
Terpantik kembali issu nasionalisme dan islamisme dalam proses perayaan HUT ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia. Kebijakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk melepas hijab pelajar putri yang terpilih sebagai anggota paskibraka dinilai kurang pancasilais. BPIP dianggap tidak memerdekakan mereka untuk memilih tetap berhijab, hal itu dinilai bertentangan dengan nilai sila pertama Pancasila.
Dari situlah, penulis teringat pentingnya kembali mengingat gagasan besar yang digaungkan oleh KH. Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah tentang memadukan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan di tengah-tengah masyarakat. Apalagi mayoritas muslim Indonesia adalah muslim yang moderat, bukan liberal apalagi radikal.
Sejak tahun 2006, Gus Sholah fokus mengabdikan sebagian besar dirinya untuk membangun pendidikan pesantren, dan menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Beliau adalah tokoh nasional yang mempunyai banyak kiprah semasa hidupnya. Gus Sholah bukan hanya sosok Kiai yang berhasil membuat terobosan dalam dunia pendidikan Islam saja. Namun juga tidak jengah memberikan sumbangsih pemikirannya untuk kemajuan bangsa dan merawat umat.
Tak heran, meski beliau juga seorang politisi andal yang sempat menjadi anggota MPR, wakil ketua Komnas HAM dan kandidat wakil presiden, Gus Sholah tidak pernah keblinger dengan target pencapaiannya untuk menjadi politisi yang haus kekuasaan. Gus Sholah bisa menyeimbangkan passionnya sebagai politisi dan juga sebagai seorang Kiai berintelektual tinggi.
Dalam buku “KH. Salahuddin Wahid: Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan”, Gus Sholah banyak mengemukakan gagasan yang memadukan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, bahasa dan golongan.
Baca Juga: 125 Tahun Perjalanan Pesantren Tebuireng
“Dengan jiwa besar, rasa tanggung jawab, semangat mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, mereka berani mencoret tujuh kata Piagam Jakarta sehingga pembukaan UUD berbunyi dan tertulis seperti sekarang,” tulis Gus Sholah.
Sikap penerimaan Pancasila sebagai ideologi bangsa telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama. Sebagaimana hal itu ditegaskan pada Munas Ulama NU pada 1983 yang menyatakan NU menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa. Kemudian ditegaskan kembali pada Keputusan Muktamar NU tahun 1984.
Pada tulisan dan sikapnya Gus Sholah selalu mengingatkan umat tentang pentingnya menjaga keutuhan bangsa di atas kepentingan pribadi. Selama belum berhasil menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara, kita akan terus menghadapi masalah yang sama. Kelompok yang mempertentangkan Pancasila dengan keyakinan sebagian golongan. Baik kelompok dengan gerakan nasionalis maupun agamis.
Padahal seiring berjalannya waktu dan kedewasaan berbangsa, kita sempat berhasil meredam kelompok ekstrimis yang ingin mengganti ideologi bangsa berasaskan “Negara Islam” untuk tetap menjadi “Negara Pancasila” yang mengawinkan nilai-nilai luhur agama dan nilai budaya bangsa. Jangan sampai muncul kembali pemantik untuk mempertentangkan kedua hal tersebut.
Bulan kemerdekaan yang juga berdekatan dengan seruan “Resolusi Jihad” Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan kakek dari Gus Sholah dan Gus Dur pada 22 Oktober 1945 memberikan penegasan bahwa kaum agamis sangat menjunjung tinggi nasionalismenya untuk terus mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan merdeka, umat Islam pada khususnya dapat lebih leluasa untuk beribadah dan menjalankan aktivitasnya. Begitupun dengan pemeluk agama yang lain juga mendapatkan kemerdekaan untuk memeluk agama yang diyakininya.
