Sebuah ilustrasi kiai, gus, habib, dan kekuasaan (sumber: tempo.co)

Perdebatan mengenai seorang Kiai diperkenankan untuk turut serta dalam perpolitikan, masih menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa seorang Kiai cukup saja mengurusi prihal umat, seperti pendidikan, kajian-kajian pengajian dan membimbing masyarakat untuk menggapai kebahagian saja. Sehingga terikutsertaan seorang Kiai di panggung politik masih dianggap tidak diperlukan.

Di satu sisi, seorang Kiai yang turut berpatisipasi dalam politik tidak kurang dan tidak lebih hanya sebagai sebuah alat perpolitikan dari sebagian partai politik, guna menggalang suara sebanyak-banyaknya saja. Sehingga jika masa kampanye perpolitikan sudah usai, maka seorang Kiai sangat rentan ditinggalkan oleh koalisi partainya. Dan yang lebih parah, seorang Kiai juga akan terancam ditinggal oleh umatnya, yang disebabkan oleh perbedaan politik.

Bahkan sebagian orang berpendapat, tidak diperkenankannya seorang Kiai ikut serta dalam kontestasi perpolitik di negeri ini, berangkat seorang Kiai dipandang sebagai tokoh sentral dalam urusan keagamaan saja. Ia tidak memiliki kecakapan yang baik dalam urusan-urusan perpolitkan yang sering kali sebagai sebuah ladang basah prihal kecurangan dan keserakahan oleh para biokrasi elit pemerintah.

Fenomena yang disebutkan di atas selaras dengan apa yang disampaikan oleh Zulfi Mubaraq yang mengutip dari Imam Suprayogo, bahwasanya Kiai sebagai sebutan kehormatan bagi elit agama khsusunya di Jawa, masih seringkali diperbedatkan; lebih-lebih jika dikaitkan dengan politik. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kiai cukup berperan sebagai pengayom umat, terutama dalam kehidupan beragama.

Oleh karena itu, lebih tepat jika ia menghindarkan diri dari segala bentuk kegiatan perpolitikan. Ada pula yang mengatakan sebaliknya, bahwa tidak ada alesan Kiai untuk meninggalkan politik yang bersifat praktis, sebab berpolitik merupakan bagian dari kehidupan agama itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Menolak Kiai, Gus, dan Pesantren Karbitan

Sejatinya keterlibatan seorang Kiai terhadap percaturan perpolitik baik dalam hal politik yang bersifar praktis, politik kebangsaan atau politik identisas di bangsa Indonesia ini bukanla hal yang baru sama sekali. Hal itu bisa dilihat dari sejarahnya, bagaimana keterlibatan Kiai dalam panggung politik sejak laa terlihat, paling tidak dimulai sejak zaman kesultanan Mataram II di Jawa.

Keterlibatan seorang Kiai dala politik kebangsaan sendiri ini tidak hanya saja dilihat pada masa-masa perlawanan fisik guna mengusir penjajah dari tanah air, melainkan juga bisa dilihat dari dalam kegiatan yang berbentuk diplomasi, baik saat menjelang maupun sesudah kemerdekaan Indonesia. Peran Kiai sering kali dilihat dari posisinya sebagai pemangku tertinggi di sebuah lembaga pondok pesantren yang ditempatkan seorang tokoh pusat pengatur melawan penjajah. Sehingga seringkali ditemukan seorang Kiai meberikan dukungan moral, ekonomi maupun politik.

Perjuangan Kiai dalam beberapa waktu yang cukup amat panjang masilah berlanjut. Bahkan terdapat Kiai yang tercatat turut andil dalam bagian mengambil dan merintis serta mengembangkan organisasi politik yang bernuasa Islam di tanah air, seperti Masyumi, MIAI, PSII Perti. Sehingga wajar bilamana seorang Kiai yang dikenal sebagai tokoh pejuang di zaman dahulu seperti, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, yang kemudian hari lebih dikenal sebagai tokoh agama perintis organisasi Islam terbesar di Indoneisa, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Selain dari kedua tokoh yang telah disebutkan di atas, ada beberapa Kiai yang berperan penting dalam perpolitikan bangsa seperti KH. Agus Salim, KH. Masykur dan KH. A. Wahid Hasyim serta beberapa nama lainnya.

