Buku Gus Sholah Kembali ke Pesantren (Pustaka Tebuireng)
  • Judul buku      : Gus Sholah Kembali ke Pesantren
  • Cetakan           : Pustaka Tebuireng, 2020
  • Penulis             : KH. Salahuddin Wahid
  • Tebal               : 234 hal
  • Peresensi         : Dimas Setyawan* & Umdatul Fadhilah**

“Manusia adalah manusia. Apapun kebangsaannya, apapun agamanya, apapun sukunya, manusia adalah manusia. Tidak peduli pandangan politiknya, tidak peduli kaya atau miskin, tidak peduli pandai atau tidak, tidak peduli apa pangkat dan jabatannya, manusia adalah manusia. Dia boleh cantik, dia boleh jelek, dia boleh kurus, dia boleh gemuk, dia boleh tinggi, dia boleh pendek, manusia adalah manusia.”

Begitulah ungkapan Gus Sholah yang mengajarkan kita sebagai menusia untuk selalu memandang manusia sesuai dengan fitrahnya. Wujud nyata tanpa ada embel yang membekas dalam kehidupannya. Manusia adalah manusia, tegas Gus Sholah.

Gus Sholah sapaan akrab dari nama aslinya yakni KH. Salahuddin Wahid memamng telah pergi meninggalkan kita, bangsa Indonesia, untuk selamanya. Tapi jasa dan peninggalannya tidak pernah sirna di makan zaman. Pemikiran dan idenya akan selalu dikaji oleh lintas generasi. Semasa hidup, Gus Sholah telah mengajarkan kita, bangsa Indoneisa hakikat kehidupan secara nyata.

Ikhlas, jujur, tanggung jawab, kerja keras, dan toleransi selalu beliau pratikkan dalam kehidupannya. Sepanjang perjalanan kehidupannya, beliau menekankan nilai-nilai tersebut untuk putra-putrinya, santri-santrinya, hingga kepada bangsa Indonesia.

Kiprah beliau untuk menjaga keharmonisan bangsa sangat nyata di depan mata. Tulisan-tulisan beliau yang telah diterbitkan di berbagai media cetak menyadarkan kepada bangsa Indonesia, betapa pentingnya persatuan antar umat berbangsa dan bertanah air.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beliau melanjutkan, “manusia adalah manusia. Dan begitulah kita menilai dan memperlakukannya manusia sebagai insan mahluk Allah SWT. Kita tidak boleh menilai manusia berdasarkan perspektif kepentingan kita. Juga tidak boleh menilai manusia berdasarkan rasa suka atau tidak suka kita kepada orang itu. Kita harus memeperlakukannya betul-betul sebagai seroang manusia, mahluk Allah yang termulia, yang terdiri dari jiwa dan raga.”

Sebagai seorang yang pernah memaku jabatan wakil Komnas HAM, Gus Sholah menyadari betapa pentingnya mencintai sesama manusia, melindungi yang lemah, hingga menjaga kesatuaan Republik Indonesia.

Setelah mengabdikan dirinya untuk bangsa Indonesia, Gus Sholah mendapatkan amanah guna melanjutkan tongkat estafet kepangsuhan Pesantren Tebuireng. Amanah itu diberikan langsung oleh sang paman, yakni KH. Yusuf Hasyim. Ketika mendapatkan tawaran tersebut, sebenarnya Gus Sholah baru saja mendapatkan surat dari Departemen Luar Negeri untuk menerima tugas menjadi Duta Besar RI di Aljazair. Beliau menjelaskan bahwa pada akhir Desember 2005 melalui Kepada BIN Syamsir Siregar, ditawari untuk menjadi Dubes RI di Mesir dan beliau menerima tawaran (hal.151).

Tetapi KH. Yusuf Hasyim, menyakikan Gus Sholah, bahwa melanjutkan tongkat estafet kepangasuhan adalah panggilan dari sang kakek, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Setelah mendegar penuturan sang paman, tanpa berpikir panjang, Gus Sholah memutuskan untuk kembali ke pesantren.

“Pengalaman hidup saya sejak 1992 mengajarkan kepada saya untuk tidak mengejar sesuatu, tetapi kalau sudah diberi tugas dan tanggung jawab kita harus berusaha secara maksimal. Kalau suatu posisi atau jabatan memang milik kita “Tangan Tuhan” akan mengaturnya” (halaman 128).

Cuplikan berikut merupakan salah satu potret betapa KH. Salahuddin Wahid sedari dulu memang memiliki pola pikir yang nriman dan legowo. Dalam bukunya yang terbit pada Maret 2020 setelah 40 hari kepergian beliau, buku “Gus Sholah Kembali ke Pesantren” menjawab keraguan masyarakat.