Bukan Pancasila yang tidak relevan, dan bukan pula ajaran Islam yang tidak mendamaikan. Tapi, kita saja yang belum dapat mewujudkan Negara Pancasila yang adil dan beradab tanpa ketimpangan ekonomi dan sosial pada rakyatnya. Ini semua adalah cita-cita luhur, tentu tidak akan terwujud dengan cepat dan mudah. Butuh dirawat dan diruwat oleh seluruh elemen masyarakat, pemerintah, tokoh agama untuk melanjutkan cita-cita para pendahulu kita agar Indonesia menjadi rumah bersama. Tidak ada yang tertinggal, terpinggirkan apalagi tenggelam di rumahnya sendiri.
Penjaga Khittah NU 1926
Meski mengenyam pendidikan di sekolah umum hingga lulus dari Institut Teknologi Bandung, Gus Sholah yang juga cucu Pendiri Kiai NU ini tidak mungkin tidak berkiprah dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Justru pengalamannya dalam bidang profesional, dibawa Gus Sholah untuk mereformasi birokrasi pendidikan di Pesantren Tebuireng. Terbukti, dalam kepemimpinannya Gus Sholah banyak mendirikan unit pendidikan berbasis sains dan agama. Standarisasi dan kompetensi yang diterapkan Gus Sholah inilah yang membuat Pesantren Tebuireng terjaga kualitas pendidikannya.
Baca Juga: Gus Dur dan Isu Lingkungan Hidup
Dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Gus Sholah pernah menjadi salah satu ketua PBNU periode 1999-2004. Ia juga pernah dua kali dicalonkan sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU tahun 2010 dan 2015. Meski tidak terpilih Gus Sholah selalu memberikan sumbangsih pemikirannya untuk membuat NU secara struktural maupun kultural untuk menjadi lebih baik. Jika berbeda pandangan dengan kebijakan tokoh NU, Gus Sholah selalu memberikan saran secara terbuka dengan tetap mengedepankan etika dan sopan santun.
Gus Sholah juga tidak lelah dengan perjuangan dan perjalanannya dalam mengawal “Khittah NU 1926”. Gus Sholah bersama beberapa Kiai NU lainnya membuat halaqah untuk membentuk Komite Khittah NU 1926. Meski begitu, gerakan yang beliau lakukan adalah gerakan kultural yang tidak melembaga. Hal ini menegaskan bahwa beliau tidak memiliki kepentingan apapun selain memang mengingatkan NU tetap pada jalan khidmatnya yaitu organisasi yang melayani umat bukan menguasai umat.
Gus Sholah juga sering mengingatkan agar NU tidak terseret ke pusaran politik praktis. Karena yang seharusnya dilakukan NU adalah politik kebangsaan yang mengutamakan kesatuan dan persatuan bangsa. Rais Akbar Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), dan juga merumuskan kitab Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah untuk menegakkan prinsip -prinsip ajaran Ahlussunah wal jama’ah sebagai haluan warga Nahdliyyin.
Baca Juga: Bukti Kenyentrikan Pesantren Tebuireng Sudah Ada Sejak 1919
Gus Sholah bukan hanya Kiai NU karena Cucu Pendiri NU. Gus Sholah menjadi figur yang patut dijadikan teladan dalam beragama dan berbangsa karena sumbangsih pemikiran dan kiprahnya. Berbeda pandangan tidak menjadikan Gus Sholah menjadi sosok yang angkuh dan selalu ingin terlihat benar. Justru dengan keluasan ilmunya, Gus Sholah sibuk membangun pendidikan pesantren, menulis di media massa, dan mencerdaskan santri-santrinya.
Semoga kita selalu ingat perjuangan Gus Sholah yang selalu mengajak kepada kerukunan, kesalingan, kebersamaan di tengah perbedaan. Sehingga kita tidak perlu lagi memudarkan apa yang telah direkatkan oleh pendahulu kita yang telah berupaya memadukan keislaman dan keindonesiaan dengan sebaik-baiknya.
Penulis: Rifatuz Zuhro
Penulis Buku Sejarah Pendidikan Islam Nusantara & Puisi Perempuan Rumit