Maka tidak dapat dipungkiri lagi, seorang Kiai maupun ulama terjun dalam dunia perpolitikan bukanlah hal yang asing di negeri ini.  Karena semenjak dahulu peran ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini memang perlu diakui. Karena pada dasarnya posisi seorang Kiai di Indonesia sejak dahulu bahkan hingga kini dianggap oleh khalayak sebagai seseorang yang serba bisa. Artinya, masyarakat tak hanya menggantungkan laku hidupnya pada sosok kiai hanya dalam soal keagamaan, bahkan bahkan aspek sosial, politik, kebudayaan, pendidikan tak jarang melibatkan peran kiai. Sebab itulah, seorang Kiai atau ulama mempunyai privilege di hati umat Islam karena kedekatannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia.

Kepatuhan serta kepercayaan masyarakat terhadap para Kiai bisa dilihat dari konteks kolonialisme dan imperealisme yang pernah menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia, masyarakat lebih mempercayai apa yang dikatakan dan diajurkan oleh para ulama, karena sikapnya yang lebih mengayomi dan melindungi dibadingkan dengan para priyayi.

Kenyataan ini karena kedekatan para elit birokrasi pribumi dengan para kolonialis. Sehingga dalam melihat sebuah fenomena kegiatan-kegiatan perpolitikan Kiai, tidak hanya mengenai keterlibatan seorang Kiai yang menjadi alat perpolitikan, atau keikutsertaan Kiai dalam politik praktis. Tetapi dalam memahami fenomena tersebut, nyatanya peranan Kiai dalam panggung politik di Indonesia, memiliki peranan andil yang sangat besar.

Baca Juga: Substansi Manusia dan Kekuasaan

Adapun dalam buku Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Dr. Endang Turmudi mencoba untuk memotret peranan Kiai sebagai sosok yang memiliki otoritas keagamaan di Tengah-tengah Masyarakat, sehingga memiliki sebuah hubungan antara Kiai denhan Masyarakat yang diikat dengan emosi keagamaan yang membut kekuasaan sahnya semakin berpengaruh.

Karisma yang menyertai aksi-aksi Kiai juga menjadikan hubungan itu penuh dengan emosi. Karena kiai dianggap menjadi seorang penolong bagi para penduduk dalam memecahkan masalah-masalah mereka, yang tidak hanya terbatas pada masalah spiritual tetapi juga mencangkup aspek kehidupan yang lebih luas, maka para penduduk juga menganggap Kiai sebagai pemimpin dan wakil mereka dalam system nasional. (halaman 97).

Karena hal tersebutlah menjadikan para calon-calon penjabat pemerintah mengharap dukungan dari Tokoh Agama dan Pondok pesantren yang pada umunya memiliki pengaruh yang besar di masyarakat, terutama di kalangan umat Muslim. Kiai atau pemimpin pesantren sering dihormati dan dijadikan panutan. Dengan bersilaturahmi ke pesantren, politikus atau calon kepala daerah berusaha mendapatkan restu dan dukungan moral dari tokoh agama, yang bisa berdampak pada pseningkatan popularitas di masyarakat.

Baca Juga: Autokritik untuk Pesantren

Selain itu tujuan para politikus bersilaturahmi ke atau ke seorang Kiai  ingin menunjukkan bahwa mereka peduli pada nilai-nilai agama dan mendukung perkembangan pendidikan Islam. Ini dapat membangun citra mereka sebagai sosok yang dekat dengan agama dan moralitas, yang bisa menarik simpati dari pemilih yang religius.

Sehingga pada akhirnya seorang Kiai yang berada di sebuah pondok pesantren atau yang berada di Tengah-tengah Masyarakat seringkali menjadi seorang yang diperalat oleh segilintir politikus dalam mencari dukungan massa dan suara pada kontestasi pemilihan suara berlangsung. Hal ini yang menjadikan sosok Kiai dapat dikatakan sebagai sosok yang berselingkuh dengan kekuasaannya, karena keberadaan dirinya yang sangat strategis.



Buku Kiai dan Kekuasaan karya Endang Turmudi

Judul buku: Perseligkuhan Kiai dan Kekuasaan
Penulis: Dr. Endang Turmudi
Catakan: Kedua 2003
Penerbit: LKis Yogyakarta
ISBN: 979-338-37-x
Peresensi: Dimas Setyawan