Kiai Teknokrat tersebut berhasil menorehkan sejarah emas semasa hidupnya. Buku “Gus Sholah Kembali ke Pesantren” mengisahkan rekam jejak beliau beserta keluarga besar Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Mulai dari kiprah Kiai Hasyim sebagai pendiri Pesantren Tebuireng, pendiri Jam’iyyah Nahdatul Ulama, hingga mengenal kitab-kitab yang ditulis Hadratussyaikh.

“Kepemimpinan Hadratussyaikh diakui oleh seluruh umat Islam Indonesia, tidak memandang organisasi atau madzhab” (halaman 30).

Hal itu juga menurun kepada putranya yakni KH. A. Wahid Hasyim yang mengikuti rekam jejak Kiai Hasyim sebagai pemimpin. Kiai Wahid pernah menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng, Menteri Agama serta ikut andil dalam organisasi maupun pergerakan lainnya. “Walaupun wafat dalam usia amat muda, Kiai Wahid telah meninggalkan jejak yang cukup dalam” (halaman 67).

Dikisahkan pula istri KH. A.Wahid Hasyim yakni Nyai Hj. Sholichah A.Wahid Hasyim yang ikut andil dalam keaktifan dalam dunia organisasi. Didikan dari Kiai Wahid berhasil membentuk Nyai Sholichah menjadi wanita tangguh dan penuh wibawa sesuai dengan syari’at Islam serta mampu menyerap nilai-nilai dari negara luar dalam segi positif.

“Beliau  memulai keaktifan di Muslimat dari tingkat paling bawah, membentuk ranting, lalu naik ke tingkat cabang, selanjutnya ke tingkat wilayah dan akhirnya ke tingkat pucuk pimpinan” (halaman 86).

Dikisahkan Gus Sholah bersama kakak dan adiknya sejak kecil diajari ilmu agama langsung oleh ayahnya. Kiai Wahid sangat mempedulikan pendidikan putra-putrinya. Selain ayahnya, KH. Bisri Syansuri sang kakek, ikut serta dalam mengajarkan Al-Quran serta kitab kuning. Beliau memiliki banyak peran sebelum menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng, seperti aktif dalam Komnas HAM serta pernah menjadi Cawapres  pada tahun 2004. Alumni Arsitektur ITB tersebut memiliki produktivitas menulis amat tinggi hingga akhir hidupnya.

Buku ini mengupas tuntas segala hal tentang Gus Sholah. Disampaikan dengan bahasa yang ringan namun berbobot membawa pembaca larut dalam sejarah dari keluarga besar pendiri Nahdlatul Ulama tersebut, dimana keturunan Kiai Hasyim banyak membawa maslahah. Utamanya bagi kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan sejarah kiprah mulai dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahid Hasyim, Nyai Hj. Sholichah, KH. Abdurahman Wahid, serta KH. Salahuddin Wahid. Beberapa keluarga yang lebih lengkap dijelaskan dalam buku tersebut.

Pembaca seperti dibawa ke zaman dulu namun bertemu dengan orang-orang yang sudah berpikiran modern. Banyak hikmah yang dapat dipetik dalam membaca buku ini. Hanya saja kekurangannya, beberapa kata ditulis typo. Salah satunya pada halaman 63 “Beberapa dari mereka mempunyai patra-putri vang menonjol”.  Namun hal itu tidak mengubah tujuan awal untuk disampaikan kepada pembaca. Lebihnya, buku ini sangat baik dibaca khususnya para santri agar paham dengan sejarah kiai-kiai kita. Nilai-nilai yang terkandung betapa bisa menjadi bekal ilmu dan pengetahuan dalam mengarungi kehidupan serta menjawab tantangan zaman di era milenial seperti sekarang.

Sekembalinya ke pesantren, Gus Sholah mendapatkan tatantangan yang sangat luar biasa. Tatangan tersebut datang dari berbagai pihak yang meragukan keilmuannya untuk dapat memimpin pesantren besar. Penilaian tersebut, dijawab oleh Gus Sholah dengan memperbaiki dan menata ulang Pesantren Tebuireng untuk dapat bersaing dengan tatanan zaman. Ketika beliau memipin Pesantren Tebuireng, Pesantren Tebuireng telah berhasil mendirikan 14 pondok cabang di penjuru Indonesia. Usaha beliau semata-mata untuk dapat mencerdaskan bangsa, dan yang terpenting untuk menyiapkan generasi di masa mendatang.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang

**Mahasiswa Unhasy dan santri Pondok Putri Pesantren Tebuireng Jombang.