
Oleh: Cholidy Ibhar*
Ustadz Ali Muthofa sembari menunduk ta’dzim mendengarkan pesan ayahandanya, “Kalau kamu belum mengaji kepada Kiai Idris, saya belum rela kepada kamu”. Seperti diakuinya sendiri, semula agak “terpaksa” Ustadz Ali Musthofa mengamini permintaan sang ayah, namun tidak mungkin “melawan” dan kemudian bergegas sowan kepada Kiai Idris.
“Sira mau apa? Namamu siapa? Hafalkan sepuluh kitab, ya!”, lontaran pertanyaan dan perintah Kiai Idris kepada Ustadz Ali Musthofa. Entah, apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Hanya yang terlontar jawaban pendek Ustadz Ali Musthofa kepada Kiai Idris, “Insya Allah, kiai, siap menghafalkan supuluh kitab”.
Tentu saja, kebingunan pasti bergelanyut. Betapa tidak, santri yang levelnya kelas satu Aliyah diperintah menghafal sepuluh kitab, antara lain matan al-Ajurumiyah, matan al-Kailany, nadzam al-Maqshud, nadzam al-‘Imrithy, al-Amtsilah al-Tashrifiyah, Alfiyah, al-Baiquniyah dan al-Waraqat. Namun semua perintah Kiai Idris harus dijalankan dan itulah paradigma pendidikan “Idrisi-an”. Model ini tidak bakal dijumpai di pesantren yang lain.
Ketundukan, kepatuhan dan kerelaan memenuhi semua arahan guru itulah yang kelak ustadz Ali Musthofa dengan bangganya menyebut dirinya sebagai “khadim Kiai Idris”, “pelayan kiai”. Santri yang senantiasa siap memenuhi perintah Kiai Idris. Mulai dari ngepel kama beliau, bersih bersih masjid, memandikan kambing, memerah susu sapi, mengambil ampas tahu, mengisi bak kamar mandi. Justru. Sikap seperti inilah yang berbuah hasil mengantarkan dan memoles kepribadian dan sosok Ustadz Ali Musthofa sebagai santri yang saat di Pesantren Tebuireng sudah begitu mendalam ilmu agamanya.
Bisa dimengerti bila Kiai Idris sangat mempengaruhi perilaku dan pandangan Ustadz Ali Musthofa. Walau mesti segera ditambahkan, bukan berarti kiai yang lain tidak turut membentuk kepribadiannya. Sebutlah misalnya Gus Dur, Kiai Syansuri Badawi, Kiai Mohammad Shobari, Kiai Ishaq Lathief dan seterusnya.
Walau terus terang, saya sendiri hingga sekarang belum menemukan jawaban mengapa Ustadz Ali Musthofa lebih memilih tinggal dan mendirikan pesantren Darus Sunnah bukannya di tempat kelahirannya?
Kendati, kalau boleh memperkirakan, dengan kedalaman keilmuannya akan lebih bermanfaat jika berdomisili di seputaran Ibu Kota. Pengaruh dakwah ilmiyahnya, getarannnya akan diterima lebih luas wabil khusus kalangan kelas menengah dan elite umat Islam. Apalagi, dengan latar belakang akademik yang langka dimiliki orang lain, selaiknya “bertarung di ibu kota” mengibarkan panji ahlussunnah waljama’ah dan menaklukkan semua sekutu yang berbulat tekad menggulungnya.
Rasanya, pengasuh, alumni dan santri Pesantren Tebuireng merasa terwakili dan membanggakannya. Apalagi, saat Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’qub selaku Imam Besar Masjid Istiqlal didaulat mendampingi dan men-direct presiden Amerika Serikat Barack Obama beserta istri ketika mengunjungi masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Seolah, semua santri Pesantren Tebuireng dengan perasaan bangga ramai-ramai menyebut dan telunjukknya menunjuk “itu lho Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’qub, alumni Pesantren Tebuireng”.
Tentu saja, kebanggaan pengasuh, alumni dan santri kepadanya yang tidak kalah pentingnya makna kehadirannya sebagai alim al-‘allamah berikut berbagai kiprah dan karya karyanya. Untuk yang disebutkan terakhir ini, Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’qub meneruskan tradisi menulis kiai-kiai Pesantren Tebuireng mulai dari Hadratussyaikh, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Ma’shum, Gus Dur, Gus Sholah. Bahkan, sungguh menghentak kesadaran kredo yang acapkali dilontarkan dan disosialisasikan, “Wala tamutunna illa waantum katibun”, “Jangan kamu mati, sebelum kamu menjadi penulis”. Tidak kurang, 49 judul buku karya Prof Dr KH Ali Musthofa Ya’qub yang telah diterbitkan dan dapat dibaca masyarakat luas.
* Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen