siapa baju lucu berwarna kuning itu engkau berikan? Masih ingatkah siapa gadis kecil yang selalu menemanimu menikmati secangkir kopi di warung setiap pagi? Masih ingatkah semua itu? Atau ingatakan itu hanya menggenang di pikiran gadis kecil yang setiap waktu berharap sebuah temu.

Ya, aku adalah putri kecilmu yang kini sudah beranjak dewasa. Assalammualaikum, ayah! Ini aku, Putri Aurora. Kata ibu, itu adalah sepenggal nama yang engkau berikan dengan bangga ketika aku  lahir dulu. Kata ibu, itu adalah nama yang kelak kau harap aku tumbuh membanggakan dan bahagia. Kata ibu, perempuan yang kau tinggalkan saat itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ayah, sekarang ayah di mana? Apa ayah sehat? Atau sakit? Atau bahkan surat ini sedang dibacakan di atas pusara ayah? Aku rindu ayah. Sangat rindu. Di surat ini, aku ingin ceritakan sepenggal cerita tentang betapa rindu dan tertatihnya kami semua hidup tanpa engkau, ayah. Melalui surat ini, gadis kecilmu bercerita melalui air mata.

Sejak engkau pergi, aku dibesarkan dengan keringat ibu. Lelah? Sudah pasti. Lelah menunggu ayah yang tak kunjung pulang dan lelah menafkahiku dan kakak. Bahkan, aku pernah mendapati ibu yang menangis ketika melihat kami tertidur. Karena isak tangisnya, akhirya aku terbangun dan mengusap air matanya. Kau bisa membayangkan, anak sekecil aku menghapus air mata seorang ibu yang ditinggal tanpa harapan? Kau bisa bayangkan anak sekecil aku sudah tahu nestapanya air mata ibu karena terluka?

Perempuan itu hidup begitu kuat untuk kami, ayah. Ketika ingin jalan-jalan ke kota, ibu selalu membonceng kami berdua bersamanya dengan sepeda ontel. Aku duduk di boncengan depan yang beliau gantungkan di setirnya dan kakak berada di boncengan belakang. Ibu sungguh kuat. Kuat hati dan tenaga. Bisakah kau bayangkan betapa hebat perempuan yang kau tinggalkan tanpa alasan itu? Rasanya ibu tak pantas menelan sakit ini, ayah.

Banyak tetangga yang iba ketika melihat aku dan kakak duduk bercerita atau main berdua. Tak jarang mereka memanggil kami dan memberi sedikit makanan ataupun uang jajan. Di sebuah rumah yang kecil, kami bertiga hidup sederhana. Jika ada bagian rumah yang rusak, ibulah yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Bisa kau bayangkan bagaimana menjadi ibu sekaligus ayah di rumah kami? Ibu begitu gigih demi kami, anak-anakmu.

Ibu berjuang menggantikan tugas ayah juga. Pernah ketika hujan deras disertai angin kencang yang membuat rumah kami bocor, kami hanya berpelukan di dalam rumah kedinginan sambil melihat rumah bocor. Kami takut kalau tiba-tiba pohon jati di belakang rumah milik tetangga tiba-tiba roboh menimpa rumah kami karena terpaan angin kencang. Selain itu, dulu aku sangat takut sekali jika ada orang laki-laki mendekat. Di pikiranku hanya kejahatan yang akan mereka lakukan, padahal mereka hanya ingin mengusapku karena iba. Kini aku sadar bahwa itu semua terjadi karena aku tak pernah kenal dengan sosok seorang ayah.

Setiap tengah malam, ibu selalu terbangun dan bersujud untuk mengadu kepada Tuhan. Sempat aku terbangun di tengah malam dan menyaksikan yang beliau lakukan. Berkat doa, pengorbanan, dan perjuangan beliau, kini aku menjadi perempuan yang kuat, tegar, dan mandiri seperti ibu. Ibu telah membentukku untuk tak lagi meratapi takdir, yah nasibku yang mungkin tak sama seperti anak-anak perempuan lain.

Ayah, kini aku sudah menikah. Berkat doa dan restu ibu, aku bisa menikah dengan orang yang sangat bertanggung jawab terhadap hidupku. Dia seorang polisi. Dia tinggi, berwibawa, bertanggung jawab, dan pandai. Walaupun dia sudah mapan, tapi aku harus tetap mandiri. Seperti salah satu kutipan dari Nyai Ontosoro dalam Novel yang berjudul Bumi Manusia yang berbunyi “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai”. Termasuk, aku butuh lelaki yang kusebut ayah itu. Begitu lah barangkali kehidupan pahit ibu mengajariku tumbuh menjadi perempuan begini hari ini. Perempuan yang harus kuat dan mampu membahagiakan diri dan orang-orang yang kucintai.

Tetapi, bagaimana pun ayah pergi atas alasan yang bahkan aku tak mengerti, aku masih setia menjadi anak yang selalu mendoakan ayah setiap selesai shalat. Aku selalu memohon pada Tuhan, ayah dalam perlindunganNya. Aku khawatir jika ayah dalam kondisi yang berbalik denganku  saat ini. Di sini aku bisa menikmati hasil kerja kerasku dan suami, tapi tidak bisa aku bayangkan jika ayah ternyata malah hidup sengsara di sana.

Setiap melihat pengemis dan gelandangan, hati ini selalu khawatir. Apa mungkin engkau di kondisi seperti itu? Sebelum menikah, aku coba telusuri jejak ayah. Aku coba cari nomor telepon ayah kepada saudara-saudara ayah untuk bisa menjadi waliku, tetapi nihil. Sangat sedih rasanya. Ayah tak hadir di hari semua perempuan mengimpikan ayahnya ada di sisinya. Ayah tidak ada, saat lelaki yang kini jadi suamiku berjanji menjagaku sehidup sematinya, menggantikan peran ayah menyayangi dan melindungiku. Ayah, harusnya ada saat itu, saat di mana semua anak perempuan, termasuk aku akan bahagia jika ayah dan ibu mendampingiku di hari bahagia itu.

Ayah di mana pun engkau, baik-baiklah. Semoga engkau bahagia dan selalu dalam lindunganNya. Terima kasih telah (pernah) menjadi ayah bagiku. Terima kasih telah memberiku baju kuning, yang sampai saat ini menjadi kenangan indah untuk kuingat dan menyadarkanku bahwa aku memiliki ayah.

Ayah, sekian surat ini. Aku minta maaf jika sudah mengganggumu karena harus membaca secarik surat ini.  Ayah di mana? Pertanyaan ini akan terus kuulang sampai kita bertemu. Aku sangat merindukanmu ayah. Terima kasih. Wassalam.

Dari putrimu,

Putri Aurora